Artikel,  Karya Tulis

Apa Itu Cinta?

Cinta.

Apa yang pertama kali muncul dalam benak Anda ketika mendengar atau membaca sebuah kata tersebut? Kata ini tidak jarang menjadi topik perbincangan yang akrab di telinga kita. Mungkin beberapa berpikir cinta identik dengan pengalaman berbagi kebahagiaan bersama orang lain. Tak jarang juga yang mengidentikkan cinta sebagai pengalaman patah hati yang menyesakkan.  Atau, cinta dipandang sebagai rasa kepemilikan pada seseorang yang membuat individu tersebut merasa bahagia dan patah hati di waktu yang sama. Terkait dengan pemaknaan tersebut, satu individu dengan yang lain mungkin akan memiliki pemaknaan yang beragam. Namun, apakah sebenarnya esensi cinta itu sendiri? Apakah pandangan-pandangan tersebut sejalan dengan esensinya? Bagaimana jika manusia hidup tanpa cinta? Tulisan berikut berusaha menyajikan pandangan tentang cinta dari sifat dasar manusia.

Erich Fromm, seorang psikoanalis asal Jerman, memiliki tema dasar dari semua karya tulisnya, yaitu bahwa situasi khas manusia adalah merasa kesepian dan terisolasi karena terpisahkan dari alam dan orang-orang lain (Supratiknya, 1993). Salah satu contoh yang diangkat Fromm, yaitu pada perkembangan manusia, ia mulai bebas dari ikatan-ikatan primer dengan orang tuanya dari waktu ke waktu. Pada awal kelahiran, manusia merasa menyatu dengan alam karena ia mengidentikkan diri seperti binatang, yaitu makhluk yang memiliki berbagai kebutuhan fisiologis yang harus dipuaskan dan belum memiliki kesadaran akan dirinya. Ia akan terus merasa bersatu dan tidak terpisah dengan alam, selama kebutuhannya terpenuhi dengan kehadiran fisik ibu.

Seiring perkembangannya, manusia mengembangkan tingkat egosentrisme dan individualitas dirinya. Pemenuhan kebutuhan dengan menghadirkan fisik ibu tidak lagi cukup, maka ia menjadi semakin merasa terpisah. Pada dasarnya, manusia lahir sebagai seseorang yang masuk ke dalam situasi tidak terbatas, tidak pasti, dan terbuka (Fromm, 2014). Dalam situasi ketidakpastian ini, manusia dibekali dengan akal budi dan turut mengembangkan kesadaran akan dirinya. Ia semakin menyadari bahwa dirinya mengalami keterpisahan dan kesendirian.

Oleh karena itu, manusia memiliki kebutuhan untuk mengatasi rasa keterpisahan tersebut dan senantiasa mencari cara untuk dapat mencapai penyatuan. Berbagai usaha penyatuan dilakukan manusia dengan beragam cara, baik itu positif maupun negatif. Menurut pandangan Fromm (2014), cinta adalah satu-satunya jawaban yang waras dan memuaskan untuk masalah eksistensi manusia. Satu dari lima kebutuhan dasar manusia menurut Erich Fromm yang terkait dengan hal ini adalah kebutuhan akan keterhubungan. Hal ini selaras dengan persoalan eksistensinya sebagai manusia yang hidup di situasi tidak terbatas.

Cinta seperti apa yang dimaksudkan tersebut? Bagi Fromm (1965), cinta merupakan suatu kegiatan aktif untuk memberi dan bukan menerima. Dengan orientasi produktif, seseorang yang memberi bukan kehilangan sesuatu atau melakukan suatu pengorbanan tertentu. Namun dengan memberi justru ia merasakan dirinya berlimpah, berguna, dan hidup. Pemahaman ini didasarkan juga pada pandangan yang menyebut cinta sebagai sebuah aktivitas. Spinoza (dalam Fromm, 2014) menjelaskan konsep aktivitas sebagai kekuatan dalam diri manusia yang tidak mempedulikan apakah membawa perubahan eksternal atau tidak – digambarkan dengan ungkapan “memberi tak harap kembali”. Dalam kegiatan memberi secara tulus tanpa mengharapkan kembali, seseorang justru akan menerima kembali apa yang telah diberikannya tersebut.

