Artikel,  Karya Tulis

Merendah untuk Meroket: Sebuah Ketidakcukupan yang Disalahartikan

Wah keren ya kemarin abis menang lomba!

Enggak, kok. Lucky aja

Dih, merendah untuk meroket banget?!

 

Percakapan di atas mungkin pernah beberapa kali kita dengar sebagai pujian yang di dalamnya terselip makna berkonotasi negatif. Ya, merendah untuk meroket alias Humblebragging merupakan julukan atas sebuah sikap akan kebanggaan yang dibungkus dengan rasa rendah hati (Whitbourne, 2018). Jeremy Dean (2018) menganggap bahwa fenomena ini merupakan keadaan ketika individu ingin menunjukkan dan mengonfirmasi pencapaian (achievement) tanpa terlihat bahwa mereka sedang pamer (Mawar, 2019). Padahal, belum tentu bermakna demikian apabila ditilik dari sudut pandang subjek yang disangka melakukan tindakan tersebut. Beberapa orang terkadang memang merasa bahwa penghargaan yang dicapainya hanya sekadar sebuah kebetulan yang menguntungkan. Beberapa lainnya merasa bahwa dirinya tak cukup pantas untuk mendapat penilaian yang baik. Tanpa memedulikan seberapa tinggi prestasi maupun pencapaian yang diraih, selalu ada perasaan tidak pantas, perasaan tidak cukup, dan merasa diri sebagai penipu (Kirnandita, 2017). Hal ini disebut dengan Impostor Syndrome.

Istilah Impostor Syndrome dicetuskan pertama kali oleh Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes pada tahun 1978. Individu dengan impostor syndrome cenderung mengabaikan kemampuan mereka sendiri dan memiliki ketakutan akan kegagalan di masa depan. Kegagalan dianggap sebagai kurangnya kemampuan dan kondisi keberhasilan justru dikaitkan dengan sesuatu yang sifatnya sementara, seperti keberuntungan. Mereka juga cenderung merasa bahwa orang lain terlalu menganggap diri mereka lebih pintar dan kompeten dari sebenarnya dan merasa orang lain melebih-lebihkan kemampuannya dalam mencapai prestasi. Padahal, hal ini semata-mata terjadi karena mereka yang mengabaikan kemampuan pribadi dan merasa sebagai penipu (Clance & Imes, 1978). Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dalam diri bahwa sosok penipu tersebut akan terungkap, sehingga tidak layak lagi untuk mendapatkan penghargaan, perhatian, maupun pujian (Scarlet, 2020).

Usaha untuk mengatasi perasaan pada mereka yang terklasifikasi sebagai seorang Impostor Syndrome tentu membutuhkan suatu strategi. Salah satu yang dapat ditawarkan adalah Mindfulness. Mindfulness merupakan kemampuan untuk hadir sepenuhnya serta menyadari apa yang dilakukan dan di mana saat ini berada (Mindful Society, 2020). Seseorang yang mengalami Impostor Syndrome perlu menyadari bahwa saat ini Ia telah meraih suatu pencapaian yang tentunya membutuhkan usaha dalam prosesnya hingga berada pada posisi “sudah meraih pencapaian”. Mereka juga perlu menyadari bahwa pengalaman mengenai penilaian yang telah diinternalisasi dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak merasa cukup ini terjadi di masa lalu dan bukan di masa kini, sehingga self-esteem yang sempat rendah serta kebutuhan pemenuhan diri atas standar yang terlalu tinggi (perfeksionis) dapat diredam secara perlahan (Clance & Imes, 1978). Dalam proses untuk hadir dan menyadari sepenuhnya bahwa ini akan membawa pada penerimaan diri sesuai kondisi saat ini yang ternyata lebih besar dari bayangan sebelumnya.

Pada akhirnya, individu yang dirasa bersikap “merendah untuk meroket” tidak serta-merta dapat dianggap demikian. Kemungkinan terdapat sesuatu hal yang ternyata disimpan, yakni perasaan tidak cukup dalam diri. Sebagai sudut pandang pemberi label, ada baiknya untuk menahan asumsi negatif dan tidak sembarang menyalahartikan. Sedangkan, ada baiknya untuk menerapkan mindfulness -sebuah upaya untuk menyadari apa dan di mana posisi saat ini serta mengintegrasikan antara kesadaran dan realita, sehingga rasa tidak cukup secara perlahan dapat terkikis- sebagai sudut pandang yang mungkin diberi label.

 

DAFTAR ACUAN

 

Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The impostor phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241–247.
DOI: 10.1037/h0086006

Kirnandita, P. (2017, 22 Juli). Impostor syndrome, gejala si cerdas yang tak merasa cukup. Tirto.id. https://tirto.id/impostor-syndrome-gejala-si-cerdas-yang-tak-merasa-cukup-cta2.

Mawar, N. (2019, 30 September). Merendah untuk meroket di media sosial: Perlu-kah?. Sehatmental.id. https://sehatmental.id/merendah-untuk-meroket-di-media-sosial-perlu-kah/.

Mindful Society. (2020). Get started with mindfulness. Mindful Society. https://www.mindful.org/meditation/mindfulness-getting-started/.

Scarlet, J. (2020, 2 Oktober). I am not good enough: Managing imposter syndrome. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-real-superheroes/202010/i-am-not-good-enough-managing-imposter-syndrome.

Whitbourne, S. K. (2018, 31 Maret). Why people hate humblebragging. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/fulfillment-any-age/201803/why-people-hate-humblebragging.

https://www.freepik.es/vector-gratis/fondo-logro-compania_894068.htm

 

Penulis : Gusti Ayu Made Dwi Aprillia Dewi

Penyunting : Klara Ardisa Prittadewi