Lho kok sama?
08/10/2018
Sewaktu di kelas, seorang dosen bertanya, “Apa arti dari kata “Afeksi”? Ada yang bisa jawab?”. Kelas menjadi hening, agar tidak mengulur waktu terlalu lama dosen ini pun menunjuk salah seorang mahasiswanya. Mahasiswa yang ditunjuk itu pun menjawab, “Menurut saya, afeksi itu perasaan, Pak” “Baik, kalau menurutmu, apa itu afeksi?” tanya dosen itu sambil menunjuk mahasiswanya yang lain “Saya rasa afeksi itu memang benar perasaan, Pak” “Oke, yang lain?” “Iya, Pak, Afeksi itu perasaan”, begitu selanjutnya hingga sekelas serentak menjawab afeksi adalah perasaan.
Halo sobat sekalian! tentunya cerita singkat di atas bukanlah hal yang asing ditemui di kehidupan perkuliahan ya. Kadang satu dua orang yang biasa menjawab, tiba-tiba satu kelas bisa ikutan menjawab hal serupa. Sobat pembaca tentunya pernah mengalami hal serupa, kan? Nah, ketika sobat pembaca mengalami hal tersebut, pernahkah Sobat bertanya kenapa ya kok bisa begitu? Kenapa ya kok rasanya begitu ganjil ketika tidak menjawab atau melakukan hal yang sama dengan kebanyakan orang?
Ternyata, ini adalah fenomena yang lumrah, Sobat. Dalam psikologi sosial, fenomena seperti ini sering disebut dengan istilah konformitas. Apa sih itu konformitas? Nah, Menurut Cialdini & Goldstein (Taylor, dkk, 2009), konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain. Kalau menurut ahli lain bernama Wiggins (1994), konformitas adalah kecenderungan untuk mengikuti keinginan dan norma kelompok. Artinya kadang kita berperilaku sama dengan perilaku orang lain agar terlihat sesuai dengan norma yang ada. Menurut Baron dan Byrne (2005), norma yang biasa kita ikuti ketika melakukan konformitas adalah norma sosial yang bersifat injungtif. Norma injungtif ini adalah norma sosial yang sifatnya tidak tertulis dan dilakukan kebanyakan orang. Contoh simpel dari norma injungtif misalnya, menjadi hal yang lumrah ketika kita tertawa pada hal yang lucu. Kadang kita ikut-ikutan tertawa dengan banyak penonton di bioskop padahal kita nggak paham lucunya apa. Pernah mengalami hal itu? Artinya Sobat melakukan sesuatu atas dasar konformitas hehehe.
Sobat tahu tidak? Ternyata, fenomena konformitas ini pernah ada penelitian terkenalnya, lho.
Penelitinya bernama Solomon Asch. Beliau melakukan penelitian ini di tahun 1951 dan 1955. Solomon Asch membuat sebuah eksperimen sosial sederhana dengan menguji beberapa partisipannya, yaitu apakah nantinya mereka akan mengikuti jawaban sebagian asisten pilihannya. Jadi begini nih, Solomon Asch menampilkan sebuah gambar garis. Nah, di sebelah gambar sebuah garis ini, tersedia beberapa pilihan garis yang memiliki panjang yang berbeda satu sama lain akan tetapi nggak jauh beda panjangnya. Nah, partisipannya, diminta untuk memilih mana garis yang sama dengan garis yang diberikan sebagai soal. Barulah eksperimen ini dimulai. Solomon sengaja merancang agar asistennya maju duluan menjawab soal tersebut. Solomon memastikan bahwa semua asistennya harus menjawab garis yang salah. Hal ini dilakukan untuk melihat, apakah nanti partisipan akan menjawab garis yang jelas-jelas panjangnnya berbeda. Ternyata, partisipan lebih banyak menjawab yang salah sesuai dengan jawaban para asisten Solomon. Menarik ya Sobat, ternyata fenomena konformitas terbukti dalam eksperimen sederhana Solomon ini.
Sobat, pasti semakin heran dan bertanya-tanya, kenapa ya kadang kita melakukan konformitas? Konformitas dilakukan karena sebenarnya terkadang kita berada di situasi di mana kita nggak ingin ditolak, ingin disukai, dan ingin merasa benar. Nah, Baron dan Byrne (2005) dalam bukunya menjelaskan bahwa konformitas dilakukan karena adanya beberapa faktor. Pertama, karena hadirnya orang yang memiliki keahlian tertentu atau karena disukai, kehadiran orang seperti ini kadang membuat kita menjadikan mereka sebagai norma injungtif lho Sobat makanya nggak heran kan kalau kadang kita di kelas ditanya dosen terus ikut-ikutan menjawab hal yang sama kayak teman kita yang biasa kita anggap pintar karena ingin dianggap benar juga hihihi. Kedua, kekompakan kelompok, kebayang kan Sobat kalau kadang berperilaku nggak kompak sama kelompok main atau belajar, rasanya seakan-akan bisa saja nanti tidak disukai sama teman sendiri. Namun, di sisi lain kalau kita ikutan kompak kadang kita berpikir bisa saja nanti semakin disukai oleh teman kita.
Nah, setelah membaca tulisan ini Sobat tentunya menjadi lebih tahu mengenai apa itu konformitas, terus gimana perasaanya? Jadi teringat pengalaman-pengalaman konformitas zaman dahulu ya? Hehehe. Perlu diinggat nih Sobat, walaupun konformitas tampaknya lumrah, jangan sampai kita menjadi tersesatkan oleh pandangan kebanyakan orang, karena pandangan kebanyakan orang bisa saja belum tentu benar. Jadi, hati-hati ya Sobat kalau melakukan tindakan konformitas, jangan lupa untuk tetap memilah mana yang betul-betul benar dan mana yang hanya dianggap benar karena sebagian orang menganggap benar.
Sumber:
Baron, R.A., & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jilid II Edisi Kesepuluh (terjemahan Djuwita, R). Jakarta: Erlangga
Taylor, S.E., Peplau, L.A & Sears, D.O. 2009. Psikologi Sosial Edisi XII. Jakarta: Kencana
Penulis : Hieronimus Lianggi Lukito, Lucy, Virenda Rut T. P, Loemongga Mahardika Arga
Editor : S.Margareth
Previous