Universitas Yesuit, Spiritualitas Ignasian
Beberapa tahun terakhir, Universitas Sanata Dharma giat menyelenggarakan hibah pembelajaran berparadigma pedagogi Ignasian dan mendorong para pengampu matakuliah untuk menerapkannya dalam pengajaran. Penulis mendapatkan kesempatan istimewa untuk menghadiri sosialisasi-sosialisasi untuknya baik sebagai peserta maupun sebagai pegiat spiritualitas Ignasian. Kelembaman peserta sosialisasi untuk menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam pengajaran mengalami penurunan. Meskipun demikian, penyelenggara perlu menanggapi secara serius kesulitan-kesulitan sebagian pendidik setelah mengimplementasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam flipped learning, flipped classroom.
Kebanyakan pakar spiritualitas Ignasian kurang clara et distincta terhadap identitas Universitas Sanata Dharma dalam showcasing. Sanata Dharma universitas Yesuit yang merengkuh spiritualitas Ignasian. Inspirasi yang meresapi sekolah Yesuit melalui Serikat Yesus
tidak mengesampingkan mereka yang bukan anggotanya. Sungguhpun sekolah biasanya dinamai sekolah Yesuit, visilah yang pantas “Ignasian”, dan visi itu [Ignasian] tak pernah menjadi milik eksklusif anggota-anggota Serikat [Yesus]. Ignasius Loyola adalah seorang awam ketika mengalami panggilan Allah yang kemudian dilukiskannya dalam Latihan Rohani.
Residu kelembaman sebagian pendidik masih menggelayuti penyelenggaraan hibah flipped learning berbasis paradigma pedagogi Ignasian di universitas Sanata Dharma. Revolusi industri 4.0 yang melahirkan generasi baru Z dan Alpha disruptif terhadap pengajaran yang infrastrukturnya pradigital. Menyitir Marc Prensky, “pembelajar sekarang [homo sapiens digital] bukan lagi orang-orang yang [penyusun] sistem pendidikan kita mendesain pengajarannya untuk mereka.” Sesungguhnya irupsi generasi pembelajar Z telah mendorong sangat jauh disrupsi kelas dari pradigital menjadi flipped. Dorongan menuju flipped learning, bahkan online learning, menjadi penuh ketika Universitas menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian.
Salah satu halangan, barangkali yang terbesar, dalam mempraktikkan flipped learning adalah kelembaman pribadi pendidik, komunitas akademik, bahkan institusi pendidikan. Kelembaman ini juga terdapat di Universitas Sanata Dharma yang penulis perlu riset lebih lanjut untuk mengukurnya secara akurat. Jauh dari menempelkan spiritualitas Ignasian pada flipped classroom atau memberikan justifikasi spiritual atasnya, paparan ini mengeksplorasi kontribusi spiritualitas Ignasian dalam pengarusutamaan (mainstreaming) flipped learning. Spiritualitas Ignasian mengakselerasi transisi dari model pengajaran pradigital ke flipped classroom, lebih lanjut inkorporasinya secara penuh di universitas Sanata Dharma.
Jangkauan dan Keterbatasan
Karena semua langkah dalam paradigma pedagogi Ignasian mendapatkan bagian pembahasan, penjelasan masing-masing langkah barangkali terkesan kurang komprehensif bagi para pendidik yang telah memiliki literasi dalam spiritualitas Ignasian. Pendidik yang sudah memiliki literasi dalam spiritualitas Ignasian bukan sasaran utama tulisan ini. Pembaca yang penulis bayangkan dalam tulisan ini pendidik baru di universitas Sanata Dharma yang antusias untuk mulai menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam pengajaran flipped, tetapi level pengetahuan tentangnya masih awam atau novis. Perlu tulisan-tulisan lain untuk pengayaan masing-masing langkah paradigma pedagogi Ignasian secara lebih komprehensif.
Struktur Tulisan
Bagaimana flipped learning, flipped classroom dalam paradigma pedagogi Ignasian? Dibimbing roh disruptif era revolusi industri 4.0 dan irupsi pembelajar generasi Z, penulis mengeksplorasi kontribusi pedagogi spiritualitas Ignasian dalam mengakselerasi praktik pengajaran flipped. Membaca secara apresiatif teks Latihan Rohani St. Ignasius Loyola dan dokumen pendidikan Serikat Yesus tentang paradigma pedagogi Ignasian, penulis mencari inspirasi untuk mendalami konteks, pengalaman, aksi, refleksi dan evaluasi. Pada akhir tulisan, penulis menyampaikan usulan konkrit untuk mengakselerasi pendidik muda di universitas Sanata Dharma menginkorporasikan paradigma pedagogi Ignasian dalam pembelajaran, ruang kelas flipped.
