Karya Tulis,  Podjok Merenung

Kenapa Jadi Seperti Ini? Besok Bagaimana?

“Yesterday is history, tomorrow is a mystery, today is a gift of God, which is why we call it the present.” ― Bill Keane

Saat itu sahabat saya menatap ke langit-langit kamar, tersenyum, lalu matanya mulai berkaca-kaca. “Sudah dua tahun berlalu, dan dua kali pula gagal. Entahlah bagaimana dengan tahun ini”, ujarnya.

Tidak hanya kegagalan di masa lalu, namun ketidakpastian akan masa depan seringkali memenuhi pikiran kita. Saya secara pribadi seringkali merasa malu, kecewa, dan kesal dengan pilihan yang saya ambil. Berlarut-larut saya menghabiskan malam hanya untuk meratapi penyesalan dan meragukan masa depan. Bukan hanya semalam, namun di malam-malam berikutnya waktu terbuang percuma hanya untuk menikmati keresahan tersebut.

Menunda pekerjaan lain, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak ada harapan, dan banyak hal lain menjadi bentuk hukuman kepada diri sendiri atas masa lalu. Lantas apakah diri lega dan bahagia kemudian? Tidak. Penghukuman seperti itu hanya menenangkan bukan memenangkan diri dari penyesalan.

Waktu adalah pelaku hipnotis berbahaya.

Kalimat tersebut entah bagaimana mengisi penuh pikiran, dan menyadarkan saya saat itu untuk menyadari kenyataan. Memang terlihat bahwa “waktu” adalah korban atas segala kesia-siaan, namun sadarkah bahwa sesungguhnya masa lalu, kini, dan masa depan adalah permasalahan waktu? Jadi, bisakah kita menjawab pertanyaan “Kenapa jadi seperti ini?

Besok bagaimana?” dengan mengatakan bahwa “Mungkin saya harus meningkatkan usaha atau mungkin saja ada hal lain yang dapat saya capai dengan keadaan dan kemampuan yang saya miliki saat ini”.

Lantas bagaimana dengan ketidakpastian di masa depan? Sederhananya, sahabat saya di tahun terakhir kesempatannya mungkin saja berhasil tanpa hambatan. Mengapa? Karena tahun demi tahun ia mengenali potensi tersebut dan terus mengejar batas kemampuannya. Lalu bagaimana jika kembali gagal dan menyesal di kemudian hari? Jawabannya pun dapat kita balikan dengan pertanyaan yang simple,

“Menyesali kegagalan atau menyesali sebuah usaha?”

Saya lebih memilih menyesali kegagalan. Ya, tentu karena itu hal yang sewajarnya. Namun seperti yang sebelumnya saya katakan, penghukuman seperti itu hanya menenangkan bukan memenangkan.

 

 

Penulis: Pandina Barsellina

Editor: Virenda Rut Techina Pandaleke