Karya Tulis,  Podjok Merenung

Fake It Till You Make It

Beberapa peristiwa di sekitar kita terkadang berpotensi menimbulkan stres. Hal tersebut merupakan fenomena yang umum dan pernah dialami oleh semua orang. Akan tetapi, peristiwa atau hal yang memicu stres pada satu orang dengan yang lain tentunya akan berbeda-beda. Selanjutnya, secara naluriah, seseorang akan terdorong untuk melakukan suatu upaya agar mampu menghadapi dan mengatasi situasi tersebut. 

Begitu pun dengan saya sendiri. Salah satu pengalaman yang bisa menggambarkan situasi tersebut adalah ketika saya ditunjuk menjadi seorang pemimpin. Mungkin bagi beberapa orang, pengalaman tersebut dilihat sebagai sesuatu yang menantang, menyenangkan, bahkan membanggakan. Namun, tidak bagi saya. Sejauh saya mengenal diri sendiri, sebelumnya saya merupakan orang yang akan sebisa mungkin menghindari tanggung jawab besar tersebut. Bahkan sesimpel ketika saya diberikan tanggung jawab menjadi koordinator dalam sebuah game, sejujurnya saya merasa bahwa hal tersebut merupakan suatu beban yang berarti. Tidak bisa dimungkiri, sejatinya saya takut bertanggung jawab atas orang lain.

Ketika berada dalam situasi yang menekan, seseorang akan berupaya untuk menghadapi dan mengendalikan situasi tersebut. Inilah yang kita kenal dengan istilah strategi koping. Terdapat dua jenis strategi koping yang dapat dilakukan, yaitu strategi yang berfokus pada permasalahan (problem focused-coping) dan yang berfokus pada pengendalian emosi (emotion-focused coping) (Lazarus & Folkman, 1984). Dalam pengalaman pribadi, ketika berhadapan dengan situasi yang stressful, bercerita kepada orang-orang yang dipercaya merupakan salah satu langkah yang akan saya tempuh. Melalui permenungan, saya pun menyadari bahwa dukungan sosial dari mereka berperan penting agar sedikit menenangkan suasana hati yang sedang kalut. Selain itu, dengan bercerita dan bertukar pendapat dengan orang lain, hal tersebut membantu saya untuk menyusun strategi dalam melalui dan menghadapi situasi tertentu. 

Di sisi lain, berkaitan dengan hal yang sudah saya singgung di atas—mengenai ketakutan menjadi seorang pemimpin—kebiasaan untuk mencari dukungan dari orang lain kerap kali mendorong saya untuk berpikir, “Menyelesaikan masalah sendiri saja tidak mampu, bagaimana mau bertanggung jawab atas orang lain?” Mindset inilah yang justru membuat saya minder atau kecil hati dan cenderung takut menerima tanggung jawab sebagai pemimpin. Di sisi lain, diperlukan keberanian dan hati yang besar pula untuk menerima tanggung jawab tersebut. 

Sewaktu menjumpai pengalaman yang tidak dikehendaki, adakala kita memang bisa melarikan diri dari situasi itu. Namun, bukankah semuanya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan? Lantas, apabila terus-terusan lari menghindari situasi tersebut, kita tidak akan pernah merasa “mampu” menghadapi ketakutan itu. Terdapat beberapa pertanyaan yang sering muncul dan cukup mengusik dalam benak saya, seperti “Mau sampai kapan, sih, bergantung pada orang lain? Jadi kamu memang benar-benar takut keluar dari zona nyaman, ya?” Hal seperti itulah yang membuat saya membenarkan apa yang dikatakan oleh orang lain bahwa musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri.

Yap, setelah melalui beberapa peristiwa, akhirnya saya mulai membuka diri dan perlahan mulai menerima ketika saya dipercaya oleh orang lain menjadi seorang pemimpin. Tentu, awalnya sulit bagi saya untuk mengendalikan diri ketika berada dalam suatu tekanan. Salah satu hal yang cukup menguatkan saya sampai saat ini adalah dengan mengatakan pada diri sendiri, “Meskipun ini berat, tapi percayalah bahwa tidak ada yang mustahil. Fake it till you make it.” Hal itulah yang akhirnya meningkatkan kepercayaan diri saya dari waktu ke waktu. Banyak pula kesalahan pernah dilakukan yang akhirnya saya jadikan pembelajaran bagi diri saya sendiri. 

Carney et al. (2010) melakukan sebuah penelitian mengenai pengaruh ketika seseorang menampilkan diri seolah-olah memiliki “kekuasaan” tinggi di situasi tertentu. Penelitian tersebut menemukan adanya perubahan fisiologis berupa peningkatan hormon testosteron, penurunan hormon stres kortisol, serta peningkatan pada toleransi risiko yang akan diterima dalam diri individu. Melalui hormon-hormon yang telah disebutkan, hal itu memengaruhi psikologis individu, khususnya ketika menghadapi situasi yang cukup menekan. Dengan kata lain, hal tersebut mampu mengurangi tingkat stres yang sedang dirasakannya. 

Penelitian ilmiah pun telah membuktikan bahwa bertindak seolah-olah menjadi seperti apa yang kita harapkan, terkadang akan membantu kita untuk mampu menghadapi situasi tertentu. Bagi sebagian orang (termasuk saya sendiri), dengan menampilkan diri yang berlawanan dengan ketakutan yang dirasakan, hal tersebut akan terlihat seolah-olah kita tidak menghindari kecemasan yang ada dalam diri individu. Secara tidak langsung, pola pikir tersebut membantu saya pribadi untuk berani mengambil langkah dan keluar dari zona nyaman. 

 

Penulis
Bunga Rossa de Lima (Asisten P2TKP Angkatan 2022)

Penyunting
Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021)


Daftar Acuan
Carney, D. R., Cuddy, A. J. C., & Yap, A. J. (2010). Power posing: brief nonverbal displays affect neuroendocrine levels and risk tolerance. Psychological Science, 21(10), 1363-1368. https://doi.org/10.1177/0956797610383437

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.

Sumber Gambar
Sigmund. (2021). Brown and black jigsaw puzzle photo [Stock Image]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/B-x4VaIriRc.