Resiliensi Gen Z: Dibangun atas Pengalaman atau Latihan?
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita dilanda berbagai macam masalah. Masalah-masalah inilah yang membuat kita berkembang tumbuh sebagai proses perkembangan pribadi manusia yang harus dilewati. Akhir-akhir ini, kita sering mendengar pembahasan generasi z yang marak dibicarakan sebagai generasi yang mudah menyerah dalam menghadapi masalah atau sering dikatakan generasi yang “lembek” layaknya buah stroberi. Generasi z merujuk pada generasi individu kelahiran tahun 1995 hingga 2010 (Rachmawati, 2019). Kasali (2017) menemukan bahwa generasi z sering kali dianalogikan layaknya buah stroberi, yang adalah buah merah merona dengan bentuk eksotis dan indah, tetapi mudah sekali hancur. Eksotisme dari stroberi merepresentasikan generasi z yang sudah mendapat berbagai perkembangan yang masif di banyak hal, tetapi juga mudah frustasi ketika mengalami tekanan, kompetisi, dan ketidakpastian. Dalam kata lain, generasi z dianggap sebagai generasi dengan relisiensi yang tergolong rendah.
Berbagai masalah yang kita hadapi akan menimbulkan respons tubuh berupa stres. Stres yang tidak sehat (toxic stress) dapat menyebabkan perubahan perilaku yang maladaptif dan kecenderungan psikopatologis, sedangkan stres yang baik (eustres) menghasilkan perilaku yang adaptif (Hunter et al., 2018). Dalam hal ini, stres yang baik akan menimbulkan ketahanan atau yang disebut sebagai resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk mengatasi kondisi yang tidak menyenangkan (adversity) dengan sukses melalui serangkaian proses yang adaptif (Karatsoreos & McEwen, 2011).
Dalam temuan Masten & Barnes (2018), akumulasi dari pengalaman traumatis individu dapat memicu respon ketahanan yang tangguh sebagai upaya pertahanan hidup yang naluriah. Maka, resiliensi terbentuk atas daya naluriah untuk bertahan hidup yang dapat dipelajari dari pengalaman sebelumnya. Penelitian neurobiologi yang dilakukan oleh Hunter et al., (2018) menemukan bahwa pengalaman yang menimbulkan stres kronis, terutama yang terjadi sejak masa kecil, berkorelasi terhadap perkembangan bagian hipokampus dan korteks prefrontal pada otak. Perkembangan yang normal akan memengaruhi seberapa baik seseorang dapat membangun kemampuan penyelesaian masalah dan regulasi diri yang penting dalam proses pembentukan resiliensi. Selain itu, ditemukan pula bahwa secara genetik, seseorang dapat mengembangkan kemampuan yang membantu mereka untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Namun, pengalaman-pengalaman yang menimbulkan stres kronis dapat berpengaruh negatif pada kemampuan individu dalam menghadapi pengalaman serupa (Hunter et al., 2018). Maka, dapat disimpulkan bahwa, resiliensi merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan hasil pembelajaran dari pengalaman sebelumnya. Lantas, apakah kita hanya perlu pasrah dengan predisposisi faktor genetik? Atau apakah kita harus menempuh pengalaman yang negatif terlebih dahulu sebagai jalan untuk meningkatkan resiliensi?
Karatsoreos & McEwen (2011) menemukan bahwa resiliensi dapat dibentuk dan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari dengan tiga perilaku pembentuk resiliensi, diantaranya yakni:
- Resisting, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam kondisi sulit yang tidak menyenangkan. Resisting juga diartikan sebagai kemampuan menjalani dan menyelesaikan apa yang dilakukan dengan tekun dan bertanggungjawab (persistence), walaupun terdapat hambatan dan kesulitan (Listiyandini & Akmal, 2015). Secara praktisnya, kita bisa belajar untuk tetap tenang saat dihadapkan dengan tekanan sebab kita sering kali menilai situasi terburu-buru. Ambil waktu sejenak untuk memikirkan masalah saat kondisi emosional sudah stabil. Kita juga bisa menerapkan nilai dan keyakinan untuk membantu mengarahkan kita pada jalan yang benar dalam mengambil keputusan. Dalam mengambil solusi, biasanya kita cenderung fokus untuk mengingat kembali perasaan menyakitkan secara berulang yang membuat kita mudah mengembangkan masalah-masalah psikologis seperti kecemasan. Maka, penting bagi kita untuk berfokus pada tujuan penyelesaian agar dapat membantu kita tetap objektif dalam menyelesaikan masalah. Terakhir, penting pula untuk tidak mudah menyerah, serta menyadari bahwa kegagalan, penderitaan, dan masalah merupakan bagian penting kehidupan yang normal dapat membuat kita lebih menerima hal tersebut sebagai bagian menjadi manusia yang utuh.
