LAYANAN KAMI
TESTING
Menyediakan layanan psikotes untuk berbagai jenis instansi dengan beragam tujuan, antara lain:
- Perusahaan: seleksi, promosi, pengangkatan pegawai tetap, dsb;
- Pendidikan: penerimaan siswa baru, penjurusan, pengarahan jurusan kuliah, minat & bakat, kepribadian, dsb;
- Tes klasikal dan individual;
- Pengetesan di dalam dan luar DIY.
KONSELING
Layanan bagi Anda yang membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan permasalahan maupun memerlukan konsultasi psikologis, antara lain:
- Konseling: bantuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah;
- Asesmen: penggalian kebutuhan psikologis dengan alat tes psikologi;
- Konsultasi: pertukaran pikiran untuk mendapatkan solusi.
TRAINING
Kami melayani berbagai jenis training untuk pelatihan dan pengembangan bagi sekolah, organisasi, perusahaan, instansi pemerintahan, dan universitas. Jenis team building, fun games, seminar, workshop, motivation training, dan lain sebagainya.
P2TKP memberikan fasilitas seperti psikotes, konseling, merchandise, modul training, P3K, outbond, sertifikat, dokumentasi, hingga asuransi yang dapat didiskusikan bersama.
ULASAN, ARTIKEL, RENUNGAN
Mindless Scrolling: Ilusi Kepuasan atau Kehilangan Waktu Berharga?
Di era digital yang serba cepat ini, kita sering kali menemukan diri kita terjebak dalam siklus tanpa akhir dari scrolling di media sosial, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “mindless scrolling.” Saat jari kita terus menggulir layar, kita mungkin tidak menyadari berapa banyak waktu yang telah kita habiskan, atau bagaimana aktivitas ini memengaruhi kesejahteraan mental kita. Apakah kita benar-benar terhubung dengan konten yang kita konsumsi, ataukah kita hanya terjebak dalam rutinitas yang tidak memiliki tujuan? Dalam artikel ini, mari kita renungkan bersama dampak dari perilaku ini, serta bagaimana kesadaran akan kebiasaan digital kita dapat membawa perubahan positif dalam hidup. Mindless scrolling mungkin tampak sepele, tetapi memahami implikasinya dapat membantu kita menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan seimbang. Saya menyadari bahwa perilaku “mindless scrolling” telah menjadi fenomena yang umum di kalangan pengguna. Mindless scrolling merujuk pada kebiasaan menggulir konten di platform media sosial tanpa tujuan yang jelas, sering kali dilakukan secara otomatis dan tanpa kesadaran (de Segovia Vicente et al, 2024). Penelitian terbaru oleh de Segovia Vicente et al., (2024) menunjukkan bahwa perilaku ini tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga dapat memicu perasaan bersalah dan konflik tujuan, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kesejahteraan mental. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana pengalaman scrolling yang tidak disadariini dapat memengaruhi kesehatan psikologis, terutama di era di mana media sosial menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Refleksi mengenai topik ini mengajak saya untuk merenungkan hubungan saya dengan teknologi dan bagaimana saya mengelola waktu yang saya habiskan di dunia digital. Sering kali, saya terjebak dalam ilusi bahwa scrolling tanpa henti adalah cara untuk bersantai atau terhubung dengan orang lain. Namun, saya mulai menyadari bahwa perasaan bersalah yang muncul setelah sesi scrolling yang panjang dapat mengindikasikan adanya konflik antara keinginan untuk bersenang-senang dan tanggung jawab terhadap tujuan yang lebih penting dalam hidup saya. Dengan meningkatkan kesadaran akan kebiasaan digital saya, saya dapat mulai mengambil langkah-langkah untuk mengubah perilaku ini, menciptakan ruang untuk pengalaman yang lebih bermakna dan produktif, serta meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Oleh karena itu, saya merasa penting untuk tidak hanya menyadari waktu yang saya habiskan untuk scrolling, tetapi juga untuk mengevaluasi kualitas interaksi yang saya lakukan di dunia