LAYANAN KAMI

TESTING

Menyediakan layanan psikotes untuk berbagai jenis instansi dengan beragam tujuan, antara lain:

  • Perusahaan: seleksi, promosi, pengangkatan pegawai tetap, dsb;
  • Pendidikan: penerimaan siswa baru, penjurusan, pengarahan jurusan kuliah, minat & bakat, kepribadian, dsb;
  • Tes klasikal dan individual;
  • Pengetesan di dalam dan luar DIY.

Klik untuk daftar psikotes.

KONSELING

Layanan bagi Anda yang membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan permasalahan maupun memerlukan konsultasi psikologis, antara lain:

  • Konseling: bantuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah;
  • Asesmen: penggalian kebutuhan psikologis dengan alat tes psikologi;
  • Konsultasi: pertukaran pikiran untuk mendapatkan solusi.

Klik untuk daftar konseling.

TRAINING

Kami melayani berbagai jenis training untuk pelatihan dan pengembangan bagi sekolah, organisasi, perusahaan, instansi pemerintahan, dan universitas. Jenis team building, fun games, seminar, workshop, motivation training, dan lain sebagainya.

P2TKP memberikan fasilitas seperti psikotes, konseling, merchandise, modul training, P3K, outbond, sertifikat, dokumentasi, hingga asuransi yang dapat didiskusikan bersama.

Klik untuk daftar training.

ULASAN, ARTIKEL, RENUNGAN

Berteman dengan Rasa Syukur

“Sudahkah anda bersyukur hari ini?” Sebuah kalimat klise yang mungkin sering kita dengar. Dibalik kepopulerannya, “bersyukur” ternyata juga memiliki makna tersendiri bagi psikologi positif. Menarik, bukan? Mari kita lihat lebih lanjut mengenai bagaimana sudut pandang psikologi positif dalam memandang rasa syukur.  Psikologi positif merupakan sebuah pendekatan yang berfokus pada sisi positif kehidupan individu. Aspek yang menjadi poin utama dalam psikologi positif adalah emosi positif. Salah satu bentuk dari emosi positif adalah rasa syukur. Menurut Kardas, dkk (2019) rasa syukur dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk mengenali dan mengapresiasi setiap hal secara positif dalam hidup yang dapat diwujudkan melalui rasa senang dan ungkapan terima kasih. Rasa syukur mampu memberikan makna dalam hidup karena dapat memengaruhi cara pandang individu terhadap kehidupan. Dengan bersyukur, kita memperkenankan diri untuk selalu siap menerima apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini. Rasa syukur juga dapat membantu kita untuk mengubah tantangan menjadi peluang karena kita mampu menjaga emosi dan pikiran kita agar selalu optimistis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bersyukur dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis, seperti kebahagiaan dan kepuasan hidup. Selain itu, rasa syukur juga dapat berfungsi sebagai faktor protektor terhadap peristiwa yang menimbulkan tekanan (Koehler, 2023). Rasa syukur membuat individu menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya sehingga individu mampu untuk menghadapi berbagai pergumulan yang terjadi. Dalam aktivitas sehari-hari, pasti sulit rasanya untuk memandang keadaan secara positif. Ada saja situasi yang memunculkan emosi negatif sehingga menghalangi kita untuk melihat betapa bermaknanya segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini. Hal ini pun masih sering kali saya rasakan. Pada beberapa kesempatan, saya cenderung bersyukur karena didorong oleh kondisi yang menyenangkan saja. Saya belum sepenuhnya mampu menerima beban dengan ungkapan syukur. Oleh karena itu, saya masih perlu berlatih dan membiasakan diri dalam berjuang untuk menghargai tekanan di setiap kesempatan yang ada. Saya menyadari pentingnya berteman dengan rasa syukur. Ternyata, bersyukur dapat menjadi penawar yang ampuh untuk menghadapi tekanan. Oleh karena itu, saya ingin mengajak anda untuk mulai membiasakan diri dengan bersyukur. Langkah yang dapat anda lakukan untuk mulai menerapkan rasa syukur adalah dengan mencoba merenungkan hal-hal yang sudah anda lewati dalam satu hari. Luangkanlah waktu untuk merasakan emosi positif anda sembari melakukan kegiatan yang membuat badan menjadi rileks, misalnya dengan minum secangkir kopi di tempat yang tenang saat sore hari. Apabila anda senang untuk menulis, maka anda dapat menuliskan hal-hal luar biasa apa saja yang terjadi di satu hari dalam jurnal pribadi anda. Dengan melakukan evaluasi dan refleksi, anda dapat lebih menghargai setiap proses dalam hidup ini. Senantiasalah menjaga keseimbangan emosi agar selalu dalam keadaan yang positif. Terimalah segala situasi dengan apresiasi karena bersyukur dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Mari kita upayakan kebahagiaan melalui rasa syukur. Cheers!   Penulis Apathea Fides Peparing Gusti / Asisten P2TKP Angkatan 2023 Penyunting Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023 Daftar Acuan Kardas, F., Zekeriya, C. A. M., Eskisu, M., & Gelibolu, S. (2019). Gratitude, hope, optimism and life satisfaction as predictors of psychological well-being. Eurasian Journal of Educational Research, 19(82), 81-100. Homan, K., & Hosack, L. (2019). Gratitude and the self: Amplifying the good within. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 29(7), 874-886. Koehler, J. (2023). Cultivating a Gratitude Habit for Improved Well-Being. Psychology Today. Retrived April, 12 2024 from https://www.psychologytoday.com/us/blog/beyond-school-walls/202304/cultivating-a-gratitude-habit-for-improved-well-being. Sumber Gambar Dokumentasi pribadi, Apathea Fides Peparing Gusti.

