Artikel,  Karya Tulis

Ketika Kebahagiaan Terasa Semu

“We cannot program ourselves to only feel happy”, sebuah kalimat yang menyesakkan dada tapi benar adanya. Manusia hidup dalam berbagai rasa. Rasa suka dan rasa duka. Rasa suka tentunya adalah hal yang paling dicari dalam hidup. Rasa dicintai, rasa dipedulikan, rasa bahwa semesta berpihak pada kita. Sebaliknya, rasa duka adalah rasa yang paling dihindari dalam hidup kita. Kita semua akan setuju untuk menjauhi perasaan yang membuat diri kita tidak nyaman, sedih, kesepian. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kita bisa merasakan rasa suka dalam kedukaan. Contohnya ketika putus dengan pacar, kita mendapat penghiburan serta dukungan dari teman-teman dekat dan keluarga. Hal ini mengurangi rasa sedih, bahkan kita tidak lagi merasa sendirian. Namun, terkadang dukungan yang didapat dari orang lain malah kurang bisa membuat kita merasa lebih baik. Dukungan ini justru membuat kita merasa dipaksa untuk mengenakan topeng aku tidak apa-apa dan memaksa kita untuk berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Dukungan yang kita dapat ini adalah bentuk dari toxic positivity.

Toxic Positivity adalah bentuk dari terlalu menggeneralisasikan keadaan bahagia secara tidak efektif dan berlebihan, bersikap optimis di segala situasi. Hal ini menyebabkan seseorang menyangkal, meminimalisasi, serta menghapus pengalaman emosi yang sebenarnya atau yang benar-benar ia rasakan (Quintero & Long, 2019). Dengan kata lain, toxic positivity hanya mengarah dan berfokus pada hal positif dan menyangkal hal-hal yang mungkin dapat memicu emosi negatif. Banyak dari kita yang melihat bahwa dengan begitu, kita dapat merasa lebih baik. Realitanya, kita hanya terus menimbun dan menimbun sampai emosi negatif pun menggunung. Bagaikan bom waktu, emosi negatif itu dapat meledak. Kita harus menyadari bahwa tidak semua orang perlu disemangati saat merasakan perasaan negatif, terkadang mereka hanya ingin didengarkan dan dimengerti. Tidak semua orang perlu diarahkan untuk mengambil sudut pandang positif dari kejadian yang dialami, terkadang mereka hanya ingin perasaannya diafirmasi dan dianggap wajar jika merasakan emosi tersebut. Hal tersebut pun berlaku ketika kita merasakan emosi negatif. Tidak perlu mengelak dan melarikan diri, tetapi dengan merasakan, menerima, dan mendengarkan diri sendiri.

Seseorang dapat dikatakan berperilaku toxic positivity ketika menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, ketika mencoba untuk menjalani hari dengan mengabaikan perasaannya. Bahkan, ia merasa bersalah karena perasaan yang dirasakan. Hal ini berlaku juga ketika kita menyederhanakan perasaan yang dirasakan orang lain, “ah cuma gitu aja kok” atau “jangan lebay deh”. Tidak hanya itu, toxic positivity adalah ketika kita berusaha memberikan perspektif lain dan mengabaikan pengalaman emosi dengan berkata, “harusnya kamu itu bersyukur”; mengejek orang lain ketika mereka mengekspresikan kefrustrasian dengan berkata, “badan macho tapi cengeng; dan ketika seseorang mengabaikan perasaan negatif dengan berkata, “ini sudah kehendak-Nya, terima saja. (Quintero & Long, 2019)

Jika orang yang sedang tertekan memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja, maka orang tersebut cenderung menyalahkan dirinya sendiri karena merasakan emosi negatif dan tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain. Bahkan, dilakukan secara terus menerus karena merasa tidak cukup tangguh, rendah diri, malu, dan semakin ragu akan diri sendiri. Perilaku menyalahkan diri sendiri ini disertai dengan rasa kecewa dan menambah emosi negatif yang dirasakan. Singkatnya, hal ini akan membentuk suatu pola untuk selalu menghindari emosi negatif dengan berfokus pada emosi positif saja. Ketika terjebak pada pola tersebut, umumnya kita cenderung memilih untuk memendam emosi negatif yang dirasakan. Pada akhirnya, emosi negatif akan menumpuk dan semakin membesar akibat tidak terproses dengan baik (Lukin, 2019).

Setiap orang berhak merasakan setiap emosi yang memenuhi dirinya, baik emosi negatif seperti sedih dan kecewa, maupun emosi positif seperti bahagia dan bersyukur. Tidak salah ketika kita ingin memberikan ucapan semangat untuk menguatkan teman, keluarga, bahkan orang asing yang terlihat muram. Niat baik juga perlu disertai dengan kata-kata yang baik. Bahkan, tidak salah juga ketika kita merasakan emosi negatif. Bukan berarti bahwa kita gagal. Emosi negatif yang terus-menerus dipendam, dihindari, atau disangkal, nantinya akan menyebabkan stress, bahkan dapat berujung pada psikosomatis. Stress terjadi ketika hal negatif terjadi berkali-kali tanpa ada jalan keluar. Ditambah, timbulnya rasa bersalah, gagal, dan tidak berdaya karena tidak merasa bahagia. Kegagalan dalam mencapai kebahagiaan ini merupakan stressor yang kemudian mengaktifkan mekanisme flight or fight. Tentu saja, pilihan untuk flight atau menghindar dirasa lebih aman hanya dengan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dirasakan dan meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja. Padahal, menerima emosi justru dapat membantu untuk meminimalisir emosi negatif yang dirasakan dan menyelesaikan masalah. Betapa melegakannya ketika kita bisa menceritakan bahwa hari ini adalah hari yang cukup buruk dan menerima fakta tersebut. Rasanya seperti melepas beban yang sudah lama dipikul. Menerima fakta bahwa kita tidak sedang baik-baik saja memang bukan hal yang mudah, namun kita tidak bisa terus menerus mempertahankan diri dalam kebahagiaan yang semu. Terdapat 4 hal yang perlu dilakukan untuk mulai menerima emosi yang dirasakan, dibandingkan menghindarinya (Goldberg, 2018). Kita perlu mengasihi diri sendiri dengan memahami bahwa emosi yang kita rasakan memang berat, memahami bahwa perasaan negatif adalah hal yang wajar dalam bagian  kehidupan manusia, tidak berpura-pura dengan cara menghayati apa yang dirasakan, dan mencoba menulis sebagai sarana menyalurkan emosi. Dengan memberikan perhatian, mengenali, dan menerima apapun yang kita rasakan akan membantu kita untuk memahami diri dan orang lain lebih baik.

 

REFERENSI

Goldberg, Haley. (2018, 30 Agustus). 4 Ways To Avoid ‘Toxic Positivity’ and Lean Into Emotional Acceptance. Shine : Get Advice. Diakses dari https://advice.shinetext.com/articles/4-ways-to-avoid-toxic-positivity-and-lean-into-emotional-acceptance/

Lukin, Konstantin. (2019, 1 Agustus). Toxic positivity: Don’t always look on the bright side. Psychology Today. Diakses dari https://www.google.com/amp/s/www.psychologytoday.com/us/blog/the-man-cave/201908/toxic-positivity-dont-always-look-the-bright-side%3famp

Quintero, S and Long, J. (2019, 16 September). Toxic positivity: The dark side of positive vibes. The Psychology Fort Lauderdale. Diakses dari https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/

 

Penulis : Cornelia Trianingrum, Dewi Aprillia, Ardisa Pritta, Annisa Vitri Raffa

Penyunting : Gihon Gracia W.U