Artikel,  Karya Tulis

Efek Impostor Syndrome: Mengapa Kesuksesan Terasa Berat?

Pernahkah Anda merasa tidak layak atas kesuksesan yang diraih, meskipun sudah bekerja keras? Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, mahasiswa rentan mengalami fenomena ini, dimana mereka meragukan kemampuan diri mereka sendiri. Fenomena ini disebut sebagai “impostor syndrome” yang berarti “seseorang meyakini bahwa pencapaiannya terjadi bukan karena kemampuan yang sebenarnya, tetapi karena ada keberuntungan atau memanipulasi kesan orang lain” (Clance & Imes, 1978; dalam Wei et al., 2020). 

Menurut Bravata et al. (2020), impostor syndrome, atau yang disebut juga dengan “sindrom penipu”, merupakan sebuah kondisi dimana seorang individu yang berhasil dan diakui kesuksesannya secara objektif, gagal menginternalisasi kesuksesan tersebut secara positif. Mereka tidak mampu menyadari bahwa dirinya benar-benar pandai dan berbakat. Sebaliknya, mereka dengan kondisi ini malah terus-menerus meragukan diri mereka sendiri. Individu dengan impostor syndrome menganggap keberhasilan yang mereka dapatkan sebagai faktor eksternal, seperti keberuntungan yang datang pada mereka, atau karena adanya bantuan dari orang lain. Mereka juga takut jika orang lain akan mengungkapnya sebagai “penipu” jika mereka tidak bisa mengulang keberhasilan yang sama dari yang semula. Anggapan bahwa kemunduran atau kegagalan yang dialami merupakan “bukti” ketidakprofesionalan kemampuan mereka.

Apa ciri-ciri orang yang memiliki sindrom ini? Pertama, individu memberi tekanan berlebih pada dirinya sendiri yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa diri mereka unggul dan layak untuk sukses. Menurut Cokley et al. (2017), hal ini berhubungan dengan sifat perfeksionisme. Perfeksionisme mengacu pada standar pribadi yang tinggi, menjadi terorganisir, tertib, dan berjuang untuk kesempurnaan (Slaney & Ashby, 1996; dalam Cokley et al., 2018). Seseorang dengan impostor syndrome cenderung mempunyai sifat perfeksionisme maladaptif, dimana mereka menunjukkan standar pribadi yang berlebihan atau terlalu tinggi. Sifat perfeksionisme ini juga didorong oleh pengalaman internal kepalsuan, yang mana seseorang merasa seperti “penipu” dan berpura-pura kompeten, serta khawatir suatu saat akan “ketahuan” oleh orang lain jika gagal mengulang kesuksesan sebelumnya (Cokley et al., 2017). Ciri selanjutnya adalah efikasi diri yang rendah. Efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan mereka untuk berhasil (Bandura, 1977). Pada kasus ini, mahasiswa yang memiliki kecenderungan impostor syndrome yang tinggi memiliki efikasi diri yang rendah (Jöstl et al., 2012; Tao & Gloria, 2019; dalam Pákozdy et al., 2023).

Pada konteks perkuliahan, mahasiswa universitas berkemungkinan rentan mengalami sindrom ini (Pákozdy et al., 2023). Kemungkinan penyebabnya adalah besarnya tuntutan akademis seperti nilai, prestasi, dan penghargaan. Tidak jarang, atmosfer perkuliahan yang melibatkan persaingan antarmahasiswa, baik dalam prestasi akademis atau peluang karier, juga meningkatkan tekanan untuk selalu menampilkan yang terbaik.

Dampak yang muncul pada orang yang memiliki sindrom ini yaitu, mereka lebih mungkin mengalami kecemasan akademik dan memiliki harapan yang lebih rendah tentang prestasi masa depan mereka (Cusack et al., 2013; Ross et al., 2001; dalam Pákozdy et al., 2023). Selain itu, hal ini juga berpengaruh kepada kesehatan mental yang negatif pada seseorang, seperti kecemasan (Cokley et al., 2017), dan depresi (Clance & Imes, 1978; Cokley dkk et al., 2017). Para ahli juga mengatakan bahwa fenomena ini dapat memengaruhi kinerja seseorang dalam kesehariannya. Dalam sebuah artikel populer berjudul “How to Overcome Impostor Phenomenon” yang ditulis oleh Abramson (2021), seorang tokoh bernama Richard Gardner, Ph.D dari Universitas Nevada, Las Vegas, menjelaskan bahwa perasaan sebagai penipu dapat menghambat kemampuan seseorang untuk mengambil risiko. Contohnya, ketika seseorang takut gagal, mereka mungkin akan menarik diri terlalu cepat dari situasi. 

Lalu, bagaimana cara mengatasi perasaan tersebut? Walaupun sindrom ini tidak termasuk dalam gangguan klinis, namun tetap ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Dalam Abramson (2021), seorang instruktur dan psikolog klinis, Jessica Vanderlan, Ph.D, pernah melakukan diskusi mengenai impostor syndrome pada kelompok kecil residen medis di rumah sakit tersebut. Vanderlan menyadari bahwa fenomena ini lumrah dialami oleh para dokter baru dan seringkali menyebabkan kelelahan. Dalam prosesnya, Vanderlan merekomendasikan beberapa cara untuk mengurangi perasaan berat bagi orang yang mengalami impostor syndrome. 