Berjalan Jauh, Tetap Ingin Pulang

“Kapan bisa pulang, ya?”, “Kangen rumah, deh!”, “Duh! Bulan ini gak ada libur! Padahal mau pulang sebentar.” Pernah gak sih kalian merasa ingin segera kembali ke rumah? Apalagi bagi teman-teman perantau yang notabene sedang jauh dari rumah. Nah, fenomena ini disebut dengan homesick yang merupakan tekanan atau gangguan yang disebabkan oleh perpisahan dari rumah, baik secara mendadak maupun yang sudah direncanakan (Thurber, 1995). Namun, penyebab homesick tidak semata-mata hanya karena jauh dari rumah saja. Beberapa penelitian yang ditulis dalam Thurber dan Walton (2012) menunjukkan bahwa hidup dalam lingkungan baru dengan budaya, nilai, dan kepercayaan baru juga menjadi penyebab homesick. Hal ini karena individu menghadapi tantangan tambahan dalam penyesuaian diri, termasuk perbedaan bahasa yang menghambat pengekspresian diri, perbedaan budaya (misalnya, makanan, humor, adat istiadat, agama), perbedaan lingkungan (misalnya, iklim, kondisi perkotaan dan pedesaan), struktur pemerintahan dan perbedaan politik, perubahan tanggung jawab dan reputasi, berkurangnya kelompok teman sebaya, stereotip negatif, dan rasisme atau diskriminasi. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi homesick? Thurber & Walton (2012) memberikan beberapa saran yang bisa dicoba, lho! Mempelajari kondisi lingkungan dan budaya tempat yang menjadi tujuan. Misalnya, mengetahui bahwa lingkungan baru tidak menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, lingkungan lebih kolektif dibanding individualis, dan lain sebagainya. Hal ini dapat mengurangi rasa cemas karena individu sudah memiliki “bekal” terlebih dahulu. Berani mengambil keputusan sendiri. Semakin banyak pengalaman yang dijalankan karena pilihan sendiri (misalnya, memilih untuk mengikuti kepanitiaan/organisasi, memilih tempat tinggal, menyusun jadwal, dan lain sebagainya), semakin baik pula penyesuaian diri individu.  Mempromosikan lingkungan baru dengan positif. Individu dapat membicarakan hal-hal positif dari pengalaman yang didapatkan ketika jauh dari rumah. Misalnya, belajar memasak, bepergian sendiri ke tempat baru, dan lain sebagainya. Mempromosikan lingkungan baru secara positif dikaitkan dengan optimisme yang lebih besar. Mencari cara untuk menjaga komunikasi dengan keluarga atau orang terdekat. Zaman sekarang, teknologi dapat mendekatkan yang jauh. Individu dapat chatting, mengirimkan voice note, telepon, bahkan melakukan video call. Adanya hubungan yang baik melalui komunikasi akan mendorong penyesuaian diri yang positif. Mencegah “kesepakatan penjemputan” dengan orang tua. Mungkin hal ini merupakan hal yang sulit, tetapi mari coba kita bahas. Misal, orang tua berjanji akan selalu menjemput anak apabila anak rindu rumah. Hal ini akan dijadikan sandaran bagi anak tersebut. Orang tua pun dihadapkan pada pilihan yang sulit, yaitu membatalkan janji yang akan menyebabkan mengikisnya kepercayaan anak dan menimbulkan perasaan ditinggalkan atau memenuhi janji mereka tetapi merampas pengalaman pendidikan dan sosial yang penting bagi anak mereka yang sudah dewasa. Oleh karena itu, orang tua dan anak harus