Karya Tulis,  Podjok Merenung

Yang Hilang Akan Berganti

‘Cause there were pages turned when the bridges burned
Everything you lose is a step you take
(You’re on Your Own Kid, Taylor Swift)

Semua orang tentunya setuju bahwa hidup tidak semudah membalikkan tangan. Rasanya hidup punya 1001 cara untuk “menyusahkan” setiap orang. Meski demikian, tidak jarang terdapat ajaran atau nasihat bahwa kesusahan dalam hidup itulah yang perlu dicicipi semua orang. Hal itu menjadi terasa sangat ganjal, ketika tujuan hidup manusia adalah menemukan kenyamanan dan keseimbangan. Tapi sekali lagi, kehidupan selalu punya caranya sendiri untuk menantang setiap manusia yang hidup di dunia. 

Ada pepatah mengatakan “patah tumbuh, hilang berganti”, yang berarti di setiap kegagalan pasti akan muncul kesempatan baru. Hal itu menggambarkan kemampuan untuk bangkit dari kesusahan yang dialami. Itulah yang disebut dengan resiliensi dalam psikologi. Mengutip Stoler (2015) dari Psychology Today, resiliensi dijelaskan sebagai kemampuan untuk bertahan dan pulih dari perubahan yang merugikan. Resiliensi kadang disalahartikan menjadi perasaan yang tumpul, hampa, atau tidak boleh merasakan sedih. Hal ini ditentang oleh Stoler (2015), bahwa langkah pertama dari membangun resiliensi adalah menerima bahwa terdapat kerugian atau kesedihan yang dirasakan. 

Sering kali ketika saya berada di titik terendah, saya cenderung menutup diri dan tidak mau mengakui kerugian yang saya rasakan. Saya pun cenderung untuk lari dari masalah dan menganggap bahwa tidak terjadi apa-apa. Namun kemudian, saya sadar bahwa lari dari masalah tidak akan menyelesaikan masalah tersebut dan malah memperbesarnya. Hal ini dijelaskan dalam tulisan Meekhof (2020) dalam Psychology Today yang berjudul “13 Thing Resilient People Do”. Meekhof (2020) menuliskan bahwa orang dengan resiliensi, yaitu yang bisa melihat peristiwa secara utuh tanpa terlalu fokus ke hal-hal tidak penting, terbuka dengan ide dan kesempatan untuk bertumbuh, mengetahui kekurangan yang dimiliki dirinya, tidak takut untuk mencari bantuan, tidak takut untuk mengenali diri sendiri, menghargai dan membangun relasi, mengembangkan beberapa rencana, mempraktikkan perawatan diri, mengetahui bahwa semua hal mengambil energi, sensitif terhadap emosi yang dirasakan, menciptakan dan membangun ruang untuk berinovasi, melakukan positive self-talk, serta memandang situasi menantang dengan kacamata bersyukur. 

Tentunya resiliensi bukan hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi ketika seseorang baru saja mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan. Hal ini pun terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu. Ketika saya mengalami pengalaman ditolak, respon pertama saya adalah sedih dan terdapat perasaan ingin menyerah. Tentunya hal ini sangat wajar dirasakan. Seperti yang dituliskan Stoler (2015) bahwa langkah pertama adalah menerima rasa sakitnya. Namun kemudian, setelah saya menerima kesedihannya, saya kemudian memikirkan kembali langkah yang perlu saya lakukan. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian saya memilih untuk berusaha mencari kesempatan lain. Saya mendaftar di berbagai kesempatan yang ada. Saya juga berusaha memperbaiki apa yang sekiranya kurang, misalnya cara saya menjawab wawancara, atau CV saya, atau hal lainnya. Saya berefleksi dan mengevaluasi diri. 

Tidak berhenti sampai disitu, saya juga menjadi lebih eksploratif untuk mencari kesempatan lain. Berbekal rasa sedih, saya berusaha memperbaiki diri perlahan sambil terus mencari kesempatan lain. Alhasil, saya berhasil terdaftar di beberapa kegiatan yang menjadi mimpi saya dari dulu. 

Ketika saya menilik pengalaman itu kembali, saya menyadari bahwa pengalaman sedih atau merugikan bukan suatu halangan bagi kita untuk menjadi lebih baik. Seringkali kita terlalu fokus ke rasa sedih dan lupa bahwa hidup terus berjalan. Fokus ke rasa sedih adalah hal yang wajar ketika menghadapi suatu peristiwa sedih. Meski demikian, fokus ke rasa sedih tidak membantu kita untuk berkembang menjadi lebih baik. Hal itulah yang perlu dijadikan pengingat bagi semua orang. Berbekal rasa sedih, kita harus secara perlahan juga tetap bergerak atau keep moving on. Sekecil atau sebesar apapun langkah pergerakan yang dibuat, namun semuanya berharga untuk mendorong individu mencapai pertumbuhan sebagai manusia yang lebih baik. Maka dari itu, mari kita semakin mengenali perasaan kita, mau berani menghadapi masalah, dan terus pantang menyerah dalam menghadapi kesusahan hidup yang tidak ada hentinya. Karena dengan kita pantang menyerah dan terus bergerak, maka niscaya kita sedang mengusahakan hidup yang lebih baik tiap harinya. 

 

Penulis
Emanuela Tyasgupita Lintangswasti / Asisten P2TKP Angkatan 2022

Penyunting
1. Ariolietha Joanna Kintanayu / Asisten P2TKP Angkatan 2023
2. Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023


Daftar Acuan
Meekhof, K. (April 8, 2020). 13 Things resilient people do. Psychology Today. Retrieved _  August 10, 2024, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/a-widows-guide-to-healing/202004/13-things-resilient-people-do.

Meekhof, K. (April 26, 2020). The path of resilience. Psychology Today. Retrieved August 10_, 2024, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/widows-guide-healing/202004/the-path-resilience.

Stoler, D. R. (October 29, 2015). Resilience: To bounce back, build your resilience. Psychology Today. Retrieved August 10, 2024, from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-resilient-brain/201510/resilience.

Sumber Gambar
Febrila Kristi Valentina.