Belajar dari Kamp Kematian untuk Menghadapi Jurusan Kuliah yang bukan Pilihan Kita
Apakah Anda merasa tidak semangat dengan jurusan kuliah Anda? Apakah Anda ingin keluar atau pindah jurusan tetapi situasi tidak memperbolehkan? Anda tidak sendirian. Di Indonesia, 87% mahasiswa Indonesia mengaku salah jurusan (Republika, 2017). Di Amerika Serikat, suatu penelitian menemukan 17% alasan mahasiswa masuk suatu jurusan karena keinginan atau desakan orang tua, sedangkan 7,3% karena jurusan itu pilihan terakhir mereka. Hal ini dapat membuat kita merasa kurang puas dan kurang diterima di dalam jurusan kita (Soria & Stebleton, 2013). Dengan kata lain, sebagian dari kita memasuki jurusan yang bukan karena keinginan dan di luar kendali kita. Oleh karena itu, sangat wajar apabila berdampak pada kurangnya minat dan semangat kita.
Walau dihempas ke dalam situasi yang di luar kendali kita, dorongan untuk memperjuangkan kehidupan—termasuk dalam dunia perkuliahan—masih dapat diraih, mau itu di situasi yang terlihat putus asa sekali pun. Salah satu pengalaman dalam proses menemukan tujuan hidup yang positif dapat kita lihat dari kisah Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas dari genosida terhadap etnis Yahudi oleh pemerintahan Nazi.
Dalam bukunya yang berjudul “Man’s Search for Meaning”, Frankl ditangkap pada tahun 1942 dan dikirim ke kamp kematian. Pada saat itulah dia terakhir kali melihat istri dan keluarganya. Sesampainya di kamp, semua harta benda yang dibawa dan terlekat di badannya dirampas hingga ditelanjangi oleh penjaga kamp. Bahkan, nama dia sendiri pun dihilangkan. Dia dikenal hanya melalui nomor yang ditatokan ke badannya dan di pakaian compang-camping yang disediakan oleh pihak kamp. Dia diperbudak di suhu mengigil sambil menahan sakit karena kulitnya melepuh akibat bekerja di kondisi yang biadab. Dia dicambuk dan dipukul untuk setiap kesalahan sekecil apapun itu. Binatang diperlakukan lebih manusiawi daripada yang dialami oleh Frankl. Tidak hanya itu, setiap harinya Frankl dengan penuh kengerian menyaksikan orang-orang yang dia kenal satu per satu menjadi asap yang keluar dari cerobong ruangan gas. Penderitaan Frankl sungguh mengerikan dan tentunya dia tidak memilih untuk mengalami itu. Dia menderita hanya karena terlahir sebagai seorang Yahudi. Walaupun demikian, dia berhasil menghindari keputusasaan yang dialami oleh teman-teman satu kampnya dan mampu bertahan hingga pembebasan dia saat 1945.
Di dalam kamp, makanan sangat langka. Apa yang dijatahkan ke tahanan hanya berupa secuil roti dan sup kentang yang karena saking encernya, kaldu supnya hanya terasa seperti air panas saja. Frankl sehari-hari makan ini, tetapi terkadang pihak dapur—yang mungkin merasa kasihan terhadap para tahanan—mengambilkan sup dari dasar panci sehingga Frankl kebagian sup yang ada potongan kentangnya. Di situ, Frankl merasa sangat bersyukur dan sebaik mungkin menikmatinya. Dia benar-benar merasakan tekstur kentang yang lembut pada tiap gigitan, mengunyahnya hingga ledakan rasa kentang yang hambar tetapi sedikit gurih membaluti mulutnya.
Pekerjaan Frankl di kamp yang secara keseluruhan menggunakan fisik, membuat pikirannya mudah teralihkan ke banyak hal. Sering kali Frankl terpikir akan istrinya dan membayangkan berdialog dengan sang istri mengenai keadaannya di kamp. Dia membayangkan istrinya memeluk, menenangkan, dan mendengarkan Frankl. Walaupun dia hanya membayangkannya, rasa hangat dan kasih yang dia rasakan terasa nyata. Dengan Frankl memaknai pengalamannya pada saat itu, serta bersyukur ke tiap hal yang membahagiakannya sekecil apapun, Frankl akhirnya dapat mengatasi (coping) situasi yang di luar kendalinya itu menjadi lebih penuh harapan.
Pengalaman yang pernah kita alami mungkin tidak seterpuruk Frankl. Namun, kita masih dapat menggunakan caranya untuk merasa lebih baik dengan situasi kita, termasuk dalam perkuliahan kita. Kita bisa fokus untuk merasakan hal yang positif dan berdamai dengan hal negatif yang terjadi ke kita. Selanjutnya, penting bagi kita untuk mensyukurinya, baik hal itu besar atau kecil. Idealnya kita dapat menuliskan hal yang kita syukuri itu di buku dan menyebutnya sebagai gratitude journal. Kita bisa bersyukur saat menjalin relasi dan teman yang tidak bisa kita temui tanpa memasuki jurusan yang salah itu. Kita bisa bersyukur saat sudah berusaha memahami materi kuliah. Bahkan kita bisa bersyukur ketika kelas yang membosankan sudah selesai. Dari situ, kita akan terbiasa memiliki sikap dan pola pikir yang lebih menghargai sehingga menjadi energi untuk tetap bertahan dalam situasi apapun. Frankl menyimpulkannya dengan sempurna:
“Segala sesuatu dapat diambil dari seseorang kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia – untuk memilih sikap kita sendiri dalam keadaan apapun itu, untuk memilih jalan kita sendiri.”
Daftar Pustaka
Davis, T. (2018). How Positive Reappraisal Can Boost Happiness. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/click-here-happiness/201807/how-positive-reappraisal-can-boost-happiness
Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning [E-book]. https://www.amazon.com/dp/B004OZDV7G?tag=scrib`br00-20&linkCode=osi&th=1&psc=1
Psychology Today. (n.d.-a). Gratitude. Diambil 16 Mei 2021, dari https://www.psychologytoday.com/us/basics/gratitude
Psychology Today. (n.d.-b). Mindfulness. Diambil 16 Mei 2021, dari https://www.psychologytoday.com/us/basics/mindfulness
Soria, K. M., & Stebleton, M. (2013). Major Decisions: Motivations for Selecting a Major, Satisfaction, and Belonging. NACADA Journal, 33(2), 29–43. https://doi.org/10.12930/nacada-13-018
Gambar: [Tahanan kamp kematian Auschwitz]. (n.d.). Hackeandoexistencia. https://hackeandoexistencia.com/wp-content/uploads/2020/11/Resumen-del-libro-El-hombre-en-busca-de-sentido-Viktor-Frankl.jpg
Penulis : Sakuro Argo Puntodewo
Penyunting : Putri Andina Barsellina