Artikel,  Karya Tulis

Hati Tersakiti, Rasa Ikut Mati

Memang, hidup tidak selamanya menyenangkan. Ada kalanya hidup menghujani kita dengan hal-hal yang menyedihkan. Pengalaman pahit dan kata-kata yang terus menghakimi pun terasa menyesakkan dada. Kita ditolak, kita dilupakan, kita ditinggalkan, kita tersakiti.  Belum lagi, adanya tanggungan untuk bekerja, mengerjakan tugas yang mendekati deadline, mengurus keluarga, meluangkan waktu untuk menghibur teman yang sedang bersedih, hingga lupa memberikan ruang untuk diri sendiri. Terlalu banyak yang harus dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Seringkali kita kabur daripada menghadapi apa yang terjadi. Bukan karena tidak mau, tetapi tidak sanggup. Kita membangun benteng di sekitar kita dengan harapan terhindar dari ancaman rasa sakit yang ditimbulkan oleh peristiwa dan masalah tertentu. Kita memilih untuk mati rasa karena takut merasakan kesedihan yang sama. Keadaan ini dikenal juga dengan emotional numbness.

Pada suatu titik kehidupan, setiap individu mungkin mengalami mati rasa atau emotional numbness. Seorang Psikoterapis bernama Mayra Mendez (Lindberg, 2020) menjelaskan bahwa emotional numbness merupakan proses menghalangi dan mengesampingkan perasaan yang disertai dengan penurunan respon terhadap emosi. Kondisi ini berangkat dari peristiwa traumatis yang pernah dialami atau masalah-masalah yang terus menumpuk dan sangat menekan, sehingga individu tidak berdaya untuk mengatasinya. Emotional numbness dapat terjadi pada mereka yang mengalami kecemasan, PTSD, kedukaan, depresi, kekerasan fisik, dan kekerasan mental. Tiap individu akan mengalami gejala yang berbeda-beda. Ada yang tidak dapat mengenali emosi yang sedang dirasakan, merasa hampa, merasa flat, tidak dapat berkonsentrasi, merasa linglung, dan merasa terlepas atau terpisah dari lingkungan sekitar. Individu mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain dan seringkali gagal memproses apa yang terjadi, seperti apa yang dibicarakan, apa yang dirasakan lawan bicara, dan apa yang harus dibicarakan. Maka dari itu, banyak yang merasa tidak nyaman dan menghindari interaksi sosial. Bagaikan robot, kita tidak memiliki kontrol atas diri kita dan aktivitas kita dikendalikan oleh orang lain. Kita tidak berpikir terlalu dalam dan hanya berinteraksi seadanya, sesuai apa yang terlintas di pikiran kita. Kita tidak benar-benar “hadir”.

Untung saja, emotional numbness pada umumnya berlangsung sementara. Namun, dalam beberapa kasus dapat menjadi sebuah kebiasaan maladaptif dalam menghadapi situasi tertentu. Kebiasaan untuk menjadikan emotional numbness sebagai coping mechanism. Apabila sedang dilanda banyak masalah atau suatu peristiwa yang benar-benar besar, tentu tiap orang akan merasa sangat tertekan. Daripada harus merasakan segala emosi negatif, beberapa orang memilih untuk “mematikan perasaan”. Emosi negatif memang tidak kita rasakan, tetapi kita juga kehilangan kesempatan untuk merasakan emosi positif. Aktivitas kita mungkin dapat berjalan dengan lancar, tetapi hasil tersebut kita peroleh dengan membohongi diri sendiri. Hal ini sejalan dengan mekanisme pertahanan manusia dalam menghadapi peristiwa yang sangat menekan atau traumatis. Manusia akan menunjukkan salah satu dari ketiga respon, yaitu fight, flight, atau freeze. Manusia tentu memiliki insting untuk bertahan hidup. Segala cara dilakukan untuk melindungi dan menyelamatkan diri dari ancaman, termasuk mengaktifkan “mode mati rasa” atau freeze. Freeze yang dimaksud bukan berarti seseorang tidak melakukan apa-apa, tetapi mereka berusaha memutus koneksi dengan lingkungan. Pada awalnya memang akan terasa melegakan, tetapi secara tidak sadar kita terus menggunakan cara ini dalam menghadapi masalah di kehidupan sehari-hari. Kita mampu beraktivitas, tetapi urusan perasaan tidak pernah tuntas.

Bagaimana pun juga, hal-hal negatif hidup berdampingan dengan hal-hal positif. Layaknya yin dan yang, dua energi yang bertolak belakang pun saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan. Melindungi diri sendiri memang merupakan hal baik, tetapi akan menjadi hal buruk apabila dilakukan melalui cara yang kurang tepat. Kita justru melukai diri sendiri. Kita perlu belajar menyadari dan menerima bahwa kesenangan akan datang, begitu pula dengan kesedihan. Memang berat mengikhlaskan peristiwa yang terdahulu, menghadapi masalah-masalah yang terjadi, dan mengkhawatirkan apa yang akan datang. Ketika permasalahan datang lagi dan kita berada di puncak tekanan, dengarkan diri sendiri. Dengarkan apa yang sebenarnya perasaan kita ingin sampaikan. Perlahan-lahan, cobalah ikut merasakan apa yang sedang terjadi dan mencari tahu darimana perasaan ini berasal. Izinkan perasaan tersebut memenuhi kita. Kita mungkin menyadari bahwa kita sedang lelah, tersakiti, dan perlu istirahat. Tidak apa untuk merasa sedih, kecewa, dan marah. Setelah itu, berilah ruang bagi diri kita sendiri untuk merenung dan melakukan regulasi diri. Rasanya jauh lebih melegakan daripada membendung perasaan. Kita juga dapat melepaskan tekanan dengan kegiatan yang produktif, seperti menulis jurnal dan berolahraga. Apabila kondisi tidak kunjung membaik, kita dapat mengikuti terapi bersama psikolog untuk membantu mencari coping mechanism alternatif. Menerima perasaan sendiri memang tidak mudah, tetapi kita dapat merasa lebih hidup.

 

REFERENSI

Lindberg, Sara. (2020, 4 April). What Is Emotional Numbing?. Very Well Mind. Diakses dari https://www.verywellmind.com/emotional-numbing-symptoms-2797372

Lo, Imi. (2018, 31 Oktober). Depersonalisation: Why Do I Feel Empty and Numb?. Psychology Today. Diakses dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/living-emotional-intensity/201810/depersonalisation-why-do-i-feel-empty-and-numb

Virzi, Juliette. (2018, 28 September). 16 Things People Don’t Realize You’re Doing Because You’re Emotionally ‘Numb’. The Mighty. Diakses dari https://themighty.com/2018/09/i-feel-numb/

 

Sumber gambar : https://www.freepik.com/free-vector/person-covering-emotions-searching-identity_8271071.htm#page=1&query=emotional&position=18

 

Penulis : Klara Ardisa Prittadewi

Penyunting : Gihon Gracia Wargya Utami