Artikel,  Karya Tulis

Disorder Behind The Screen

Sulit rasanya bagi manusia sekarang untuk membayangkan hidup tanpa internet. Hidup berdampingan dengan internet mampu membawa keberkahan, tetapi juga ancaman di saat yang bersamaan. Hal ini pun sangat disayangkan karena banyak orang yang kurang bisa menyadari ketika berkah yang ada ini mulai mendatangkan ancaman. Internet dan segala kecanggihannya sering atau bahkan selalu membuat kita terpesona hingga membuat kita tidak bisa hidup tanpanya. Sejak pandemi COVID-19, dunia tampak semakin menggantungkan kehidupannya pada internet, salah satunya untuk berinteraksi.

Interaksi antar-individu sekarang banyak dilakukan melalui internet. Tidak hanya untuk rapat, interaksi di internet tak sedikit yang melibatkan hubungan romantis, perasaan, bahkan seksualitas. Berbagai bentuk perilaku yang melibatkan konten, topik, dan rangsangan seksual disebut dengan Online Sexual Activity (OSA). OSA merupakan pengertian luas yang mencakup berbagai aktivitas terkait seksualitas yang terjadi secara langsung; yang kemudian sekarang juga terjadi dengan konteks online (Döring, 2009). OSA mencakup berbagai perilaku, baik secara individual (seperti menonton pornografi) maupun berpasangan (seperti sexting). Salah satu bentuk dari OSA disebut cybersex. Schneider (dalam Rimington & Gast, 2007) mendeskripsikan bahwa cybersex merupakan berbagai bentuk ekspresi seksual yang diakses melalui komputer. Selain itu, Cooper et al. (2004) mendefinisikan cybersex sebagai bentuk penggunaan internet untuk kepuasan seksual sehingga cybersex dan OSA dapat dianggap sebagai adanya pertukaran. Dengan kata lain, cybersex merupakan interaksi seksual secara virtual melalui internet atau handphone yang tidak melibatkan kontak langsung atau person-to-person. 

Beberapa aktivitas yang termasuk cybersex, seperti saling bertukar e-mail berisikan konten seksual, ruang obrolan (chat room), pesan singkat, atau penggunaan kamera web (Rimington & Gast, 2007). Semua kegiatan itu dilakukan untuk satu tujuan, yaitu memuaskan hasrat seksual. Tak hanya itu, aktivitas seperti menonton pornografi secara online juga tergolong cybersex. Ada banyak sebutan yang lebih populer untuk aktivitas-aktivitas itu. Misalnya, sexting (sex chatting), yaitu aktivitas pertukaran pesan online antara dua orang atau lebih yang berisikan pembahasan seksual. Sexting juga mencakup mengirim pesan, emoji, foto, atau gambar yang eksplisit secara seksual. Selain itu, ada juga kegiatan Video Call Sex yang merupakan kegiatan panggilan menggunakan video dengan melibatkan aktivitas seksual, seperti masturbasi. Kemajuan teknologi di jaman sekarang juga menghadirkan adanya Alternate Reality atau realitas alternatif. Kehadiran teknologi itu juga tidak lepas dari penggunaannya untuk aktivitas seksual yang disebut dengan Virtual Reality Sex (VRS). Pada VRS, individu berinteraksi secara romantis dan seksual dengan dunia virtual 3D (Tiga Dimensi). Dalam VRS, individu mampu bereksperimen dengan avatarnya. Tak hanya itu, belakangan ini penggunaan dating app atau aplikasi kencan semakin marak digunakan. Tak sedikit yang benar-benar mampu menemukan jodohnya melalui aplikasi tersebut. Penggunaan aplikasi kencan juga tidak lepas dari cybersex, meskipun hal ini tergantung ketentuan yang ada di aplikasi. Beberapa aplikasi secara jelas melarang aktivitas seksual apapun, tetapi juga ada aplikasi yang tidak membahas terkait itu, sehingga banyak praktik cybersex.

Penggunaan cybersex pada dasarnya ditujukan untuk aktivitas seksual yang bebas risiko karena tidak melibatkan kontak langsung. Peneliti mencetuskan mekanisme yang disebut dengan “Triple-A Engine”. Triple-A Engine digunakan untuk menjelaskan keuntungan utama dari penggunaan internet untuk aktivitas seksual, yaitu Anonymity, Accessibility, dan Affordability (Cooper et al., 2004; Cooper, 1999; Cooper et al., 2007 dalam Rimington & Gast, 2007). Pada dasarnya, Triple-A Engine menjelaskan bahwa penggunaan internet untuk aktivitas seksual memungkinkan individu untuk mengakses materi online secara rahasia dari rumah mereka dan tanpa potensi risiko, seperti dipermalukan atau dikritik orang lain. Griffiths (2000) menambahkan bahwa manfaat aktivitas seksual online juga mencakup kenyamanan, pelarian, dan penerimaan sosial.

Meskipun tampaknya bebas risiko, penggunaan cybersex sesungguhnya penuh dengan bahaya. Tak hanya masalah ancaman penyebaran data pribadi dan pemerasan, cybersex merupakan tempat yang berpotensi membentuk perilaku seksual ekstrem yang mengarah ke gangguan psikologis. Tidak sedikit orang yang dihantui rasa bersalah dan malu setelah terlibat aktivitas cybersex, terutama jika itu melanggar nilai hidup atau budaya mereka. Selain itu, cybersex juga dihubungkan dengan konsumsi waktu online dalam jumlah berlebihan. Hal itu digunakan untuk menjelaskan hubungan perilaku kompulsif dengan cybersex. Perilaku kompulsif sendiri mencakup tindakan berulang yang dikarakterisasi dengan perasaan individu untuk harus melakukan meskipun ia sadar bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan nilai dirinya (Luigjes et al., 2019).