merencanakan cara tetap berhubungan selama berpisah, namun bukan dengan pulang lebih awal. Memilih coping yang adaptif. Individu dapat berolahraga, mengikuti kegiatan mahasiswa, mengembangkan hobi, tidur yang cukup, dan makan teratur disertai nutrisi yang seimbang. Memahami bahwa homesick adalah hal yang sangat normal. Oleh karena itu, bicarakanlah dengan orang tua atau orang terdekat untuk menenangkan diri dan meningkatkan kepercayaan diri. Wah … Ternyata, jauh dari rumah terkadang tidak semenyenangkan seperti dalam film-film. Jika kamu pernah merasakan hal yang sama, tenang saja, kamu tidak sendirian. Saya juga pernah merasakan homesick sampai-sampai merasa stres dan tidak semangat untuk menjalani kegiatan sehari-hari. Akan tetapi, hidup harus terus berjalan meskipun jauh dari rumah. Saya pun melakukan beberapa hal yang disarankan oleh Thurber & Walton (2012), yaitu berkomunikasi dengan keluarga, memilih coping yang adaptif, dan membicarakan kondisi dengan orang tua. Menurut saya, tindakan tersebut efektif karena saya mampu meregulasi emosi ketika sedang merasa homesick dan saya juga tidak merasa sendirian.   Selain itu, saya juga menilai hidup perantauan dengan positif. Selama merantau, apa saja pengalaman yang didapatkan? Apa saja yang sudah dilakukan? Apakah ada perkembangan yang baik dalam diri ini? Tentunya, pasti ada pengalaman yang sudah didapatkan, hal baru yang dilakukan, dan adanya perkembangan yang baik. Misalnya perkara makan, ketika masih bersama orang tua masih disiapkan, tetapi sekarang saya terdorong untuk masak sendiri atau membeli makanan sendiri dengan mencoba-coba makanan sekitar tempat tinggal. Ketika sedih? Dulu di rumah bisa langsung bercerita ke orang tua, tetapi ketika merantau saya mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu baru bercerita kepada orang tua (sebenarnya juga agar orang tua gak khawatir). Yah … bisa dibilang diri ini berkembang menjadi sedikit lebih mandiri selama hidup merantau dan ada hal-hal baik lain yang berkembang juga. Hidup perantauan memang tidak melulu tentang hal yang menyenangkan, hal yang menyedihkan pun turut menyertai. Namun, itulah yang memberikan warna pada kehidupan dan cara kita memaknainya akan memengaruhi cara kita menjalani kehidupan perantauan.   Bagi kamu yang sedang jauh dari rumah, apakah sedang merasakan homesick? Jika iya, semoga tetap tegar dan semoga dapat cepat kembali ke rumah, ya! Semangat!   Penulis Monica / Asisten P2TKP Angkatan 2023 Penyunting Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023 Daftar Acuan Thurber C. A. (1995). The experience and expression of homesickness in preadolescent and adolescent boys. Child development, 66(4), 1162–1178. https://doi.org/10.2307/1131805 Thurber, C. A., & Walton, E. A. (2012). Homesickness and adjustment in university students. Journal of American College Health, 60(5), 415–419. https://doi.org/10.1080/07448481.2012.673520. Sumber Gambar Webb, S. (2016). White house under maple trees [Stock Image]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/white-house-under-maple-trees-1ddol8rgUH8.

Shinrin-yoku (Forest Bathing): Healing Ala Orang Jepang!