Cara yang pertama adalah memantau dialog internal atau pembicaraan yang ada di dalam pikiran kita saat meragukan pencapaian diri sendiri. Vanderlan menyarankan sebuah latihan sederhana, seperti membayangkan bagaimana cara mendukung teman kita jika mereka meremehkan pencapaiannya. Kemudian, silakan coba menerapkan cara yang sama untuk mendukung diri Anda sendiri. 

Kedua, jika Anda kesulitan untuk memercayai “fakta” tentang diri Anda sendiri, Vanderlan menyarankan untuk meminta bantuan orang lain untuk menggambarkannya. Membagikan perasaan Anda pada orang lain tidak hanya mengurangi rasa kesepian, tetapi juga membuka peluang bagi orang lain untuk membagikan apa yang mereka lihat di dalam diri Anda. 

Ketiga, orang yang bergumul dengan impostor syndrome cenderung mengabaikan keberhasilan mereka yang hanya akan memperburuk pengalaman tersebut. Menurut Lisa Orbé-Austin, PhD (dalam Abramson, 2021), jika seseorang memberikan pujian kepada Anda, jangan cepat-cepat melupakannya. Cobalah untuk melihat hal tersebut secara lebih positif dan berbicara lebih baik mengenai diri Anda sebagai pengingat Anda kedepannya. 

Keempat, lepaskan perfeksionisme. Vanderlan menyarankan untuk berfokus pada kemajuan daripada mengejar kesempurnaan. Jika tidak memenuhi suatu standar dalam melakukan sesuatu, jangan melihat kegagalan tersebut sebagai suatu tantangan yang berat. Orbé-Austin juga menyarankan untuk melihat ulang kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Hal ini dapat membantu Anda untuk melepaskan diri dari sifat terlalu kaku atau harus selalu memenuhi aturan. 

Kelima, kembangkan rasa belas kasih pada diri sendiri. Sebagai manusia, kita perlu belajar mengenal dan menerima perasaan takut yang dialami. Hal ini menekankan bahwa kita tidak perlu terus berpura-pura dan menekan diri untuk selalu berprestasi, namun belajar untuk menerima bahwa kita baik-baik saja apa adanya sebagai manusia. 

Keenam, bagikan pengalaman kegagalan Anda. Jika Anda hanya melihat sisi terburuk Anda dan sisi terbaik orang lain, hal ini dapat memicu perbandingan yang dapat memperburuk perasaan sebagai seorang “penipu”. Untuk mengatasi hal tersebut, Anda bisa saling mendiskusikan pengalaman-pengalaman kegagalan satu sama lain dengan rekan Anda untuk mendapatkan saran dan dukungan dari mereka. Selain itu, Anda akan melihat bahwa semua orang juga pernah mengalami kegagalan. 

Ketujuh, belajar menerima. Vanderlan mengatakan bahwa perasaan ini sering muncul pada setiap perubahan karier, seperti dari sekolah ke kuliah, kuliah ke magang, dan seterusnya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi orang-orang yang berada di dalam masa transisi tersebut. Jika Anda merasa hal ini cukup berat bagi Anda, cobalah untuk menerima bahwa hal ini merupakan bagian dari proses adaptasi. Proses ini memerlukan waktu, sehingga tidak apa-apa jika Anda belum sepenuhnya yakin sejak awal, karena Anda pasti akan berproses perlahan di situ. 

Penulis
Teresa Cahyaningtyas / Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2022

Penyunting
Maria Gracia Aprilianova / Asisten P2TKP Angkatan 2024
Gabriella Setia Maharani / Asisten P2TKP Angkatan 2024


Daftar Acuan
Abramson, A. (2021). How to overcome impostor phenomenon. American Psychological Association. Retrieved November 4, 2024, from https://www.apa.org/monitor/2021/06/cover-impostor-phenomenon
Bravata, D. M., Watts, S. A., Keefer, A. L., Madhusudhan, D. K., Taylor, K. T., Clark, D. M., Nelson, R. S., Cokley, K. O., & Hagg, H. K. (2019). Prevalence, Predictors, and Treatment of Impostor Syndrome: a Systematic Review. Journal of General Internal Medicine, 35(4), 1252–1275. https://doi.org/10.1007/s11606-019-05364-1
Cokley, K., Stone, S., Krueger, N., Bailey, M., Garba, R., & Hurst, A. (2018). Self-esteem as a mediator of the link between perfectionism and the impostor phenomenon. Personality and Individual Differences, 135, 292–297. https://doi.org/10.1016/j.paid.2018.07.032
Pákozdy, C., Askew, J., Dyer, J., Gately, P., Martin, L., Mavor, K. I., & Brown, G. R. (2023). The imposter phenomenon and its relationship with self-efficacy, perfectionism and happiness in university students. Current Psychology, 43(6), 5153–5162. https://doi.org/10.1007/s12144-023-04672-4
Wei, M., Liu, S., Ko, S. Y., Wang, C., & Du, Y. (2020). Impostor feelings and Psychological distress among Asian Americans: interpersonal shame and Self-Compassion. The Counseling Psychologist, 48(3), 432–458. https://doi.org/10.1177/0011000019891992

Sumber Gambar
Sounas, E. (2019). Impostor syndrome illustration [Illustration]. Dribble. https://dribbble.com/shots/6644575–Impostor-syndrome-illustration