Catcalling: Pujian atau Mimpi Buruk untuk Perempuan
Di masa sekarang, siapa yang tidak tahu tentang catcalling? Catcalling dianggap sebagai suatu hal yang biasa karena banyak dialami oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari, khususnya perempuan. Hal ini dibuktikan dengan laporan catatan tahunan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan tahun 2019, di mana terdapat 794 pengaduan tentang kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Walaupun kasus kekerasan di tahun 2019 sudah mengalami penurunan sebanyak 43 kasus dari tahun 2018, tetapi kasus kekerasan berbasis gender ini masih saja banyak terjadi (LBH APIK Jakarta, 2019).
Menurut Chunn (2011), catcalling diidentifikasikan sebagai penggunaan kata yang tidak pantas dan ekspresi secara verbal maupun non-verbal yang terjadi di tempat publik, contohnya di jalan raya, trotoar, dan halte bus. Catcalling adalah satu dari sekian banyak jenis pelecehan seksual yang terjadi di jalan, sehingga sering disebut sebagai street harassment. Street harassment diartikan sebagai suatu interaksi di ruang publik yang tidak diinginkan terjadi dan biasanya terjalin diantara orang asing yang dimotivasi oleh persepsi seseorang mengenai gender, orientasi seksual, atau ekspresi dari gender dan mengakibatkan penyintas merasa kesal, marah, malu, dan takut (Kearl H., 2014).
Perilaku catcalling yang dilakukan dapat berwujud verbal maupun non-verbal. Secara verbal, catcalling biasanya dilakukan dengan melontarkan siulan yang ditujukan untuk menggoda atau memberikan komentar mengenai penampilan pada perempuan. Seperti, “Halo manis, mau kemana? Sini abang temenin.” atau “Eh, ada cewe cantik. Seksi banget, neng!” yang sering disampaikan oleh pelaku. Ekspresi non-verbal, seperti lirikan atau gestur tubuh tertentu juga seringkali dialami oleh penyintas. Pelaku pun melihat penyintas dengan tatapan mata mengintimidasi yang terus menerus membuat penyintas merasa tidak nyaman hingga merasa jijik.
Bagi para pelaku, catcalling ditujukan untuk menimbulkan rasa takut pada perempuan. Sebagian besar perempuan kemudian menganggap bahwa tempat yang berada di ruang publik, seperti taman atau angkutan umum menjadi kurang aman untuk didatangi. Muncul rasa ragu untuk datang ke tempat-tempat tertentu seorang diri, terutama ketika mereka mungkin akan menjadi sasaran empuk pelaku catcalling. Mereka pun memilih untuk menjaga jarak aman dengan orang asing demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun begitu, para perempuan tetap mungkin mengalami catcalling dan berakhir pada victim blaming yang menyalahkan bagaimana penampilan mereka. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Susetyo (2010) bahwa perempuan yang menjadi objek kekerasan dan pelecehan seksual tersebut seringkali menjadi pihak yang justru disalahkan. Oleh karena itu, catcalling disebut sebagai mimpi buruk bagi setiap perempuan karena mereka tetap saja disalahkan, terlepas dari fakta bahwa merekalah yang dilecehkan.
Perempuan yang menjadi penyintas catcalling dapat terkena dampak psikologis, baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek hanya dialami sesaat atau beberapa hari setelah kejadian, seperti timbulnya rasa malu, terhina, ataupun marah yang biasanya berdampak pada siklus tidur (mengalami insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost of appetite). Di lain sisi, dampak panjangnya adalah trauma yang ditunjukkan dengan pandangan negatif mengenai laki-laki. Contohnya, ketika perempuan melihat laki-laki yang berkumpul di jalan, maka perempuan tersebut akan terus menganggap bahwa laki-laki tersebut mungkin melakukan catcalling kepada kepadanya. Apabila trauma terjadi lebih dari 30 hari, maka penyintas bisa saja mengalami post-traumatic stress disorder. Menurut Hayati (2000), ada tiga kategori post-traumatic stress disorder yang biasanya dialami oleh penyintas, antara lain:
- Hyper Arousal: Pertama, gejala ini dipengaruhi oleh kerja hormon yang ikut berubah seiring berubahnya kondisi psikis. Gejala umumnya adalah agresi, insomnia, dan reaksi emosional yang intens seperti depresi. Dalam kategori ini, penyintas akan merasakan seakan-akan peristiwa buruk terus-menerus terjadi.
- Intrution: Penyintas mengalami constant revealing of the traumatic event. Penyintas tidak mampu mengendalikan munculnya ingatan yang terus berulang, seperti kilas balik dan pada tingkat yang parah berupa kekacauan ingatan.
- Numbing: Mati rasa. Gejala ini wajar jika berlangsung dalam waktu yang pendek. Tentunya tidak wajar jika berlangsung secara terus-menerus karena bisa menyebabkan penyintas menjadi detached (terpencil dari interaksi sosial) dan indifferent (dingin dan acuh tak acuh). Dampak ini bisa membuat penyintas menjadi rendah diri, tidak percaya diri, menyalahkan diri sendiri, dan mengalami gangguan reproduksi (seperti gangguan siklus haid) karena penyintas merasa tertekan.
Bagi perempuan-perempuan yang mengalami catcalling ataupun bentuk pelecehan seksual lainnya, kita tidak perlu merasa takut untuk bertindak dan melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib. Kita juga bisa memanfaatkan sosial media untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa tindakan catcalling yang dianggap biasa ternyata dapat berdampak negatif pada kondisi psikologis seseorang. Ingatkan pada diri sendiri bahwa setiap perempuan berharga tanpa terkecuali, termasuk dirimu.
Daftar Pustaka:
Chunn, B. (2011). Catcalls: Protected Speech or Fighting Words. Thomas Jefferson Law Review.
Hayati, N. E. (2000). Panduan untuk Pendamping Korban Kekerasan: Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 46-47.
Kearl, H. (2010). Stop Street Harassment: Making Public Places Safe and Welcoming for Women, ABC-CLIO, p.3.
Kearl, H. (2014). Unsafe and Harassed in Public Spaces: A National Street Harassment Report. Stop Street Harassment
LBH APIK Jakarta. (2019). Laporan Catatan Akhir Tahun 2019 : Negara Harus Serius Melaksanakan Komitmen Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender.
Susetyo, Budi DP. (2010). Sterotip dan Relasi Antar Kelompok. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumber gambar : https://pixabay.com/id/photos/air-mata-menangis-sakit-4551435/
Penulis : Aurelia Michelle Ivana
Penyunting : Klara Ardisa Prittadewi