Keluarga Toxic: Hadapi atau Hindari?
Keluarga adalah lingkungan pertama dan terkecil yang dimiliki oleh seorang individu. Peran sebuah keluarga merupakan hal yang esensial untuk perkembangan, khususnya perkembangan anak. Lestari (2012) memaparkan bahwa keluarga merupakan suatu hubungan yang menyediakan fungsi-fungsi instrumental mendasar dan ekspresif bagi anggotanya. Keluarga yang sehat memiliki beberapa karakteristik, antara lain kasih sayang antar-anggota keluarga, dukungan, komunikasi yang terbuka, adanya perasaaan aman dan saling memiliki, serta perasaaan dihargai, dihormati, percaya diri, dan dianggap penting (Saskara & Ulio, 2020). Sayangnya, pada keluarga yang toxic, hal-hal tersebut tidak ada.
Figur otoritas memiliki peran yang penting dalam menunjang sehat atau tidaknya sebuah keluarga. Forward dan Buck (2002) memaparkan bahwa dalam keluarga yang toxic, terdapat beberapa peraturan tak tertulis dan kepercayaan yang terpusat pada orang tua. Kepercayaan tersebut misalnya anak harus menghormati orang tua dalam situasi dan kondisi apapun, anak tidak boleh marah sama sekali, anak tidak didengarkan, serta cara melakukan sesuatu yang berpatok pada orang tua—jika tidak, maka cara tersebut dianggap keliru.
Terdapat pula beberapa contoh peraturan tak tertulis dalam keluarga toxic, yaitu anak tidak boleh menentukan suatu keputusan ataupun jalan yang ingin dipilihnya sendiri, anak tidak boleh menjadi independen, tidak boleh lebih bahagia dari orang tua, dan sebagainya. Dalam hal ini, anak bersifat wajib untuk mengikuti kepercayaan dan peraturan tersebut—sebab jika tidak, maka orang tua akan memberikan reaksi-reaksi negatif seperti hukuman ataupun menunjukkan perilaku tidak menyayangi anak. Ketika terdapat absensi dari beberapa karakteristik keluarga sehat dan kepercayaan serta aturan tak tertulis seperti ini, figur otoritas sejatinya telah mengembangkan sebuah toxic parenting dalam keluarganya.
Sebagai anak yang berada dalam pola keluarga demikian, tentu akan mengalami dampak-dampak pada kesehatan mental mereka, seperti stres, menjadi rentan, kesulitan mengelola emosi, dan lain-lain. Dengan melihat sudut pandang sebagai anak, Martin (2018) menjelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menghadapi keluarga yang toxic, salah satunya adalah memberi batasan. Batasan penting untuk setiap hubungan yang sehat—yang membantu untuk menginformasikan harapan serta menetapkan sejauh mana orang lain, termasuk orang tua, dapat memperlakukan diri kita. Sebagai seorang anak, tentu ada rasa kurang nyaman ketika mengomunikasikannya, tetapi yang perlu diperhatikan dan dijadikan fokus adalah mengenai perasaan saling menghormati yang perlu dibangun sebagai tujuan dari hal ini.
Hal yang kedua dapat dilakukan setelah menetapkan batasan adalah menyadari keterbatasan, yakni orang tua. Anak dapat membayangkan kata “terbatas” pada orang tua mereka. Semakin anak melihat bahwa orang tua memiliki keterbatasan, maka semakin kecil pula kemungkinan anak untuk menerima dan menginternalisasi kata-kata orang tua secara pribadi (Bernstein, 2021). Dengan mengetahui orang tua memiliki keterbatasan juga akan membantu anak untuk mengetahui nilai dirinya dalam membuat keputusan yang tidak semata-mata merupakan hasil arahan orang tua. Selanjutnya, mengetahui exit strategy. Strategi untuk keluar atau pergi dari permasalahan penting untuk dimiliki. Oleh karena fokus utama yang sifatnya berada pada figur otoritas, sering kali membuat percakapan tidak terjadi dua arah dan keadaan semakin memburuk. Penting untuk mengetahui bahwa anak tidak wajib untuk bertahan sebagai representasi sikap sopan yang menyenangkan hati orang tua (Martin, 2018).
Pada intinya, anak memiliki keputusan atas pilihan tindakan yang mereka ambil ataupun perilaku yang mereka lakukan, entah menghadapi dengan memberi batasan dan memahami keterbatasan, maupun menghindarinya dengan exit strategy. Keputusan ini sepenuhnya berada di tangan anak—sebab setiap individu memiliki pilihan mengenai hubungan seperti apa yang akan mereka jalin. Sosok pertama yang perlu diutamakan adalah diri sendiri dan—dalam sudut pandang tulisan ini—sosok tersebut adalah anak dari keluarga toxic yang didominasi oleh figur otoritas (misalnya orang tua).
Daftar Acuan
Bernstein, J. (2021, Januari). If you have toxic parents, read this. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/liking-the-child-you-love/202101/if-you-have-toxic-parents-read.
Forward, S., & Buck, C. (2002). Toxic parents: Overcoming their hurtful legacy and reclaiming your life. Bantam Book.
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga (Cet. 2). Kencana. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/
Martin, S. (2018, Agustus). 10 tips dealing with your toxic parents. PsychCentral. https://psychcentral.com/blog/imperfect/2018/08/10-tips-for-dealing-with-your-toxic-parents.
Saskara, I. & Ulio. (2020). Peran komunikasi keluarga dalam mengatasi “toxic parents” bagi kesehatan mental anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5 (2). eISSN: 26158396
Sumber Gambar:
https://unsplash.com/photos/gq5PECP8pHE
Penulis:
Gusti Ayu Made Dwi Aprillia Dewi (Alumni Asisten P2TKP Angkatan 2020 & Alumni Fakultas Psikologi 2018, Universitas Sanata Dharma)
Penyunting:
Putu Maharani Karuna Citra (Asisten P2TKP Angkatan 2021 & Mahasiswa Fakultas Psikologi 2019, Universitas Sanata Dharma)