Karya Tulis,  Podjok Merenung

When Positive Mind Works Wonders

Pernahkah kamu merasa pikiranmu mengendalikan kondisi tubuhmu? Misalnya, ketika kamu merasa tidak mampu, tanpa sadar tubuhmu seakan menjadi lemas, padahal kondisi kesehatanmu saat itu sedang baik-baik saja. Saya sendiri pernah mengalaminya dan pikiran pesimistis tersebut tanpa sadar membuat diri saya melemah sepanjang hari. Namun, setelah saya memperhatikan keseharian saya, ternyata pikiran positif juga sangat berpengaruh terhadap kondisi saya sepanjang hari. Hal ini cukup menarik perhatian karena selain terjadi pada diri saya sendiri, ternyata saya juga banyak melihat hal serupa terjadi pada teman, keluarga, rekan kerja, ataupun orang asing yang saya perhatikan. 

Waktu itu, saya kebetulan menjadi hakim garis pada sebuah turnamen badminton ganda putri dan itu adalah pertandingan semi-final. Salah seorang pemain belakang di tim A bermain sangat baik dan sangat menguasai alur permainan saat itu. Kemudian, tim B membuat kesalahan yang mana pemain depan menyentuh kok dengan sangat tipis sehingga arah kok tidak berbalik, tetapi akhirnya dibalikkan oleh pemain belakangnya. Pemain belakang di tim A menyadari hal tersebut, tetapi permainan tetap berjalan selama kurang lebih dua pukulan karena pemain depan tidak menyadari hal tersebut dan pihak tim B pun tidak langsung mengaku. Pemain belakang pun menghentikan permainan dengan tidak membalikkan kok yang dipukul dari tim B dan menyatakan kepada wasit bahwa tim B melakukan pelanggaran. Namun, sayangnya, wasit mempunyai keputusan tersendiri dan tidak menerima pembelaan dari tim A walaupun tim B sudah mengaku. Pemain belakang tim A tentunya tidak terima hingga ia mengamuk dan berteriak kepada wasit, tetapi wasit tetap kekeh dengan pendiriannya. Sayayang menjadi hakimsejujurnya juga kesal dengan pernyataan wasit tersebut, tetapi apa daya, keputusan wasit mutlak adanya. 

Lantas, apa hubungannya cerita di atas dengan topik yang sedang kita bahas? Sebentar, ceritanya belum selesai sampai di situ. Setelah kejadian itu, permainan tetap berlanjut seperti biasa, tetapi ada yang berbeda: Tim A tidak lagi menguasai tempo permainan. Tempo permainan mereka sangat terburu-buru layaknya seseorang yang menggebu-gebu untuk menebas lawannya dengan asal-asalan. Saya bisa melihat bahwa amarah telah menguasai mereka saat itu, terutama pada pemain belakang yang menjadi kekuatan bagi tim A. Akhirnya, mereka harus mengalami kekalahan dengan skor yang awalnya 1-0 menjadi 1-2. Saya saat itu melihat dengan jelas bahwa efek dari energi negatif akan sangat memengaruhi bagaimana akhir dari suatu hal walaupun sebelumnya sudah diawali dengan energi positif. 

Sebagai pembanding, saya akan menceritakan peristiwa yang berlawanan dengan peristiwa di atas. Saya adalah seorang mahasiswa yang sehari-harinya mengandalkan katering untuk makan. Hal ini saya lakukan agar saya tidak perlu memikirkan ingin memakan apa setiap harinya. Namun, pihak katering saya tidak bisa mengantarkan makanan ke kos saya karena jaraknya yang terlalu jauh dan mereka hanya melayani pengiriman di sekitar kampus, sedangkan kos saya tidak berada di sekitar kampus. Akhirnya, saya pun sepakat agar kateringnya diantar ke kampus atau langsung saya jemput ke restorannya saja. 

Suatu hari, saya ingin menjemput katering saya dan saat itu panas sedang terik-teriknya. Kebetulan, saya adalah seorang yang mending kedinginan daripada kepanasan. Singkat cerita, saya berangkat dari kos, mengambil katering, lalu pulang. Saat di perjalanan pulang, ternyata plastik katering yang saya gantungkan terjatuh dari motor karena terdorong angin saat saya ngebut. Saya ngebut bukan tanpa alasan, melainkan karena panasnya siang itu (mencoba membela diri). Namun, yang namanya jatuh, tentunya ada benturan—yang membuat katering saya tercecer di jalanan dan membuat saya harus pulang dengan rantang yang kosong. Ketika di kos, saya yakin betul bahwa saya pantas dan sudah seharusnya untuk marah serta kesal karena sedang lapar, ditambah pula harus bepergian di cuaca yang sedang terik-teriknya. Namun ternyata, saya tidak kesal ataupun merasa marah, bahkan saya tidak memarahi diri saya sendiri, melainkan menjadikan peristiwa buruk tersebut sebagai pelajaran. 

