Menerima Kenyataan, Belajar dari Masa Lalu, dan Melangkah Maju dengan Penuh Harapan
Pernahkan kamu tiba-tiba teringat momen atau kenangan bersama mantan? Atau pernahkah kamu berjanji akan melakukan sesuatu bersama temanmu, tetapi sekarang sudah tidak pernah berkabar lagi? Hampir semua orang pernah mengalami hal tersebut, termasuk saya. Kenangan-kenangan itu terkadang kita anggap sebagai “kenangan pahit” yang membawa luka dan penyesalan. Namun, di balik itu semua, kita bisa belajar banyak hal.
Saya menyadari bahwa waktu tidak bisa diputar kembali seperti di film Back to The Future. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah menerima kenyataan. Seperti dalam teori Kübler-Ross dan Kessler (2005), penerimaan atau acceptance berarti memahami dan menerima pengalaman tersebut sebagai bagian dari kehidupan. Saya juga melakukan meditasi sebagai salah satu bentuk terapi untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Hal ini juga bisa dilakukan untuk mengurangi stres dengan menciptakan respons relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi aktivitas fisiologis (Barraclough, 2000; Sarafino dkk., 2017).
Setelah menerima kenyataan, saya juga belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebelum menentukan suatu pilihan, saya menyadari bahwa kita perlu memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik. Kemampuan regulasi emosi yang baik dapat dilihat dari kemampuan untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosional, terutama intensitas dan durasinya (Thompson, 1994). Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk memahami berbagai proses yang terjadi dalam dirinya, termasuk pikiran, perasaan, dan latar belakang dari tindakannya. Dengan demikian, orang tersebut tidak akan mudah terpengaruh oleh emosi negatif dan dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui refleksi diri. Misalnya, pengalaman putus cinta dapat mengajarkan tentang pentingnya komunikasi dalam hubungan. Konflik dengan teman mengingatkan untuk lebih menghargai hubungan yang dimiliki dan bagaimana cara mempertahankannya.
Dengan memiliki harapan, saya merasa memiliki kekuatan untuk terus bergerak maju dan berfokus pada masa depan, meskipun menghadapi tantangan. Hal ini tidak terlepas dari peran resiliensi, yaitu proses pemanfaatan sumber daya biologis, psikososial, struktural, dan budaya untuk mempertahankan kesejahteraan, meskipun dalam situasi sulit dan mengancam (Oshio et al., 2002; Panter-Brick & Leckman, 2013). Terakhir, penulis juga merekomendasikan lagu dari The Strokes yang berjudul “Someday” sesuai dengan tema tulisan ini. Ini cuplikannya: “In many ways, they’ll miss the good old days. Someday, someday.” (Someday, The Strokes).
Penulis
Adhisakti Prasetyo Mukti / Asisten P2TKP Angkatan 2023
Penyunting
Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023
Daftar Acuan
Barraclough, J. 2000. Cancer and Emotion (Practical Guide to Psychooncology). New York: John Wiley & Sons, Ltd.
Kübler-Ross, E., & Kessler, D. (2005). On Grief and Grieving: Finding the meaning of grief through the five stages of loss. Scribner.
Oshio, A., Kaneko, H., Nakaya, M., & Nagamine, S. (2002). Development and validation of an adolescent resilience scale. Japanese Journal of Counseling Science, 35, 57–65. https://www.researchgate.net/publication/284332745.
Panter-Brick, C., & Leckman, J. F. (2013). Editorial Commentary: Resilience in child development – interconnected pathways to wellbeing. Journal of Child Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines, 54(4), 333–336. https://doi.org/10.1111/jcpp.12057.
Sarafino., Edward P. & Timothy W. Smith. (2017). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (Nine Ed.). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons Inc.
Thompson, R. A. (1994). Emotion Regulation: A Theme in Search of Definition. Monographs of the Society for Research in Child Development, 59(2/3), 25. doi:10.2307/1166137.
Sumber Gambar
Dokumentasi pribadi, Adhisakti Prasetyo Mukti.