Bagaikan Belati Bermata Dua
“Kalau (mentalnya) belum pulih dari masa lalu,
mending jangan jalin relasi dulu sama orang lain
(atau biasanya ‘pacaran’).”
Apakah kamu pernah mendengar pendapat semacam itu? Well, beberapa kali saya jumpai cuitan serupa di media sosial. Biasanya, komentar sejenis muncul ketika ada warganet yang bercerita bahwa dirinya kesulitan untuk menjalin relasi dengan seseorang akibat luka masa lalu. Misalnya, seseorang yang sulit memercayai pasangannya karena pernah dikhianati. Saya-versi-SMA mungkin akan satu pandang dengan ucapan tersebut. Kira-kira, ia akan berkata, Ah, iya. Apa gunanya pacaran kalau belum sembuh dari masa lalu? Meskipun demikian, pandangan saya telah berevolusi seiring berjalannya waktu. Saya tidak lagi melihat bahwa seseorang harus betul-betul pulih batin sebelum menjalin hubungan dengan sesama manusia. Mengapa begitu?
Sebelum berbicara lebih jauh, saya hendak membahas sedikit tentang luka masa lalu yang dimaksud—yang lebih berkaitan dengan relasi antar-pribadi dalam tulisan ini. Apakah kamu pernah mengalami penolakan dari orang terkasih? Atau mungkin mengalami perpisahan dengannya? (Eits! “Orang terkasih” tidak terbatas pada pasangan romantis, lho, ya). Kalau bukan orang terkasih, bisa juga berkaitan dengan rekan-rekan sebaya seperti putus kontak sebelah pihak atau perundungan. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa saja menimbulkan rasa sakit nirwujud alias luka tak kasat mata.
Luka tak kasat mata akibat peristiwa di atas bisa kita sebut dengan istilah social pain. Social pain merupakan perasaan berjarak dari orang lain atau komunitas sosial secara psikologis dan dialami akibat interaksi antar-pribadi yang menimbulkan perasaan negatif pada seseorang (Zhang et al., 2019). MacDonald dan Leary (2005) memaparkan secara lebih spesifik bahwa social pain adalah reaksi emosional seseorang terhadap persepsi bahwa dirinya mengalami eksklusi atau dianggap kurang bermakna dalam relasi sosialnya, baik antar-pribadi atau kelompok. Eksklusi tersebut dapat terjadi akibat beberapa peristiwa yang meliputi penolakan, kematian sosok terkasih, dan perpisahan yang tak diinginkan.
Meskipun social pain membuka mata kita pada rasa sakit yang dapat ditimbulkan oleh hubungan antar-manusia, kita tidak bisa memungkiri manfaat positifnya begitu saja. Pernahkah kamu menyadari bahwa kehadiran seseorang dapat membuat kita merasa lebih baik? Misalnya, kita sedang terbebani oleh isi hati dan pikiran—katakanlah sedang stres. Kita tampak berbeda dari biasanya sehingga seorang kawan bertanya, “Kamu kenapa?” Pertanyaan sederhana itu pun meruntuhkan bendungan perasaan dalam diri dan gerimis jatuh dari mata kita. Lalu, Si Kawan menyambutnya dengan menepuk lembut pada pundak dan tangis kita mereda setelah beberapa saat.
Mungkin saja, kisah Si Kawan Yang Menepuk Lembut Pundak Kita tidak sepenuhnya terjadi persis dalam kehidupan kita semua. Namun, poin penting pada kisah tersebut adalah sisi bermanfaat dari relasi interpersonal, yakni membantu kita dalam melalui kesulitan seperti stres. Lazarus dan Folkman (1984) serta Taylor (2002) menjelaskan bahwa stres merupakan respons kita saat dihadapkan pada peristiwa yang telah atau berpotensi mengganggu fungsi diri, baik fisik maupun psikis (dalam Baron dan Branscombe, 2022). Respons stres terjadi secara alami (World Health Organization, 2023) dan salah satu hal yang diperlukan untuk mengatasinya adalah dukungan sosial, yakni pemerolehan sumber daya emosional dari orang-orang di sekitar kita, seperti teman, keluarga, dan rekan-rekan kerja (Baron & Branscombe, 2022).
Sekarang, mari kita kembali pada ungkapan yang mendorong saya untuk merangkai tulisan ini.
“Kalau (mentalnya) belum pulih dari masa lalu,
mending jangan jalin relasi dulu sama orang lain
(atau biasanya ‘pacaran’).”
Sudah saya singgung di awal bahwa saya tidak lagi satu pandang dengan ungkapan tersebut. Setelah merenungkan kembali pentingnya kehadiran orang lain melalui pengalaman, saya melihat hubungan antar-manusia sebagai Belati Bermata Dua. Ya, salah satu matanya bisa menyesakkan dada. Meskipun demikian, mata belati lainnya dapat melegakan sesak. Demi pengembangan diri, tidak ada salahnya untuk mencoba berdiri di atas kaki sendiri. Namun, keberadaan luka masa lalu yang masih membiru tidak bisa dijadikan sebagai penghalang kita untuk menjalin relasi yang bermakna dengan orang lain. Kita tidak harus memulihkan luka kita seorang diri. Ada kalanya, kita memerlukan uluran tangan orang lain dalam menjalani proses pemulihan.
Nyaris mustahil bila kita hendak melarang Manusia Si Makhluk Sosial untuk membangun hubungan dengan sesamanya. Luka yang tertinggal dalam dirinya mungkin bisa menimbulkan tantangan selama prosesnya. Akan tetapi, tampak tidak realistis pula apabila kita menuntut seseorang untuk pulih secara bulat dahulu sebagai syarat agar dirinya dapat berelasi. Kita tidak akan pernah tahu kapan luka itu akan sembuh sepenuhnya ataupun menjamin bahwa kita tidak akan terluka lagi. Lagipula, mengasihi orang lain dalam hubungan antar-pribadi pun tidak selalu berarti mengabaikan diri sendiri. Selama masih ada tanda potensi manfaat, jembatan relasi kita dapat berguna sebagai sarana untuk saling bantu memulihkan luka—saling menyeimbangkan.
Love is not primarily a relationship to a specific person;
it is an attitude, an orientation of character which determines
the relatedness of a person to the world as a whole,
not toward one “object” of love.
Erich Fromm (dalam buku The Art of Loving)
Penulis
Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021)
Penyunting
Verena Diandra Hermawan (Asisten P2TKP Angkatan 2022)
Daftar Acuan
Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2022). Social Psychology (15th Global Ed.). Pearson Education Limited.
Fromm, E. (n.d.). The Art of Loving. Open Road Media.
MacDonald, G., & Leary, M. R. (2005). Why Does Social Exclusion Hurt? The Relationship Between Social and Physical Pain. Psychological Bulletin, 131(2), 202-223. https://doi.org/10.1037/0033-2909.131.2.202
World Health Organization (WHO). (2023, Februari 21). Stress. https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/stress#:~:text=What%20is%20stress%3F,experiences%20stress%20to%20some%20degree.
Zhang, M., Zhang, Y., & Kong, Y. (2019). Interaction between social pain and physical pain. Brain Science Advances, 5(4), 265-273. https://doi.org/10.26599/BSA.2019.9050023
Sumber Gambar
Preez, P. D. (2019). View photography of person hands while holding photo [Stock Image]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/vDzeKnPBPLM.