Kalian pasti sering mendengarkan istilah ‘healing’ di zaman ini. Healing menjadi istilah populer yang diartikan sebagai ‘pelarian’ untuk mendapatkan ketenangan batin dan jiwa. Biasanya, orang-orang yang lelah dengan suasana dan rutinitas di perkotaan akan mencari suasana baru yang cenderung tidak padat. Pelarian yang dilakukan biasanya dilakukan dengan mengunjungi tempat baru dan sepi, seperti pegunungan, pantai, maupun kafe hidden gem. Di Negeri Sakura, Jepang, terdapat sebuah metode healing klasik yang dikenal dengan Shinrin-yoku. Shinrin-yoku juga dikenal dengan istilah populer lain, yaitu forest bathing. Shinrin-yoku sendiri memiliki arti, yaitu melakukan kontak dan terpengaruh dengan suasana atau atmosfer hutan secara fisik maupun psikis (Peck, 2019). Shinrin-yoku pertama kali diperkenalkan oleh Tomohide Akiyama sebagai Direktur Badan Kehutanan Jepang pada tahun 1982 sebagai bentuk rekreasi yang melibatkan aktivitas berjalan kaki dan menghirup zat harum yang keluar dari pepohonan (Clifford, 2018). Di zaman modern ini, Shinrin-yoku dikenal sebagai media relaksasi dan meditasi untuk menekan stres dan kecemasan. Namun, efektivitas Shinrin-yoku sebagai media relaksasi dan meditasi masih banyak dipertanyakan sehingga mulai muncul banyak penelitian mengenai efektivitas dari Shinrin-yoku. Berkaitan dengan hal itu, pengaruh Shinrin-yoku terhadap peningkatan kesehatan mental masih berada dalam pertimbangan dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Lalu, bagaimana eksistensi Shinrin-yoku sebagai metode relaksasi dan meditasi secara global hingga saat ini?   Shinrin-yoku: Healing atau Sekadar Hiking? Setelah memahami sekilas arti dari Shinrin-yoku, mungkin muncul pertanyaan, “apakah Shinrin-yoku sama dengan mendaki gunung?”. Dalam perspektif umum, mungkin Shinrin-yoku dan mendaki gunung dianggap sebagai hal yang sama, tetapi keduanya adalah hal yang berbeda.. Clifford (2018), memaparkan bahwa tujuan dari Shinrin-yoku berada “di sini”, bukan “di sana”. Selain itu, Shinrin-yoku juga memiliki tempo yang lebih lambat jika dibandingkan dengan mendaki gunung. Shinrin-yoku dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu berjalan di hutan atau alam (nature) yang memiliki hawa sejuk. Pada awalnya, Shinrin-yoku diketahui memiliki manfaat yang terbatas pada kesejahteraan fisik saja, misalnya dalam fungsi kekebalan tubuh meliputi peningkatan sel pembunuh alami, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan (Williams dalam Kotera et al., 2020). Namun, saat ini  berkembang menjadi kesejahteraan fisik dan kesejahteraan psikis, meliputi gangguan mood dan stres, serta relaksasi mental (Park et al. dalam Kotera et al., 2020). Oleh karena itu, mulai muncul banyak penelitian yang membahas mengenai efektivitas Shinrin-yoku terhadap kesehatan mental individu. Penelitian yang dilakukan oleh Furuyashiki et al. (2019) menunjukkan bahwa Shinrin-yoku menunjukkan dampak positif yang signifikan terhadap kesehatan mental, khususnya pada individu yang mengalami kecenderungan depresi. Shinrin-yoku yang dilakukan selama kurang lebih 2 jam dalam 1 hari di lingkungan hutan dapat meningkatkan kesehatan psikologis maupun fisiologis pada individu usia kerja. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan tekanan darah dan penurunan parameter negatif psikologis setelah melakukan Shinrin-yoku. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa peserta dengan kecenderungan depresi memperlihatkan adanya peningkatan yang lebih tinggi pada item profil keadaan suasana hati (Profile of Mood States), sehingga dapat menjadi bukti bahwa kegiatan Shinrin-yoku selama 1 hari sangat efektif dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis pada individu usia kerja yang memiliki kecenderungan depresi.   Shinrin-yoku: Relaksasi, Meditasi, dan Eksistensi Shinrin-yoku sebagai sebuah media relaksasi dan meditasi yang efektif membutuhkan waktu selama 2 jam. Waktu 2 jam itu akan mendorong individu untuk melepaskan diri dari paparan teknologi secara berlebihan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologisnya (Li, 2018). Aktivitas Shinrin-yoku ini cocok untuk seluruh kelompok masyarakat karena memiliki aksesibilitas yang lebih mudah, tetapi bagi kelompok yang menunjukkan biofobia, ketakutan, atau ketidaknyamanan di lingkungan hutan tetap direkomendasikan untuk melakukan adaptasi atau mengurangi durasi bagi kelompok lanjut usia (Clarke, Kotera, & McEwan, 2021). Oleh karena itu, tetap dibutuhkan perhatian khusus bagi individu-individu yang ingin melakukan aktivitas Shinrin-yoku. Sebagai sebuah media