Saya, saat itu, sempat bingung dengan emosi saya, kenapa saya tidak marah? Kenapa, ya, saya bisa tenang menghadapi hal ini? Kemudian, saya mencoba melihat apa yang saja yang terjadi kepada diri saya belakangan ini dan ternyata rata-rata yang saya lakukan adalah kegiatan yang memunculkan perasaan dan pikiran yang positif. Beberapa minggu sebelum kejadian itu, memang saya sedang memulai rutinitas baru. Saya mencoba untuk aktif berolahraga, bermeditasi dan berdoa tidak hanya di gereja, tetapi juga di kos. Semua runtutan rutinitas itu tanpa sadar membuat saya mencapai titik untuk melihat hikmah dalam sebuah permasalahan. Saat katering saya jatuh di jalan, saya mengambil hikmah bahwa saya bisa sedikit melepas rasa bosan terhadap makanan katering yang monoton dan bisa makan apa yang saya inginkan. Pikiran positif yang sederhana tersebut secara tidak langsung membuat diri saya tetap dalam kondisi yang positif sepanjang hari. Saya sendiri merasa efek dari pemikiran positif seakan mampu membuat diri saya memiliki emosi yang stabil, energi yang banyak, tidak malas, mudah tersenyum, serta mudah memaafkan. 

Sebuah jurnal melakukan eksperimen terhadap penderita HIV dan kanker tentang bagaimana pemikiran dan harapan mereka memengaruhi kualitas imun mereka. Segerstrom (2005) menyatakan bahwa para penderita tentunya mempunyai tekanannya masing-masing, ada tekanan yang ringan dan ada pula yang berat. Hasil penelitian menyatakan bahwa terkadang harapan dan pemikiran yang positif juga dapat mengarah kepada kekecewaan jika harapannya tersebut tidak berjalan lancar. Kemudian, pemikiran yang terlalu positif juga terkadang membawa seseorang terlalu aktif tanpa memedulikan kondisi tubuhnya yang sedang sakit, hal ini terjadi baik pada penderita HIV (Sephton & Spiegel, 2003, dalam Segerstrom, 2005) maupun kanker (Nes et al., 2005, dalam Segerstrom, 2005). Meskipun demikian, hasil akhir juga menyatakan dengan jelas bahwa pikiran dan harapan yang positif berdampak baik terhadap imun atau kondisi tubuh seseorang, terutama dalam penelitiannya terhadap penderita HIV dan kanker

Ketika membaca artikel tersebut, saya menyadari bahwa tubuh yang sakit saja bisa menjadi lebih baik hanya dengan pikiran dan perasaan yang positif. Walaupun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat efek negatif jika pemikiran dan perasaan tersebut dilakukan secara berlebihan dalam kondisi tubuh yang sakit. Lantas, muncul pertanyaan. Jika kita tidak sedang sakit, apakah efeknya akan jauh lebih kita rasakan? Bagi saya sendiri, kemungkinan jawabannya iya karena saya sendiri sudah sering mengalami atau melihat peristiwa yang menjadi pembanding antara efek positif dan negatif. Hal ini tidak hanya memengaruhi relasi dengan diri sendiri, tetapi juga berdampak terhadap relasi sosial. 

Tidak jarang saya menemukan contoh-contoh luar biasa bagaimana perasaan dan pikiran positif yang kecil dapat mempengaruhi suatu hal yang besar. Tantangannya sendiri lebih kepada apakah kita tetap mampu untuk setia berpikir positif walaupun dilanda banyak hal negatif? Kalau kamu tertarik, mungkin kita bisa mulai mempersiapkan diri kita dengan langkah kecil terlebih dahulu secara perlahan. Siapa tahu di kemudian hari kita sudah menumpuk banyak hal positif. 

Terima kasih sudah membaca, salam hangat.


Penulis
Diovandy Christama Putra Matulessy (Asisten P2TKP Angkatan 2021)

Penyunting
1. Bernadeta Karisma Putri (Asisten P2TKP Angkatan 2022)
2. Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021)


Daftar Acuan
Segerstrom, S. C. (2005). Optimism and immunity: do positive thoughts always lead to positive effects? Brain, behavior, and immunity, 19(3), 195-200. https://doi.org/10.1016/j.bbi.2004.08.003

Sumber Gambar
Ni Wayan Putri Aprillia (camera-person)
Diovandy Christama Putra Matulessy (figure in frame dan editing)