Mengasihi Diri dengan Memeluk Rasa Sakit
Perkataan buruk dari orang lain, peristiwa traumatis, masa depan, tujuan hidup… Seberapa sering pikiran dan perasaan buruk menghampiri kamu?
Dalam masa-masa yang sulit, kita mungkin akan merasa ketakutan dan cemas. Pikiran-pikiran buruk yang menghampiri dapat membuat kita merasa tidak nyaman. Hidup seketika menjadi kelabu dan kabur. Kita hanya bisa menangis, berharap warna-warna pelangi akan kembali atau bahkan merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri. Jika hal itu terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan? Jalan yang kemudian kita ambil secara otomatis biasanya dengan menangis, menghindar, dan lari daripada menerima rasa sakit itu. Padahal, hal-hal tersebut merupakan bentuk tindakan yang tidak baik dan tidak mencintai diri sendiri (TEDx Talks, 2016b). Tapi apakah hanya itu yang bisa kita lakukan? Salah satu jalan keluarnya adalah dengan memilih untuk merasakan dan menghadapi rasa sakit itu serta mengubah apa yang bisa kita ubah. Jangan khawatir, psychological flexibility akan mendampingi kamu dalam proses ini.
Psychological flexibility mencerminkan proses yang multifaktor tentang bagaimana seseorang menghadapi stres, situasi, dan orang lain (Okifuji & Turk, 2016). Dengan psychological flexibility, individu mampu mengubah keadaan dan mampu mengatasi kesulitan apa pun yang muncul karena situasi tersebut. Psychological flexibility juga memungkinkan kita untuk meraih dan mengejar impian atau tujuan hidup kita bahkan ketika kecemasan, depresi, dan trauma menahan diri kita.
Saya mengambil perumpamaan yang disampaikan oleh Steven Hayes (TEDx Talks, 2016b, 11:51) tentang psychological flexibility. Bayangkan kedua telapak tangan kamu adalah seluruh pikiran dan perasaan buruk yang kamu rasakan. Kemudian, taruhlah telapak tangan itu di depan muka kamu. Apa yang kamu lihat sekarang? Benar. Kamu tidak dapat melihat apa pun selain telapak tanganmu, sama seperti kamu tidak bisa melihat kemungkinan lain selain apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kita hanya berfokus pada hal buruk yang ada di depan muka kita, sehingga secara tidak sadar kita mengembangkan proses berpikir maladaptif. Kemudian, bagaimana caranya agar kita menjauhkan telapak tangan itu?
McCracken et al. (2014, dalam Okifuji & Turk, 2016) memiliki suatu konsep, yaitu “Mempercayai sebuah pemikiran versus memiliki pemikiran tetapi tidak mempercayainya”. Sebagai contoh, sering kali ketika saya melihat pencapaian mengagumkan orang-orang di dekat saya, saya berpikir “Aku tidak akan pernah bisa mencapai hal-hal itu (seperti mereka).” Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa saya percaya dan setuju dengan bahwa saya memang tidak akan pernah bekerja di perusahaan besar, memiliki rumah sendiri, memiliki pasangan yang menyayangi saya, melanjutkan studi di luar negeri, dan sebagainya. Sementara itu, pemikiran lainnya yang mungkin muncul adalah “Aku punya pemikiran bahwa… aku tidak akan pernah mencapai hal-hal itu (seperti mereka).” Contoh ini menunjukkan adanya jarak antara pikiran dan diri saya. Saya memang memiliki pemikiran bahwa saya tidak akan pernah mencapai hal-hal yang mengagumkan. Namun, belum tentu saya harus percaya akan hal itu. Ada jarak antara pemikiran itu dan diri saya sendiri. Contoh lain adalah kamu bisa membayangkan Donald Duck, anak kecil, atau apa pun mengatakan dengan aksennya, “Kamu tidak akan bisa mencapai hal-hal mengagumkan!” Mungkin terlihat konyol, tetapi ini menunjukkan bahwa ada jarak antara pikiran itu dan dirimu. Dengan adanya jarak tersebut, kamu bisa memiliki ruang untuk menarik napas sedikit untuk memikirkan dengan baik apa yang harus kamu lakukan selanjutnya.
