Kiki, Do You Love Me?
03/12/2018
Kiki, do you love me? Are you riding?
Say you’ll never ever leave from beside me
hayo siapa yang baca kalimatnya langsung kepengen goyang terus pinjam mobil tetangga?
Ya akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang dilanda fenomena kiki challenge. Bagi anda yang belum tau apa itu Kiki Challenge, dilansir dari liputan6.com biasanya orang yang melakukan Kiki Challenge ini akan menari kemudian keluar dari dalam mobil dan melakukan tarian sesuai dengan musik lagu In My Feelings Challenge dari Drake yang dimainkan sambil mobil terus berjalan perlahan. Tidak hanya masyarakat umum saja loh yang heboh bahkan pihak kepolisian juga dihebohkan oleh banyaknya pemberitaan fenomena Kiki Challenge ini. Bahkan berita tersebut menambahkan data bahwa hanya dalam beberapa minggu, lebih dari 240.000 unggahan telah mengisi tagar #InMyFeelingsChallenge atau #KikiChallenge di Instagram. Mungkin anda bertanya-tanya mengapa sampai pihak kepolisian ikut heboh dengan adanya challenge tersebut. Kiki Challenge dianggap membahayakan, karena sangat besar kemungkinan orang yang melakukan akan terlindas ban mobil, terseret atau bahkan tertabrak kendaraan lain. Selain itu orang yang merekam pun akan rawan menabrak orang lain yang sedang menyebrang karena saat merekam tentu saja ia tidak memperhatikan keadaan jalan di depannya. Beberapa negara seperti Oman, Turki, dan bahkan Indonesia melarang pembuatan video Kiki Challenge karena dianggap membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Sebelum Kiki Challenge booming, ada beberapa challenge yang juga ramai ditiru masyarakat Indonesia, seperti Mannequin Challenge, Samyang Challenge, Tahan Tawa Challenge, Masha Bengek Challenge dan masih banyak lagi challenge yang sempat heboh di media sosial. Efnie Indrianie dalam metrotv.news pada Selasa 28 November 2017 mengatakan bahwa budaya kolektif di Indonesia adalah salah satu alasan mengapa seseorang mengikuti berbagai challenge tersebut. Dosen Universitas Maranatha Bandung ini juga mengatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Ketika banyak orang mencoba untuk melakukan challenge tersebut akan muncul keinginan yang besar dalam diri individu untuk melakukannya juga. Dan ketika mendapat banyak komentar atau “like” di media sosialnya orang tersebut akan merasa mendapatkan perhatian dari banyak orang serta beranggapan bahwa ia sudah mengaktualisasikan dirinya.
Di ranah Psikologi, aktualisasi diri diungkapkan oleh Maslow dalam teori hierarki kebutuhan manusia. Pada teori tersebut disebutkan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki 5 kebutuhan dasar yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta, kebutuhan akan rasa harga diri dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya (kebutuhan pengembangan diri). Agar seorang individu dapat mencapai puncak hierarki maka ia harus memenuhi kebutuhan yang paling dasar terlebih dahulu, dalam hal ini adalah kebutuhan fisiologis. Karena membentuk sebuah hierarki jadi seseorang tidak dapat mencapai kebutuhan selanjutnya ketika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Berikut gambaran dari teori yang diungkapkan Maslow.
(sumbu.com)
Ditinjau dari fenomena Kiki Challenge, teori Maslow membuktikan bahwa masyarakat saat ini sedang berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial dan kebutuhan akan suatu penghargaan demi mencapai aktualisasi diri. Menurut Maslow dalam Feist&Feist (2009) kebutuhan akan penghargaan dijelaskan pada dua tingkatan yakni reputasi dan harga diri. Reputasi berkaitan dengan persepsi seseorang akan pengakuan dan/atau ketenaran dengan sudut pandang orang lain. Sedangkan harga diri lebih merujuk pada perasaan dan penilaian seseorang terhadap diri sendiri.
Upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan akan penghargaan tersebut muncul dalam perilaku melakukan Kiki Challenge yang saat ini sedang viral. Melalui keikutsertaan mereka dalam mengikuti hal yang sedang menjadi tranding topic tersebut di dalamnya terkandung harapan agar pihak di luar diri mereka mengakui eksistensi mereka di media sosial. Akan tetapi walaupun sudah melakukan Kiki Challenge, bukan berarti seorang individu sudah mengaktualisasikan dirinya, hal itu bergantung pada motivasinya ketika melakukan challenge tersebut. Ketika seseorang melakukan dan memaknai challenge bahwa hal tersebut adalah proses diri untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensi psikologis yang unik dalam dirinya berarti orang itu berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya. Akan tetapi ketika perilaku tersebut muncul karena adanya motivasi untuk “dilihat” atau dihargai maka ia masih terjebak dalam pemenuhan kebutuhan penghargaan, akan tetapi bukan hanya berhenti di situ saja, jika perilakunya muncul dengan motivasi sebatas ingin mengikuti perilaku orang lain yang dianggap lebih populer dari dirinya, ia pun telah masuk ke dalam fenomena “ikut-ikutan”.
Di dalam teori Psikologi fenomena “ikut-ikutan” tersebut dinyatakan sebagai suatu bentuk dari konformitas. Konformitas adalah salah satu bentuk dari pengaruh sosial yang merupakan suatu usaha yang dilakukan satu atau lebih orang untuk mengubah perilaku, sikap, atau perasaannya agar menjadi sama dengan lingkungan sosialnya. Menurut Sarwono (2005), tanggapan umum berupa perilaku yang terbuka yang dapat didengar atau dilihat lebih mendorong konformitas dari pada perilaku yang hanya dapat didengar dan diketahui oleh orang tertentu saja. Hal ini sesuai dengan fenomena Kiki Challenge, sebagian besar orang yang sudah melihat ketenaran dari Kiki Challenge dalam suatu kelompok tertentu akan berbondong-bondong untuk ikut mencoba agar ia terlihat sama dengan lingkungan. Selain itu, ketika orang tersebut mendapatkan suatu tanggapan umum seperti pujian atau sekedar “Like” dari pengguna media sosial maka terciptanya perilaku konformitas seolah tak bisa dielakkan lagi.
Setiap tindakan yang dilakukan seseorang pasti tidak terlepas dari adanya motivasi tersendiri. Seperti halnya pada Kiki Challenge yang sedang viral belakangan ini. Terdapat beberapa kecenderungan yang muncul saat seseorang melakukannya, yakni kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan/atau hanya ingin terlihat serupa dengan kelompok yang dianggap lebih populer.
Pada dasarnya sah-sah saja jika manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka ataupun sekedar mengikuti apa yang menjadi trend saat ini. Akan tetapi seyogyanya dalam proses memenuhi kebutuhan atau sekedar mengikuti trend tersebut kita bisa lebih arif dan bijaksana dalam mempertimbangkan usaha yang akan kita lakukan. Apakah usaha itu justru akan memberikan dampak negatif pada diri kita dan orang lain dan apakah sudah tidak ada cara yang lain untuk memenuhi kebutuhan dengan tidak mengancam nyawa sendiri dan merugikan orang lain? Mari kita renungkan bersama, karena memang hanya masing-masing diri kita yang mampu menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Referensi:
https://www.liputan6.com/citizen6/read/3600093/jadi-tren-kekinian-begini-asal-mula-tarian-Kiki-challenge, diunduh 14 Agustus 2018 pukul 15.53 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180724150946-255-316593/bahaya-di-balik-viralnya-Kiki-challenge diunduh 14 Agustus 2018 pukul 15.55 WIB.
https://tirto.id/fenomena-pelarangan-Kiki-dance-challange-di-berbagai-negara-cQlU diunduh 14 Agustus 2018 pukul 16.03 WIB.
http://rona.metrotvnews.com/keluarga/nN9Dr0RK-budaya-kolektif-bikin-orang-indonesia-suka-melakukan-berbagai-challenge diunduh 14 Agustus 2018 pukul 16.16 WIB.
http://www.sumbbu.com/2016/04/membangun-motivasi-calon-guru-berbasis-kompetensi-2.html diunduh 14 Agustus 2018 pukul 17.06 WIB.
Feist, J. & Feist, G. J. (2009). Teori Kepribadian : Theories of Personality. Jakarta: Salemba Humanika.
Sarwono, S. W. (2005). Psikologi Sosial : Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan . Jakarta: Balai Pustaka.
Penulis : Bayu Indrarini, Prastika Prima Nugraheni, Rosa Bany Widiaratri, Vania Susanto
Editor : S. Margareth
Previous
DO THE BEST
Newer