Hubungan antara perilaku kompulsif dengan cybersex inilah merupakan ancaman sesungguhnya. Mengutip Cooper et al. (1998), kompulsif seksual dideskripsikan sebagai dorongan yang tidak terkontrol untuk melakukan tindakan seksual irasional, termasuk yang menghasilkan konsekuensi negatif. Selain itu, aspek kompulsif juga mencakup ketidakmampuan seseorang mengendalikan intensitas dan jumlah perilaku serta menghentikan perilakunya. Melansir dari The New York Times, Dr. Mark Schwartz dari Institut Matster dan Johnson di Saint Louis mengatakan, “sex on the net is like heroin.” Ia menjelaskan bahwa cybersex mengambil alih hidup orang karena kepuasannya yang cepat dan singkat membuat orang yang terpengaruh tidak ingin lepas. Individu bisa menghabiskan waktunya berjam-jam dengan internet hanya untuk memuaskan nafsunya. 

Gangguan seksual adiktif tidak berbeda dengan ketergantungan pada zat-zat narkoba. Individu menggunakan internet sebagai bagian penting dan utama dalam perilaku seksual mereka. Tak jarang, perilaku individu tersebut juga bisa mengancam kehidupan relasinya dengan orang lain dan kehidupan mereka sendiri. Mengutip dari Dr. Cooper dalam The New York Times, individu yang rentan terjangkit, yaitu yang kehidupan seksualnya mungkin ditekan dan dibatasi selama hidupnya dan kemudian menemukan persediaan kesempatan seksual tidak terbatas di internet. Beberapa individu dengan ketergantungan cybersex mengembangkan respon terkondisi terhadap komputer, dimana individu sudah bergairah bahkan ketika komputer belum menyala. Asosiasi antara komputer dan kepuasan seksual membuat gairah individu mudah terangsang hanya dengan hadirnya komputer.

Selain itu, sama dengan adiksi lainnya, adiksi pada cybersex juga menunjukkan perilaku-perilaku berisiko. Perilaku berisiko tersebut muncul karena adanya toleransi pada rangsangan yang berkembang. Rangsangan yang dimaksud adalah kehadiran cybersex. Individu akan terus menerus mencoba mengejar kesenangannya, bahkan hingga melakukan perilaku berisiko yang sebelumnya tidak akan dia lakukan. Tak berhenti sampai disitu, individu dengan adiksi cybersex juga tidak memedulikan dunia sekitarnya dan hanya fokus pada kepuasannya. Hal ini tampak pada beberapa kasus anak-anak yang menemukan orang tuanya sedang masturbasi di depan komputer atau anak-anak yang menemukan konten seksual karena orang tuanya meninggalkan konten di area yang bisa dijangkau anak-anak. 

Pada dasarnya, internet memberikan manusia berkah. Meskipun demikian, berkah tersebut tidak lepas dari ancaman-ancaman yang tidak mudah ditebak. Adiksi cybersex hanya satu dari sekian banyak bahaya yang mengancam di balik canggihnya teknologi di masa ini. Ancaman-ancaman tersebut pastinya akan mengganggu kehidupan kita termasuk kesehatan psikologis kita. Setidaknya, satu-satunya cara untuk menghindar dari ancaman tersebut adalah dengan bijak dan kritis menggunakan internet. Penggunaan yang berlebihan dan mendasarkan pada kepuasan atau kesenangan tertentu hanya akan membawa kita mendekat ke bahaya yang tersembunyi. 

 

Penulis
Emanuela Tyasgupita Lintangswasti (Asisten P2TKP Angkatan 2022

Penyunting
1. Bernadeta Karisma Putri (Asisten P2TKP Angkatan 2022)
2. Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021)


Daftar Acuan
Boskey, E.(2023, January 12). Cybersex: Examples,benefits, and risks. Verywell Health. Diakses melalui https://www.verywellhealth.com/cybersex-pros-cons-4800752

Brody, J. E. (2000, May 16). Cybersex gives birth to a psychological disorder. The New York Times. Diakses melalui https://www.nytimes.com/2000/05/16/health/cybersex-gives-birth-to-a-psychological-disorder.html

Cooper, A., Delmonico, D. L., Shelley, E. G., & Mathy, R. M. (2004). Online sexual activity: An examination of potentially problematic behaviors. Sexual Addiction & Compulsivity: The Journal of Treatment & Prevention, 11(3), 129-143. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/10720160490882642.  

de Alarcón, R., de la Iglesia, J., Casado, N., & Montejo, A. (2019). Online porn addiction: What we know and what we don’t—A systematic review. Journal of Clinical Medicine, 8(1), 91. MDPI AG. DOI: http://dx.doi.org/10.3390/jcm8010091

Döring, N., & Mohseni, M. R. (2019). Are Online Sexual Activities and Sexting Good for Adults’ Sexual Well-Being? Results From a National Online Survey.  International Journal of Sexual Health, DOI: https://doi.org/10.1080/19317611.2018.1491921

Luigjes, J., Lorenzetti, V., de Haan, S., Youssef, G. J., Murawski, C., Sjoerds, Z., van den Brink, W., Denys, D., Fontenelle, L. F., & Yücel, M. (2019). Defining Compulsive Behavior. Neuropsychology review, 29(1), 4–13. https://doi.org/10.1007/s11065-019-09404-9

Rimington, D. D, & Gast, J. (2007). Cybersex use and abuse. American Journal of Health Education, 38(1), 34-40. DOI: https://doi.org/10.1080/19325037.2007.10598940.   

Sumber Gambar
Al-zayat, R. (2016). Silver Android smartphone photo [Stock Image]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/w33-zg-dNL4.