Kesepian, Kesendirian, dan Memahami Diri
Saya pernah berbincang dengan seseorang di waktu yang lalu. Ia berkata begini, “Semakin kita dewasa, semakin kita menjadi individualis lalu dipandang sebagai orang yang kesepian. Dalam artian, perjalanan hidup kita memang bisa membentuk kepribadian kita.” Saat itu, saya belum benar-benar memahami makna kalimat yang dikatakan orang tersebut, ya karena saya memang belum menyadari bahwa saya sedang menjalani proses kehidupan menuju menjadi manusia dewasa. Lalu, kesepian itu sebetulnya apa, sih?
Menurut Beck dkk. dalam Myers (2012), kesepian adalah adanya perasaan terasing dari sebuah kelompok, perasaan tidak dicintai oleh sekitar, ketidakmampuan untuk membagikan kekhawatiran pribadi dan menjadi berbeda, serta terpisah dari orang-orang sekitar. Kesepian juga biasanya menjadi tanda adanya perasaan sakit karena merasa sendirian (Remhof, 2018). Berdasarkan dua definisi tersebut, sehari-hari ini, saya kembali merenungkan alasan pernyataan tersebut keluar dari mulut orang tersebut bahwasanya memang berdasar. Memang benar adanya, tetapi mungkin hanya untuk orang tersebut dan diri saya sendiri. Mungkin pula ada individu lain yang turut merasakan atau memikirkan hal yang sama. Menjadi individu dewasa tidak lagi hanya persoalan usia yang bertambah dari tahun ke tahun. Tidak lagi hanya perihal sudah berapa lama seorang individu hidup di bumi. Beberapa faktor yang membentuk seseorang menjadi seorang individu dewasa, seperti tuntutan peran yang semakin banyak, serta pengalaman hidup yang beragam dan berbeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
Selama menjalani proses menuju menjadi manusia dewasa, timbul perasaan ingin menyendiri atau tidak ingin terlibat dalam hal-hal yang melelahkan secara emosional. Pikiran untuk berdiam sendiri di dalam kamar dengan berbagai kegiatan diri sendiri yang tidak mengusik atau bersinggungan dengan manusia lain. Hal yang tidak semestinya dilakukan oleh makhluk yang dilabeli sebagai makhluk sosial, tetapi terkadang hal tersebut menjadi opsi untuk menenangkan diri sendiri. Menjauh sejenak tidak akan membuat label manusia sebagai makhluk sosial sirna begitu saja. Hal-hal ini tentu berbeda dengan definisi kesepian yang sudah dijelaskan sebelumnya. Perilaku-perilaku tersebut dilakukan sebagai sebuah pilihan. Tidak ada perasaan sakit ketika memutuskan untuk melakukannya.
Meskipun demikian, ada saja manusia lain yang memandang atau menganggap perilaku tersebut timbul dari adanya perasaan kesepian. Ada pula yang menganggap itu bagian dari ketidakmampuan diri untuk menjalin relasi. Sedikit benar, tetapi tidak sepenuhnya betul juga. Dibandingkan harus dilabeli sebagai orang yang kesepian, mungkin lebih bijak dan terdengar humanis bila memberi label dengan sebutan orang yang memilih untuk sendiri. Kesendirian bagi diri saya sendiri tidak jauh berbeda dari hari-hari yang saya jalani sebagai seorang individu. Menjalani kegiatan yang sudah seharusnya saya lakukan sebagai sebuah kewajiban dan pilihan, seperti berkuliah, bekerja, lalu pulang dan beristirahat.
Pada suatu waktu, saya kemudian memahami alasan saya dilabeli sebagai seorang individu yang terlihat kesepian adalah karena di beberapa waktu yang tidak semestinya, saya malah enggan untuk bergabung bersama manusia lain. Untuk berbagi cerita atau sekedar mendengarkan orang lain bercerita. Padahal, memang sedang tidak dalam kondisi yang oke saja untuk bercengkrama. Tidak apa-apa juga, kan persepsi tiap orang itu berbeda-beda—he he.
Pada sisi lain, menjadi individu yang kerap dilabeli sebagai orang yang kesepian membuat saya bersyukur karena cukup dapat memahami apa yang benar-benar saya butuhkan dan inginkan. Tentu, butuh dan ingin itu dua hal yang berbeda. Tidak buruk juga, dengan begitu, saya tidak perlu menjelaskan secara terperinci perihal yang saya rasakan sebenarnya. Juga tidak perlu takut karena dituntut untuk menjelaskannya. Ya, walau saya tahu dan sadar juga, sewaktu-waktu manusia memang butuh individu lain untuk sekedar berbagi cerita atau bertukar pendapat. Well, menjadi individu yang memilih untuk sendiri itu berbeda dengan pemahaman perihal individu yang merasa kesepian.
Penulis
Monica Pascalita Apriana Ngamput (Asisten P2TKP Angkatan 2021)
Penyunting
1. Bernadeta Karisma Putri (Asisten P2TKP Angkatan 2022)
2. Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021)
Daftar Acuan
Myers, David G. (2012). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Remhof, J. (2018). Nietzsche on loneliness, self-transformation, and the eternal recurrence. The Journal of Nietzsche Studies, 49(2), 194-213. https://doi.org/10.5325/jnietstud.49.2.0194.
Sumber Gambar
Freemind, S. (2018). Woman standing on grass field photo [Stock Image]. Unsplash. https://unsplash.com/photos/frq5Q6Ne9k4.