Ketika pikiran kamu atau Donald Duck sedang berbicara hal buruk, belum tentu kamu harus menyetujui atau memberikan reaksi apa pun terhadap pikiran tersebut (TEDx Talks, 2016a). Psychological flexibility mengajak kita untuk terbuka merasakan dan menerima semua perasaan dan pikiran yang ada, bahkan jika itu merupakan perasaan dan pikiran yang sulit. Tidak apa-apa, kita hanya perlu melihat pikiran kita melakukan pekerjaannya dengan memberikan jarak dan tidak memihak (TEDx Talks, 2016a). Biarkan saja pikiran kita memunculkan pikiran-pikiran itu. Jangan menolak atau menghindarinya. Kita tidak harus meyakini pemikiran tersebut karena itu hanyalah pikiran kamu yang sedang berbicara sebagai respons akan hal yang kamu hadapi saat itu.
Ketika kita sudah mampu untuk merasakan dan menerima pemikiran-pemikiran yang menyakitkan dengan membuat jarak dan tidak menghakimi, telapak tangan yang semulanya ada di depan muka kita sudah menjauh dan lihatlah! Kamu dapat melihat banyak hal yang ternyata juga ada di sana. Dari situ, kita mampu melihat kemungkinan-kemungkinan lain dan dapat mengarahkan perhatian dan tindakan kita terhadap hal-hal yang kita anggap penting dalam hidup (Okifuji & Turk, 2016).
Hal-hal yang membuat kita merasa buruk, kecil, atau tidak nyaman, sangat mungkin memunculkan pikiran-pikiran tertentu yang membuat kita tidak nyaman dan cemas. Ketika pikiran dan perasaan itu muncul secara berlebihan, terkadang saya merasa bahwa hari-hari saya seketika menjadi kelabu dan tidak ada jalan keluar dari situ. Hal tersebut kemudian mendorong saya untuk lari, menghindari, dan bersembunyi dari pikiran dan perasaan buruk yang terus mengejar. Saya melakukannya karena saya percaya bahwa pikiran buruk itu benar. Namun, psychological flexibility ini menyadarkan saya bahwa saya sebenarnya tidak perlu lari dari rasa sakit itu, tetapi hadapi dengan mengambil sikap yang lebih ramah dan penuh kasih pada diri kita sendiri. Taylor Swift (2020) pernah berkata dalam lagunya “If you never bleed, you’re never gonna grow”. Dengan memilih untuk merasakan dan menghadapi rasa sakit itu tanpa menghakiminya, kita dapat mengubah keadaan dan mampu mengatasi kesulitan apa pun yang muncul karena situasi tersebut. Saat itulah meraih dan mengejar impian atau tujuan hidup kita tidak terlihat mustahil, bahkan ketika kecemasan, depresi, dan trauma menahan diri kita.
ㅤ
Penulis
Anastasia Dorothy Ratnaduhita (Asisten P2TKP Angkatan 2022)
Penyunting
1. Verena Diandra Hermawan (Asisten P2TKP Angkatan 2022)
2. Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021)
Daftar Acuan
Okifuji, A., & Turk, D. C. (2016). Chronic pain and depression: vulnerability and resilience. In M. A. Flaten & M. Al’Absi (Eds.), Neuroscience of pain, stress, and emotion (pp. 181-201). Academic Press.
Swift, Taylor. (2020). the 1 [Song]. On folklore. Republic Records.
TEDx Talks. (2016, Februari 23). Psychological flexibility: How love turns pain into purpose | Steven Hayes | TEDxUniversityofNevada [Video]. YouTube. https://youtu.be/o79_gmO5ppg.
TEDx Talks. (2016, Juli 6). Mental Brakes to Avoid Mental Breaks | Steven Hayes | TEDxDavidsonAcademy [Video].YouTube. https://youtu.be/GnSHpBRLJrQ.
Sumber Gambar
Jade. (2017). woman making heart shape on her hards [Stock Image]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/pKsZXmO-zG0.