Berkenalan dengan Down Syndrome
Istilah down syndrome cukup sering kita dengar dari orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Mungkin beberapa orang berpikir ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, hal ini merupakan salah satu sumber stres dan beban bagi orang tua baik secara fisik maupun mental. Reaksi emosional pun muncul dalam diri orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus karena merasa terbebani. Rachmawati & Masykur (2016) mengemukakan sebagian dari orang tua masih mengalami kendala dalam mengakses informasi yang tepat, sehingga tidak mengetahui secara pasti mengenai penanganan yang tepat pada anak berkebutuhan khusus terutama yang mengidap down syndrome. Tulisan berikut berusaha menyajikan pengetahuan tentang down syndrome agar kita bisa mengerti, mengenali, dan menangani penyandang down syndrome.
Dalam KKBI, sindrom dijelaskan sebagai himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak dan menandai ketidaknormalan tertentu –emosi atau tindakan– yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi. Sedangkan istilah down diambil dari nama orang pertama yang menjelaskan mengenai down syndrome, yaitu Dr. J.L. Down (Selikowitz, 2008). Down syndrome itu sendiri merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik, mental, dan inteligensi anak yang diakibatkan karena adanya kelainan perkembangan kromosom, yaitu susunan kromosom ke 21 yang berjumlah tiga (normalnya hanya berjumlah dua) atau sering disebut dengan istilah trisomi (Rohmadheny, 2016).
Dalam buku “Down Syndrome” karya Mark Selikowitz dijelaskan bahwa kondisi down syndrome pada anak sebagian besar dapat teridentifikasi pada saat atau sesaat setelah anak tersebut dilahirkan. Pada beberapa kasus, para dokter hanya dapat menduga dan tidak dapat langsung mengidentifikasi, tetapi harus menunggu hasil tes kromosom bayi tersebut. Selikowitz (2008) juga menjelaskan terkait karakteristik yang dimiliki oleh anak down syndrome, yaitu sebagai berikut:
- Anak down syndrome memiliki wajah yang cenderung bulat. Jika dilihat dari samping, bentuk wajah cenderung ceper.
- Terjadi brachycephaly, yaitu kepala bagian belakang cenderung agak rata.
- Hampir sebagian besar anak down syndrome memiliki mata yang agak miring ke atas. Terdapat pula lipatan epicanthic, yaitu lipatan kulit yang membentang secara vertikal antara sudut dalam mata dan pangkal hidung. Lipatan ini dapat memberikan kesan mata juling yang palsu. Selain itu, terdapat bintik putih atau kuning muda di tepi bagian mata yang berwarna, yang disebut dengan bintik Brushfield.
- Anak down syndrome memiliki rambut yang cenderung lurus serta memiliki leher yang cenderung pendek dan lebar.
- Rongga mulut anak down syndrome sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar yang menyebabkan anak memiliki kebiasaan menjulurkan lidah pada saat tertentu.
- Tangan cenderung lebar dan jari-jari yang Anak down syndrome juga memiliki kaki yang cenderung gemuk dan jarak yang lebar di antara keduanya.
- Memiliki kelemahan otot yang disebut dengan hipotonia dan ditunjukkan dengan tungkai serta leher yang sering terkulai.
- Memiliki berat badan yang kurang dari rata-rata saat lahir. Tinggi badan mereka umumnya lebih pendek.
Anak dengan down syndrome dapat dikatakan sebagai anak yang istimewa dengan keunikan yang mereka miliki. Dengan keunikan-keunikan tersebut, tentunya terdapat penanganan khusus bagi anak dengan down syndrome. Salah satu bentuk penanganannya ialah dengan terapi okupasi. Terapi okupasi merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemandirian kognitif, kemampuan sensorik, dan kemampuan motorik anak down syndrome (Raffi, Indriati, & Utami, 2018). Hasil penelitian Raffi, Indriati, & Utami (2008) menunjukkan bahwa terapi okupasi dapat meningkatkan kemandirian makan secara efektif pada anak down syndrome karena terapi okupasi dapat mengembalikan fungsi utama fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan yang dapat meningkatkan kemandirian anak. Di samping itu, teknik finger painting juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak down syndrome. Hasil penelitian Taiyeb (2016) menemukan bahwa anak down syndrome yang diberikan eksperimen teknik finger painting cenderung menunjukkan peningkatan pada tiga aspek kemampuan motorik halus yang dinilai, yaitu melukis menggunakan semua jari, melukis menggunakan jari secara bergantian, serta koordinasi tangan dan mata.
Orang tua tentunya juga memegang peranan penting dalam upaya pembentukan kemandirian anak dengan down syndrome. Hasil penelitian Wiryadi (2014) menemukan bahwa kemandirian anak dengan down syndrome dapat terbentuk ketika orang tua menerapkan pola asuh demokratis. Hal ini berarti, orang tua memahami betul kebutuhan anak dan dapat dengan sabar membimbing serta melatih kemandirian anak. Orang tua juga diharapkan untuk ikut aktif dalam pendidikan anak di sekolah. Di samping itu, orang tua dapat membuat catatan kemajuan anak, sehingga dapat mengevaluasi efektivitas kegiatan yang telah dilakukan untuk meningkatkan kemandirian.
Sumber Pustaka:
Rachmawati, S.N., Masykur, A.M. (2016). Pengalaman Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome. Jurnal Empati, 5(4), 822-830.
Raffi, I., Indriati, G., Utami, S. (2018). Efektivitas Pemberian Terapi Okupasi dalam Meningkatkan Kemandirian Makan pada Anak Usia Sekolah dengan Down Syndrome. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 5(1), 1-11.
Rohmadheny, P.S. (2016). Studi Kasus Anak Down Syndrome. Jurnal CARE Edisii Khusus Temu Ilmiah, 3(3), 67-76.
Selikowitz, M. (2008). Down syndrome. The Facts.
Taiyeb, H. (2016). Kemampuan Motorik Halus Melalui Teknik Finger Painting Anak Down Syndrome. Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling. 2(2), 93-107.
Wiryadi, S.S. (2014). Pola Asuh Orangtua dalam Upaya Meningkatkan Pembentukan Kemandirian Anak Down Syndrome X Kelas D1/C1 di SLB Negeri 2 Padang: Studi Kasus di SLB Negeri 2 Padang. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 3(3), 737-746.
Sumber Gambar : https://pixabay.com/id/photos/gadis-menembak-cacat-tuli-6041833/
Penulis : Anak Agung Ayu Metta Nanda Kusuma
Penyunting : Klara Ardisa Prittadewi