Cinta yang dewasa adalah penyatuan dalam kondisi tetap memelihara integritas dan individualitas seseorang (Fromm, 2014). Seseorang yang mampu mencintai secara produktif berarti ia mencintai dirinya juga. Artinya, cinta itu pertama-tama dilakukan dalam diri sendiri dan sesama, bukan hanya pada satu pihak atau pihak-pihak tertentu saja.

Selanjutnya, apa saja unsur-unsur di dalam cinta itu sendiri? Menurut Fromm (2014) dalam bukunya yang berjudul The Art of Loving, terdapat empat unsur yang penting untuk diperhatikan dalam mengimani cinta itu sendiri, yaitu kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan.

  1. Kepedulian, Fromm menuliskan bahwa cinta mengandung perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari apa yang kita cintai. Misalnya, seorang ibu yang mengaku mencintai kebun sayurnya tentu akan memperhatikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap sayuran yang ada di kebunnya. Ia dengan sukacita menyisihkan waktu dalam aktivitasnya untuk memberikan perhatian secara aktif dan hal-hal yang berguna bagi sayuran tersebut.
  2. Tanggung jawab, hal ini merupakan suatu tindakan yang sukarela. Rasa tanggung jawab muncul oleh karena adanya kepedulian akan hal yang dia cintai. Keberanian untuk bertanggung jawab berarti juga mampu dan siap untuk menanggapi.
  3. Rasa hormat, merupakan kemampuan untuk melihat seseorang sebagaimana adanya serta menyadari bahwa setiap orang merupakan individu yang unik. Unsur ini berarti juga memiliki kepedulian bahwa orang lain perlu tumbuh dan berkembang sebagai pribadi, demi dirinya dan caranya sendiri, bukan demi saya sebagai orang yang mencintai dia.
  4. Pengetahuan, pengetahuan akan manusia merupakan suatu misteri. Sebagaimanapun caranya kita mencari tahu tentang manusia, kita tidak akan pernah mengetahui secara pasti. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan tindakan mencintai. Seseorang hanya akan memiliki pengetahuan berdasarkan apa yang hidup, bukan dari pengetahuan yang diberikan pikiran kita sendiri.

Keempat unsur tersebut sangat berkaitan satu dengan yang lain dan sesungguhnya penerapannya yang menjadi dasar perwujudan cinta sesungguhnya. Hal yang mendasar dan perlu menjadi catatan adalah dengan mencintai berarti kita tetap dapat memberi tanpa kehilangan diri kita sendiri serta mampu mengatasi rasa keterpisahan dari dunia dan mencapai penyatuan. Beberapa unsur tersebut mungkin bisa menjadi bahan refleksi kita bersama dalam kehidupan yang telah kita jalani. Sudahkah kita memahami dan memberi cinta dengan mengandung unsur tersebut?

 

Daftar Pustaka

Fromm, E. (2014). The art of loving (memaknai hakikat cinta). Jakarta: Gramedia Pustaka.

Supratiknya, A. (1993). Psikologi kepribadian 1: Teori-teori psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius

O’Dwyer, K. (2011). Can we learn how to love? An Exploration of Erich Fromm’s The Art of Loving’. Self & Society39(2), 36-48. doi: 10.1080/03060497.2011.11084197

Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan: Model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius

Santrock, J. W. (2012). Life span development 13th ed. (perkembangan masa-hidup edisi 13). Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Sumber Gambar : https://pixabay.com/id/photos/balon-langit-cinta-biru-roman-892806/

 

Penulis : Maria Natasha Rastyabed

Penyunting : Anak Agung Ayu Metta Nanda Kusuma