Karya Tulis,  Podjok Merenung

This is Me

“Nanti apa kata orang?”, “Ah, kayanya aku enggak jago untuk melakukan hal itu.”, “Tapi, aku enggak bisa seperti dia.”, “Pokoknya, aku harus bisa melakukan itu!”

Sering kali pernyataan-pernyataan seperti ini menghantui pikiran kita, terlebih ketika sedang merasa tertekan atau stress. Tak jarang, hal tersebut terjadi karena kita ingin menjadi versi terbaik dari diri yang kita anggap sempurna. Kita pun dapat dengan mudah merasa khawatir akan dikritik atau dihakimi orang lain. Alhasil, kita cenderung tidak menampilkan diri kita apa adanya, melainkan menampilkan apa yang diharapkan orang lain. 

Saya pun sering kali memiliki pemikiran-pemikiran seperti itu. Ketika kuliah, misalnya, saya pernah berpikir bahwa hasil tugas saya tidak sebaik teman-teman lain, padahal faktanya saya mendapatkan nilai yang tidak buruk. Saat di kelas, saya pun pernah berada di titik merasa sangat takut dan malu untuk bertanya pada dosen karena berpikir takut ditertawakan oleh teman-teman atas pertanyaan yang saya anggap merupakan pertanyaan tidak berbobot, padahal sebenarnya saya memang belum paham dengan materi yang disampaikan. Kondisi demikian membuat saya mengejar kesempurnaan yang tidak realistis, di mana hal ini justru dapat menjauhkan saya dari kebahagiaan. Padahal, saya juga berhak untuk merasa bahagia atas kehidupan dan diri saya sendiri. Maka dari itu, menerima diri atau self-acceptance merupakan cara yang dapat diusahakan untuk melepaskan diri kita dari belenggu penilaian atau perbandingan diri yang negatif.

Self-acceptance bukan berarti kita pasrah dengan keadaan atau berhenti berusaha untuk memperbaiki diri. Self-acceptance juga bukan berarti menganggap bahwa diri kita tidak memiliki kekurangan atau kelemahan. Namun, self-acceptance berarti kita menyadari bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam dirinya (McBride, 2021). Dengan demikian, kita dapat menyadari bahwa tidak apa-apa bila tidak menjadi sempurna sehingga kita bisa berhenti menyalahkan diri sendiri atas hal-hal yang mungkin tidak kita sukai. Sebaliknya, kita dapat menerima ketidaksempurnaan tersebut menjadi bagian dari diri kita sendiri (McBride, 2021).

Ketika sudah bisa menerima diri tanpa menghakimi pikiran dan emosinya, seseorang dapat lebih mudah untuk mempertahankan keseimbangan perasaannya (Xu et al., 2014). Selain manfaat tersebut, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa self-acceptance berhubungan dengan kesejahteraan emosional, misalnya tingkat self-acceptance yang tinggi berhubungan dengan afek negatif yang rendah, seperti kecemasan (Cunha & Pavia, 2012; Liu et al., 2009) dan depresi (Liu et al., 2009; Jimenez et al., 2010, seperti yang dikutip dalam Xu et al., 2014). Di samping itu, self-acceptance yang tinggi berhubungan dengan tingkat emosi yang lebih positif, seperti harapan, senang, dan ketertarikan pada suatu hal (Jimenez et al., 2010, seperti yang dikutip dalam Xu et al., 2014). Dengan demikian, self-acceptance dapat membuat emosi seseorang menjadi cenderung lebih stabil ketika berhadapan dengan suatu hal.

Berangkat dari penjelasan di atas, ternyata self-acceptance memiliki peran yang penting dalam kehidupan kita, bukan? Nah, di bawah ini ada beberapa langkah yang bisa kamu lakukan untuk menerima dirimu sendiri (McBride, 2021):

  1. Berkomitmen untuk menerima diri sendiri. Untuk memulainya, kamu dapat berbicara pada diri sendiri dan apa yang membuat kamu menyalahkan diri sendiri. Hal ini dapat kamu lakukan dengan journaling yang kamu tuliskan untuk dirimu sendiri.
  2. Identifikasi trauma masa lalu atau hal-hal yang ingin kamu selesaikan. Hal ini dapat kamu tuliskan juga melalui journaling dan mulailah memprosesnya. Kamu juga dapat meminta bantuan profesional bila diperlukan.
  3. Tentukan nilai (value) diri kamu. Buatlah daftar mengenai apa yang kamu yakini dan tidak kamu yakini. Tuliskan pula nilai-nilai terpenting dan mengapa kamu ingin hidup dengan nilai-nilai tersebut.
  4. Maafkan dirimu sendiri atas kesalahan dan kegagalan. Belajarlah dari kesalahan dan kegagalanmu tersebut, daripada terus-menerus menghukum diri.
  5. Terimalah ketidaksempurnaan. Tidak ada manusia yang sempurna, maka belajarlah untuk menerima diri apa adanya, baik itu kelebihan, kekurangan, kesalahan, kegagalan, maupun kesuksesan.

Maka dari itu, yuk, terima diri kita apa adanya! Percaya dirilah dengan apa yang kita miliki, peluk dia bagaimanapun keadaannya, dan teriakkan THIS IS ME!

 

Penulis
Khrisentia Aurelia Natasya / Asisten P2TKP Angkatan 2022

Penyunting
1. Ariolietha Joanna Kintanayu / Asisten P2TKP Angkatan 2023
2. Maria Gracia Aprilianova / Asisten P2TKP Angkatan 2024
3. Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023


Daftar Acuan
McBride, K. (2021, Desember). 6 steps to self-acceptance. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-legacy-of-distorted-love/202112/6-steps-to-self-acceptance.
Xu, W., Rodriguez, M. A., Zhang, Q., & Liu, X. (2014).  The mediating effect of self-acceptance in the relationship between mindfulness and peace of mind. Mindfulness.  6. 797-802 https://doi.org/10.1007/s12671-014-0319-x.

Sumber Gambar
Khrisentia Aurelia Natasya (dokumentasi pribadi)