- Recovering merupakan kemampuan untuk bangkit dari situasi tidak menyenangkan. Terdapat beberapa hal praktis yang dapat dilakukan. Pertama, dengan melakukan rehat sejenak untuk menyadari dan mengakui perasaan-perasaan yang kita alami. Proses ini akan menciptakan ruang aman bagi diri untuk merasakan dan mengekspresikan perasaan Kita dapat melakukan journaling, aktivitas kreatif, dan praktik mindfulness. Kedua, kita bisa membiasakan melakukan learning and growth saat mengalami pengalaman traumatis. Kita bisa mencoba belajar dari pengalaman tersebut, melibatkan orang lain dalam menemukan keberagaman perspektif ataupun mencari bantuan profesional. Tindakan-tindakan yang berguna untuk mengurangi stress yang tidak sehat, peningkatan dukungan sosial, dan pengembangan cara mengatasi stres yang baik menjadi bagian penting dalam meningkatkan resiliensi (Hunter et al., 2018). Terakhir, ciptakan rutinitas yang sehat. Dengan memiliki rutinitas teratur yang membangun, kita dapat mencegah atau berhenti dari tindakan mengingat pengalaman traumatis terus-menerus.
- Redirecting dimaknai sebagai kemampuan menerapkan perubahan pada pola pikir, kebiasaan, dan lingkungan sebagai upaya mengatasi situasi yang tidak menyenangkan. Selaras dengan Calhoun & Tedeschi (2014), redirect dilihat sebagai proses perubahan bentuk menjadi lebih kuat akibat proses adaptasi dengan menata ulang pikiran, keyakinan, dan perilaku sebagai upaya mitigasi masalah di masa depan. Secara praktis, kita dapat melakukan upaya penerimaan diri. Dengan hal ini, kita mengakui masalah yang ada tanpa penyangkalan (denial). Kedua, kita bisa melakukan positive reframing, yakni dengan memahami dan menata situasi negatif di pikiran kita melalui sudut pandang yang positif, misalnya memahami bahwa semua hal yang terjadi pastinya memiliki hal baik di baliknya. Ketiga, kita bisa membiasakan menerapkan gratitude dengan menyadari bahwa ada banyak hal baik yang sudah kita dapatkan untuk membuat kita bersyukur dengan hidup yang bisa kita nikmati hingga saat ini. Hal ini dapat memberi manfaat pada aspek psikologis, seperti terciptanya perasaan positif; aspek sosial, seperti meningkatkan apresiasi kita terhadap orang lain; dan aspek fisik, seperti menurunkan tekanan darah; serta spiritual, seperti membuat kita lebih taat beribadah.
Memiliki resiliensi yang baik sangat penting untuk membantu kita menghadapi berbagai masalah yang ada. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi khususnya pada generasi z yang menjadi perhatian kita saat ini. Faktor biologis, pengalaman, dan latihan menjadi faktor penting yang membentuk resiliensi pada individu. Kita dapat mengusahakan pembentukan resiliensi melalui latihan sebagai upaya preventif dan promosi kesehatan mental. Sebagai generasi z, tentunya tidak ingin dipandang lemah dan rentan akan rasa frustasi dalam menghadapi persoalan hidup, bukan? Maka dari itu, dengan menyadari bahwa resiliensi dapat dibentuk, harapannya membuat kita semakin tergerak untuk menerapkannya dalam menghadapi tantangan permasalahan hidup dalam keseharian kita.
Penulis
William / Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2022
Penyunting
Bernadeta Karisma Putri / Asisten P2TKP Angkatan 2022
Daftar Acuan
Calhoun, L. G., & Tedeschi, R. G. (Eds.). (2014). Handbook of Posttraumatic Growth:
Research and Practice. Taylor & Francis Group. doi.org/10.4324/9781315805597
Hunter, R. G., Gray, J. D., & McEwen, B. S. (2018). The Neuroscience of Resilience. Journal of the Society for Social Work and Research, 9(2), 175-358. https://doi.org/10.1086/697956.
Karatsoreos, I. N., & McEwen, B. S. (2011). Psychobiological allostasis: resistance, resilience and vulnerability. Trends in Cognitive Science, 15(12), 576–584. doi:10.1016/j.tics.2011.10.005.
Kasali, R. (2017). Strawberry generation: Mengubah generasi rapuh menjadi generasi tangguh. Mizan.
Listiyandini, R. A., & Akmal, S. Z. (2015). Hubungan antara Kekuatan Karakter dan Resiliensi pada Mahasiswa. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Psikologi, 1(1), 45.
Masten, A. S., & Barnes, A. J. (2018). Resilience in Children: Developmental Perspectives. Children, 5(7), 98. https://doi.org/10.3390%2Fchildren5070098.
Rachmawati, D. (2019). Welcoming Gen Z in Job World. Proceeding Indonesia Career Center Network Summit IV, 1(1), 21-24.
Sumber Gambar
Akaraworaphawikakun, T. (2018, 10 Desember). Photo of Woman Holding On Fence. Pexels. https://www.pexels.com/photo/photo-of-woman-holding-on-fence-1678797/.