Artikel,  Karya Tulis

KDRT: Lika-liku Rumah Tangga yang Tak Terhingga

Seringkali, kita terlalu mengurusi persoalan rumah tangga orang lain secara berlebihan. Kita selalu ingin tahu mengenai kehidupan rumah tangga seseorang. Lika-liku rumah tangga, seperti masalah finansial dan cara mendidik anak yang seharusnya merupakan konsumsi pribadi berubah menjadi pentas yang dikonsumsi oleh publik. Kita terus menerus membicarakan hal-hal yang dirasa salah dan menebar gossip hangat mengenai mereka. Namun, semuanya mendadak bungkam ketika mengetahui adanya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai sosok perempuan dan anak-anak yang menjadi korban akibat kekerasan ini. Banyak yang berdalih bahwa masalah ini bukan urusan kita. Sebagian dari kita justru seolah-olah tidak tahu bahwa kekerasan dalam rumah tangga menjadi makanan sehari-hari bagi mereka dan mereka terjebak sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Padahal, persoalan semacam ini yang justru perlu disuarakan. Lantas, mengapa persoalan kekerasan ini penting untuk suarakan?

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 pasal 1 poin 1 (Segaf, Yumpi, & Kursistin, 2009) dijelaskan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT ini merupakan salah satu kekerasan yang terus mengalami peningkatan, terutama sejak pandemi Covid-19 melanda. Agustina (2020) menerangkan bahwa di Jakarta, dari 97 kasus pengaduan sepanjang 16 Maret hingga 19 April 2020 yang masuk pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, jumlah laporan terbesar adalah kasus KDRT sebanyak 33 kasus. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kasus KDRT, seperti masalah komunikasi, masalah ekonomi, riwayat tindak kekerasan, dan budaya yang ada dalam keluarga. Satu hal yang pasti, dampak yang diberikan oleh KDRT begitu membekas bagi para penyintas. Maka dari itu, persoalan KDRT ini perlu kita beri sorotan lebih.

Pada umumnya, dampak negatif KDRT dapat mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Ditinjau dari segi psikis, dapat menimbulkan dampak traumatik bagi istri disertai perasaan cemas, stres, depresi, trauma, hingga menyalahkan diri sendiri.  Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya secara sosiologis (Sustriminah, 2010), sedangkan akibat fisik yang ditimbulkan adalah memar, patah tulang, kerusakan bagian tubuh hingga kematian (Jayanthi, 2009). Dampak merugikan ini tidak hanya dirasakan oleh istri, tetapi juga anak yang berada dalam keluarga tersebut. Bagi anak, kekerasan akan dipelajari sebagai sebuah cara penyelesaian, sehingga anak akan mengikuti penyelesaian masalah menggunakan kekerasan dan menganggap itu adalah suatu hal yang wajar (Segaf, Yumpi, & Kursistin, 2009). Dengan begitu, siklus kekerasan ini akan terus berulang dan mungkin menyebabkan kasus-kasus KDRT yang baru.

Tidak dapat dipungkiri, masih banyak perempuan yang tetap bertahan dan tidak melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib. Badriyah (2018) mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang membuat penyintas tetap memilih untuk tinggal bersama pasangan yang suka melakukan kekerasan, diantaranya:

  1. Penyintas memang mencintai pasangannya, sehingga apa pun yang terjadi ia akan tetap menerima pelaku dengan ikhlas dan lapangdada;
  2. Penyintas bergantung secara finansial kepada pelaku karena pelaku melarangnya bekerja;
  3. Penyintas tidak punya tempat untuk dituju karena pelaku biasanya melarang korban memiliki hubungan dekat dengan orang lain;
  4. Penyintas khawatir atas keselamatan dirinya dan anak-anaknya;
  5. Kepercayaan atau agamanya melarang perceraian;
  6. Penyintas tinggal di lingkungan yang bisa disebut permisif terhadap kekerasan terhadap wanita.

Perempuan yang mengalami KDRT tentu saja memiliki kekhawatiran tersendiri, terlepas dari pikiran yang terbesit oleh mereka untuk bercerai maupun melaporkan pasangannya kepada pihak berwajib. Walaupun begitu, penyintas KDRT memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan yang tercantum Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 10. Maka, marilah kita meningkatkan awareness terhadap bahaya KDRT dengan mengingatkan pada diri sendiri dan orang lain bahwa KDRT bukanlah hal yang lumrah. Kita berdaya dan kita mampu mengambil bagian dalam upaya penanganan KDRT ini. Sadarlah bahwa siapapun dapat mengalaminya, bahkan diri sendiri. Stop kekerasaan, junjung keadilan!

 

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S. (2020, 9 Mei). Kekerasan rumah tangga saat pandemi covid-19. Kompas. https://kompas.id/baca/riset/2020/05/09/kekerasan-rumah-tangga-saat-pandemi-covid-19/

Badriyah Khaleed, S. (2018). Penyelesaian hukum KDRT: penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan upaya pemulihannya. Media Pressindo.

Jayanthi, E.T., (2009). Faktor-faktor penyebab rerjadinya kekerasan dalam rumah rangga pada survivor yang ditangani oleh lembaga sahabat perempuan magelang. DIMENSIA, 3(2).

Segaf, Z., Yumpi, F., Kursistin, P. (2009). Memahami alasan perempuan bertahan dalam kekerasan domestik. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 5(1).

Sutrisminah, E. (2010). Dampak kekerasan pada istri dalam rumah rangga rerhadap kesehatan reproduksi. Majalah Ilmiah Sultan Agung, 50(127), 23-34.

Sumber gambar : https://pixabay.com/id/photos/wanita-penyalahgunaan-satu-warna-6133583/

 

Penulis : Klara Ardisa Prittadewi

Penyunting : Anak Agung Ayu Metta Nanda Kusuma