relaksasi dan meditasi, Shinrin-yoku dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan fungsi kardiovaskular, indeks hemodinamik, indeks neuroendokrin, indeks metabolik, indeks imunitas dan inflamasi, indeks antioksidan, serta indeks elektrofisiologi (Wen et al., 2019). Manfaat-manfaat tersebut mampu meningkatkan keadaan emosi, sikap, dan perasaan individu terhadap berbagai hal, pemulihan fisik dan psikologis, perilaku adaptif, serta mengurangi kecemasan dan depresi yang nyata. Selain itu, Shinrin-yoku yang pada dasarnya membangun hubungan dengan alam melalui kelima indera manusia juga memiliki manfaat seperti, mengurangi tekanan darah, menurunkan stres, meningkatkan metabolisme, menurunkan kadar gula darah, meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, mengangkat depresi, meningkatkan ambang nyeri, meningkatkan energi, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan produksi protein anti-kanker, serta membantu menurunkan berat badan (Li, 2018). Melalui manfaat-manfaat yang didapatkan, Shinrin-yoku dapat menjadi sebuah media relaksasi dan meditasi yang efektif. Hingga saat ini, Shinrin-yoku telah menjadi sebuah metode relaksasi dan meditasi yang sangat populer di seluruh dunia, bukan hanya di Jepang. Banyak orang di seluruh dunia yang telah mempraktikkan Shinrin-yoku dan mendapatkan hasil yang efektif. Salah satu yang pernah bercerita pada publik mengenai pengalaman melakukan Shinrin-yoku adalah Laurie Kehler, seorang blogger dari Wisconsin, Amerika Serikat yang memaknai Shinrin-yoku sebagai sebuah aktivitas yang mampu memberikan manfaat secara psikologis dan fisiologis secara nyata. Melalui Shinrin-yoku, Laurie Kehler mampu memikirkan dan memproses apa yang terjadi dalam seluruh pengalaman hidupnya di setiap langkah yang ia jejakkan di alam (Kehler, 2017). Jadi, Shinrin-yoku merupakan sebuah konsep healing ala orang Jepang yang populer secara global sebagai metode relaksasi dan meditasi. Namun, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap pengaruh terhadap peningkatan kesehatan mental sehingga terungkap efektivitasnya dengan lebih nyata dan lengkap. Shinrin-yoku adalah aktivitas sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa pun dari seluruh kelompok masyarakat dengan rekomendasi untuk beradaptasi bagi kelompok yang menunjukkan biofobia, ketakutan, atau ketidaknyamanan di lingkungan hutan. Sebagai aktivitas meditasi dan relaksasi yang sederhana dan populer, kalian bisa mempraktikkannya secara mandiri dengan panduan Shinrin-yoku atau forest bathing yang dapat diunduh di internet maupun mempraktikkannya bersama profesional, teman, keluarga, dan sebagainya demi kesejahteraan psikologis dan fisiologis yang lebih positif. “We protect what we love.” – Jacques Cousteau   Penulis Leonardo Agastya Kusuma / Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2021 Penyunting Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023 Daftar Acuan Clarke, F. J., Kotera, Y., McEwan, K. (2021). A qualitative study comparing mindfulness and shinrin-yoku (forest bathing): Practitioners’ perspectives. Sustainability, 13. https://doi.org/10.3390/su13126761. Clifford, M. A. (2018). Your guide to forest bathing : Experience the healing power of nature. Conari Press. Furuyashiki, A., Tabuchi, K., Norikoshi, K., Kobayashi, T., & Oriyama, S. (2019). A comparative study of the physiological and psychological effects of forest bathing (shinrin-yoku) on working age people with and without depressive tendencies. Environmental Health and Preventive Medicine, 24(46), 1-11. https://doi.org/10.1186/s12199-019-0800-1. Kehler, L. (2017, September 26). My experience forest bathing or, Shinrin Yoku. Medium. https://medium.com/@lauriekehler/my-experience-forest-bathing-or-shinrin-yoku-f919683f5bc8. Kotera, Y., Richardson, M., & Sheffield, D. (2020). Effects of shinrin-yoku (Forest bathing) and nature therapy on mental health: A systematic review and meta-analysis. International Journal of Mental Health and Addiction, 20(1), 337-361. https://doi.org/10.1007/s11469-020-00363-4 Li, Qing. (2018). Shinrin-yoku: The art and science of forest-bathing. Penguin Books Ltd. Peck, A. (2019). The green cure: How shinrin-yoku, earthing, going outside, or simply opening a window can heal us. Ryland Peters & Small. Wen, Y., Gu, X., Deng, W., Zou, Q., Hu, Y., Yan, Q., Pan, Y., Wen, Z., Wan, R., Sheng, G., Liu, Y., & He, M. (2023). The effects of dynamic and static forest bathing (shinrin-yoku) on physiological health in males and females. Forests, 14. https://doi.org/10.3390/f14081592.

KLIEN KAMI