maya. Dengan memahami bahwa mindless scrolling dapat mengarah pada perasaan bersalah dan konflik tujuan, saya dapat lebih bijak dalam memilih bagaimana dan kapan saya menggunakan media sosial. Mengambil langkah-langkah kecil, seperti menetapkan batasan waktu atau memilih konten yang lebih bermakna, dapat membantu saya mengubah pengalaman digital saya menjadi lebih positif dan mendukung kesejahteraan mental. Sebagai penutup, mari kita renungkan bersama: di tengah arus informasi yang tak ada habisnya, apakah kita benar-benar terhubung dengan pengalaman kita, ataukah kita hanya menjadi penonton dalam kehidupan kita sendiri? Seperti yang diungkapkan oleh Baym et al. (2020) dalam de Segovia Vicente et al. (2024), “mindless scrolling” dapat membuat kita terjebak dalam ilusi kepuasan sementara, namun pada akhirnya, kita mungkin merasa kehilangan waktu berharga yang seharusnya bisa kita gunakan untuk hal-hal yang lebih berarti. Mari kita ambil langkah kecil untuk lebih sadar dalam penggunaan media sosial kita, sehingga kita dapat mengubah kebiasaan ini menjadi pengalaman yang lebih bermakna dan mendukung kesejahteraan kita. Ingatlah bahwasetiap detik yang kita habiskan di dunia digital merupakan suatukesempatan kita untuk dapat memilih bagaimana kita ingin menjalani kehidupan. “Happiness is not something ready made it comes from your own actions” – Dalai Lama – Penulis Maria Dianingtyas (Asisten P2TKP Angkatan 2024) Penyunting Ariolietha Joanna Kintanayu (Asisten P2TKP Angkatan 2023) Daftar Acuan de Segovia Vicente, D., Van Gaeveren, K., Murphy, S. L., & Vanden Abeele, M. M. (2024). Does mindless scrolling hamper well-being? Combining ESM and log-data to examine the link between mindless scrolling, goal conflict, guilt, and daily well-being. Journal of Computer-Mediated Communication, 29(1), 1-14. Sumber Gambar Maria Dianingtyas (dokumentasi pribadi)
Attachment Issues pada Mahasiswa Berpacaran: Apa saja jenisnya dan efeknya?
Berpacaran merupakan suatu proses alamiah bagi mahasiswa yang sedang memasuki fase dewasa awal, dimana seseorang mencari pasangan yang mampu menjadi sahabat karibnya dengan membangun kelekatan emosi dan suatu bentuk dari proses pendewasaan kepribadian (Setiawan & Nurhidayah, 2008). Berdasarkan tahap perkembangan yang dijelaskan oleh Erik Erikson (Papalia & Martorell, 2014), mahasiswa sedang memasuki fase dewasa awal dengan rentang usia 20-40 tahun. Dalam tahap ini, mahasiswa akan menjalankan salah satu tugas perkembangannya yaitu menjalin hubungan intim dengan orang lain, belajar mengenal dan memahami kepribadian serta kebiasaan pasangannya. Dalam hubungan pacaran, terutama di kalangan mahasiswa, dinamika emosional seringkali dipengaruhi oleh pola attachment yang terbentuk sejak dini. Beberapa mahasiswa mungkin menghadapi tantangan dalam membangun hubungan yang sehat karena adanya attachment issues. Attachment issues merupakan masalah keterikatan emosional yang tidak aman, biasanya berasal dari pola asuh dan trauma dari hubungan sebelumnya. Mahasiswa yang sedang menjalani masa transisi dari remaja menuju dewasa awal mungkin menghadapi berbagai tekanan yang dapat memperburuk pola attachment ini, sehingga hubungan pacaran mereka diwarnai dengan konflik, kecemasan, dan adanya jarak emosional satu sama lain. Situasi ini tentunya tidak hanya akan memengaruhi kualitas hubungan, tetapi berdampak pada kesehatan mental dan performa akademik mahasiswa. Menurut John Bowlby (1969), attachment merupakan ikatan yang dibangun oleh seorang individu dengan figur lekatnya, yaitu pasangannya sendiri. Hal ini dikarenakan individu sedang berada pada tahap membangaun attachment dengan pasangannya. