Karya Tulis,  Podjok Merenung

When Time Heals No Wounds

“I asked grief, how long would she stay?
“For as many days as you love them,” she answered.
“Then we will be sharing a lifetime together,” I said.”

— Deb Sheppard

Di tengah hiruk pikuk hari itu, kamu teringat sosoknya. Kamu membuka ponsel untuk mengirimkan pesan singkat untuk menceritakan sedikit tentang harimu. Sampai kamu tersadar bahwa percakapan terakhir terjadi beberapa tahun yang lalu. Benar, dia sudah bukan lagi bagian dari hidupmu. Lubang besar kembali terbuka dalam hatimu. Kamu kembali merasakan duka.

Kata teman-temanmu, waktu adalah solusi ajaib yang dapat menyembuhkan luka emosional terdalam. “Time heals all wounds,” kata mereka. Tapi mengapa, setelah sekian tahun, luka itu masih ada?

Duka (grief) yang kamu rasakan adalah sebuah respon kompleks terhadap kehilangan, baik secara emosional maupun perilaku (Kübler-Ross et al., 2005). Duka sangat alami terjadi pada manusia. Mungkin kamu baru saja mengalami kematian orang yang dicintai, putus cinta, perceraian, kehilangan teman/sahabat, pergi merantau, kehilangan pekerjaan, kehilangan hewan peliharaan, mengalami penyakit serius, atau bahkan kehilangan mimpi atau tujuan sekalipun. Semua kehilangan yang kamu alami sangat lah valid.

Ketika kehilangan anggota keluarga, hal itu menyakitkan bagi semua anggota keluarga. Tidak ada di antara kita yang “cukup kuat” untuk saling menghibur. Kalian hanya bisa berada di sana, di samping satu sama lain, menangis selama berjam-jam. 

Namun, ketika rasa kehilangan itu hanya berdampak pada dirimu, tidak ada yang bisa kamu ajak untuk “menangis bersama”. Saat itu, mungkin kamu hanya terpikir untuk survive dalam situasi itu. Mungkin kamu akan menekan emosi-emosi tersebut, selama itu bisa membantumu tetap melanjutkan kehidupan. 

Duka ini sering kali datang seakan seperti gelombang intens dan membebani. Terkadang, gelombang ini terasa muncul begitu saja, tanpa pemicu. Ketika gelombang itu datang, dadamu mungkin akan sedikit sesak dan otakmu memberikan reality check yang menyakitkan: mereka sudah bukan lagi bagian dari hidupmu.

Dalam satu titik di hidupmu, kamu mungkin percaya, “Time will heal my wounds.” Seiring berjalannya waktu, ukuran gelombang itu mungkin terasa mengecil dan mulai mereda. 

Namun, saat gelombang itu hadir kembali setelah waktu yang lama, kamu pun tersadar: bukan waktu yang menyembuhkan luka. Waktu hanyalah berlalunya hari di mana kamu melanjutkan rutinitas. Benar, mungkin waktu dapat mengurangi intensitas awal rasa sakit itu, tetapi tidak menghapus rasa kehilangan atau emosi di dalamnya. Ternyata, penyembuhan itu datang dari pengolahan duka secara aktif olehmu.

Tebak apa yang kamu lakukan setelah itu? Kamu mulai mengakui emosimu. Kamu memeluk kembali bagian dari dirimu yang hancur itu, sambil berkata, “Tidak apa-apa, kamu boleh menangis sepuasmu.” Kamu pun mulai terbuka membicarakan kehilangan yang kamu alami, kamu menemukan cara untuk menghargai kenangan yang ada, bahkan kamu mulai berusaha mengembangkan coping mechanism yang sehat.

Toh, tidak ada cara yang “benar” untuk mengekspresikan duka. Semua orang berduka dengan caranya masing-masing. Jadi, tidak usah terburu-buru, ya? Kita luangkan waktu untuk belajar hidup berdampingan dengan duka ini.

 

Penulis
Aulia Salsabila / Asisten P2TKP Angkatan 2023

Penyunting
1. Ariolietha Joanna Kintanayu / Asisten P2TKP Angkatan 2023
2. Maria Putri Dwi Astuti / Asisten P2TKP Angkatan 2023


Daftar Acuan
Kübler-Ross, E., & Kessler, D. (2005).  On Grief and Grieving: Finding the meaning of grief through the five stages of loss. Scribner.

Sumber Gambar
Dokumen Pribadi, Aulia Salsabila.