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki gaya attachment masing-masing yang bersumber dari pola perilaku tertentu dari masa kecil hingga dewasa, yang secara tidak langsung akan memengaruhi individu dalam menyelesaikan konflik dengan pasangannya. Berdasarkan Bartholomew dan Horowitz (1991), terdapat 4 gaya attachment, yaitu secure attachment (kelekatan aman), preoccupied attachment (terikat), dismissing attachment (lepas), dan fearful-avoidant attachment (cemas). Dari keempat gaya tersebut, tiga di antaranya menjadi faktor resiko timbulnya attachment issues, yaitu preoccupied attachment (terikat), dismissing attachment (lepas), dan fearful-avoidant attachment (cemas), sedangkan secure attachment berdampak positif terhadap attachment. Mahasiswa yang memiliki gaya secure attachment akan memiliki pandangan yang positif akan diri sendiri dan pasangannya, mudah akrab dengan orang asing, percaya diri, serta realistis. Mahasiswa yang memiliki gaya preoccupied attachment akan sangat bergantung pada pasangannya, sehingga akan lebih sulit untuk berbagi pemikiran dan perasaan terhadap pasangannya. Mahasiswa yang memiliki gaya dismissing attachment akan merasa nyaman dengan kemandirian dan membatasi interaksi dengan orang lain. Hal ini disebabkan karena individu merasa dirinya berharga dan mandiri, sedangkan orang lain melihat mereka sebagai orang yang sombong dan memiliki kemampuan sosial yang terbatas. Selanjutnya, mahasiswa yang memiliki fearful attachment malah akan meragukan dirinya sendiri dan sulit percaya pada orang lain. Mereka akan memiliki berbagai kecemasan terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Contohnya, khawatir jika pasangannya tidak akan menyukai dirinya lagi dan merasa ditinggalkan atau diabaikan oleh pasangannya. Attachment issues dapat menjadi tantangan besar dalam hubungan pacaran mahasiswa. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak dapat diatasi. Dengan mengenali pola attachment yang tidak sehat, cara membangun komunikasi terbuka, serta mencari dukungan profesional jika diperlukan, maka mahasiswa dapat menciptakan hubungan yang lebih sehat dan harmonis. Penting untuk memahami bahwa hubungan yang baik bukan hanya tentang keintiman, tetapi juga tentang menciptakan rasa aman dan saling mendukung dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan. Dengan memperbaiki pola attachment, mahasiswa tidak hanya meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangan, tetapi juga memperbaiki hubungan dengan dirinya sendiri. Penulis Ancilla Lukma Prasadi (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2022) Penyunting Gabriella Setia Maharani (Asisten P2TKP Angkatan 2024) Ariolietha Joanna Kintanayu (Asisten P2TKP Angkatan 2023) Daftar Acuan Bartholomew, K., & Horowitz. (1991). Attachment styles among young adults: a test of a four category model. Journal of Personality and Social Psychology, 61(2), 224-226. Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss (Vol. 1). New York: Basic Books. Papalia, E. D., & Martorell, G. (2014). Experience Human Developmenth (13th ed.). NY: McGraw-Hill Highher Education. Setiawan, R., & Nurhidayah, S. (2008, September). PENGARUH PACARAN TERHADAP PERILAKU SEKS PRANIKAH. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 1(2), 61-72. Sumber Gambar Broome, Scott (2024, December 18). Man and woman dancing at the center of trees [Photo]. Unsplash.com. https://unsplash.com/photos/man-and-woman-dancing-at-center-of-trees-BcVvVvqiCGA
Feel Your Feelings
“Cause sitting alone with yourself is burning alive, So you blast the speakers on the drive Never knowing if the notes will either douse or fan the fire” (Nothing Can, NIKI) Saat ini, bersikap positif merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini karena semakin banyak perasaan negatif yang diterima, seseorang cenderung akan mengalami perasaan negatif pula. Oleh karena itu, banyak orang yang mempercayai bahwa sikap positif dibutuhkan untuk melewati kehidupan yang penuh dengan hal tidak terduga ini. Saya juga pernah memiliki keyakinan untuk bersikap positif dalam berbagai kondisi. Saya melakukan hal tersebut untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja dan saya dapat mengatasi segala masalah yang sedang terjadi dalam hidup. Namun, lama-kelamaan saya merasa terbebani sendiri dengan keyakinan untuk selalu bersikap atau berpikir positif itu. Pada awalnya, saya percaya bahwa dengan menjadi pribadi yang positif akan membawa banyak hal baik bagi orang-orang di sekitar saya. Namun, secara tidak sadar saya sering kali mengabaikan perasaan negatif yang saya rasakan karena menuntut diri sendiri untuk selalu bersikap positif. Ketika mulai merasakan perasaan negatif (sedih, marah, kesal, dan sebagainya), saya langsung mencari kegiatan lain yang bisa membantu saya melupakan perasaan negatif itu, misalnya mengajak teman pergi bermain, mendengarkan lagu-lagu yang membawa suasana senang, dan sebagainya. Kemudian, hal ini terus berlanjut hingga ada kalanya saya merasa sedih ketika teman saya mendapatkan suatu pencapaian yang juga saya inginkan. Meskipun sedang merasa sedih, saya tetap berusaha menampilkan diri sebagai seseorang yang ikut senang dengan pencapaian tersebut. Akan tetapi, saya menjadi merasa bersalah dan menutup diri, serta tidak menunjukkan perasaan saya yang sebenarnya bahkan kepada orang-orang terdekat saya. Pengalaman yang saya rasakan mengenai perasaan atau pikiran untuk selalu menjadi pribadi yang positif dapat disebut sebagai “Toxic Positivity”. Toxic positivity merupakan salah satu bentuk keyakinan bahwa seseorang harus selalu menjaga pola pemikiran yang positif dalam situasi atau kondisi apapun (Cherry, 2024). Hal ini dapat berdampak negatif bagi seseorang jika dilakukan secara berlebihan. Cherry (2024), menyatakan bahwa seseorang yang berada dalam lingkungan dengan toxic positivity akan merasa diabaikan ketika menyampaikan perasaannya yang sebenarnya, terutama ketika perasaan tersebut mengandung hal-hal yang dianggap negatif, misalnya marah, sedih, dan sebagainya. Selain itu, seseorang yang memiliki toxic positivity berlebihan akan merasa bersalah ketika ia merasakan perasaan negatif dan tidak dapat mencari cara untuk menjadi “positif”. Kemudian, toxic positivity juga dapat menghambat perkembangan seseorang. Hal ini dapat dijelaskan ketika seseorang selalu ingin bersikap positif, sehingga mengabaikan pendalaman pada perasaan atau pengalaman menyakitkan yang sebenarnya dapat menjadi pembelajaran berharga untuk perkembangan diri. Proses untuk menyadari dan belajar menerima perasaan merupakan perjalanan yang panjang dan berkelanjutan. Sampai saat ini, saya juga masih berusaha untuk menerima perasaan negatif yang saya miliki. Meskipun saya belum bisa sepenuhnya mengakui pada orang lain ketika merasakan perasaan negatif, tetapi setidaknya saya sudah mau berusaha mengakui perasaan saya sendiri. Hal ini saya lakukan dengan menulis perasaan saya pada buku atau aplikasi notes di handphone, selain itu saya juga sering kali membuat playlist lagu-lagu yang sedang sesuai dengan perasaan saya. Namun, perlu diingat bahwa terlalu larut pada perasaan yang negatif juga bukan hal yang tepat. Pada akhirnya, bersikap dan berpikir positif dalam berbagai kondisi memang diperlukan untuk kembali mencari penguatan bagi diri kita maupun orang lain, tetapi ketika hal tersebut dilakukan berlebihan justru akan membuat kita kewalahan. Manusia memiliki berbagai emosi untuk dirasakan, sehingga ketika sedang merasa sedih atau marah ada baiknya kita tetap menghadapi dan menghargai perasaan tersebut pada diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita. “You don’t have to always figured everything out. You can just feel.” (Nick Nelson, Heartstopper) Penulis Maria Putri Dwi Astuti (Asisten P2TKP Angkatan 2023) Penyunting Hapsari Gagana Atitasitala (Asisten P2TKP Angkatan 2024) Daftar Acuan Cherry. K. (2024, May 14). Why toxic positivity can be harmful. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958 Sumber Gambar Dokumentasi Pribadi (Maria Putri Dwi Astuti)