Generasi Pembelajar Z
Mark McCrindle membantu kita dengan mengartikulasikan tujuh faktor yang mendefinisikan generasi Z. Mereka “demographically changed, generationally defined, digital integrators, globally focused, visually engaged, educationally reformed, dan socially defined.” Generasi Z mengubah landskap demografi. Jauh dari sekedar signifikan secara kuantitas, bonus demografi juga memiliki signifikansi secara kualitas. Mereka mapan secara finansial, melek secara teknologi, terkoneksi secara global, dan terdidik secara formal. Melampaui “digital transactors”, mereka “digital integrators.” Mereka memiliki fokus global dalam musik, film, selebritis, mode, kuliner, hiburan daring, tren sosial, dan komunikasi.
Lebih lanjut, Mark McCrindle dalam The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations, menengarai bahwa ketika menyampaikan gagasan, generasi Z lebih memilih media video daripada tulisan. Pesan semakin berbasis gambar dan tanda. Logo dan merk semakin berbasis warna dan gambar daripada kata dan frasa. Terjadi pergeseran dari kuliah sebagai bekal untuk karir menjadi pembelajar sepanjang hidup. Guru bergeser perannya dari pengajar menjadi fasilitator. Fokus dalam pembelajaran bergeser dari konten ke keterlibatan. Penyampaian formal di kelas bergeser menjadi interaktif. Persahabatan sebaya sentral dalam kehidupan generasi Z.
Flipped learning merupakan transisi menuju online learning. Masa depan pembelajaran adalah daring. Kelas tradisional telah berlangsung sejak Abad Pertengahan. Kelas menjadi lokasi interaksi daripada transfer informasi. Pembelajar dapat memperoleh informasi secara daring, yang formatnya semakin bergeser dari teks ke video. Yang penting dalam pembelajaran adalah keterlibatan mendalam dalam mengatasi problem riil. Beragam pedagogi baru menekankan pembelajaran aktif, seperti berbasis masalah (problem based learning), berbasis proyek (project-based learning), berbasis riset eksploratif (inquiry-based learning), dan berbasis kerja kelompok (team-based learning).
Tantangan akademik dapat meredupkan entusiasme pendidik, komunitas pendidik, dan institusi pendidikan dalam mengimplementasikan flipped classroom, bahkan menimbulkan frustasi. Pejabat institusi pendidikan berpikir bahwa dengan pengurangan sebagian kuliah tatap muka menjadi daring, lebih banyak waktu dapat komunitas pendidik alokasikan untuk riset. Namun, institusi pendidikan seringkali kurang menyadari bahwa waktu yang para pendidik investasikan untuk meng-update dan menyampaikan materi pengajaran jauh lebih sedikit daripada waktu yang mereka alokasikan untuk menyusun, dan menyampaikan materi daring dan aktivitas pembelajaran di kampus. Pengajaran flipped membutuhkan usaha ekstra.
Meskipun berfokus pada kelembaman pendidik, komunitas pendidik, dan institusi pendidikan, tantangan mempraktikkan flipped learning juga berasal dari mereka yang masuk perguruan tinggi sebagai mahasiswa-mahasiswi. Banyak dari mahasiswa-mahasiswi baru menggunakan pendekatan “surface learning” yang sangat berorientasi pada nilai rapor (grade oriented). Jenis mahasiswa-mahasiswi ini mengalami kegegaran ketika pendidik mewajibkan mereka untuk menyiapkan materi pembelajaran sebelum memasuki ruang kuliah (pre-learning) dan terlibat dalam konstruksi pengetahuan melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran kolaboratif yang berlangsung di kampus (on-campus collaborative learning activities).
Allah Seperti Guru Sekolah
St. Ignasius Loyola (ⴕ1491-1556), seorang pedagog spiritual, mengalami bahwa Allah hadir kepadanya seperti seorang guru sekolah. Pada waktu itu, Allah memperlakukan dia “seperti seorang guru sekolah terhadap seorang anak. Ia memberikan pelajaran kepadanya. Entah karena dia begitu kasar dan bodoh, entah karena tidak ada orang yang mengajarnya, atau karena kemauan kuat yang diberikan Allah kepadanya untuk mengabdi kepadanya.” Gambaran hubungan Allah dan manusia latihan rohani pada zaman St. Ignasius Loyola ibarat relasi guru sekolah dan murid dapat membantu kita dalam mengimajinasikan secara kreatif interaksi antara pendidik dan pembelajar flipped pada era revolusi industri 4.0.
Pengajaran flipped menginkorporasikan konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi yang merupakan tahap-tahap dari paradigma pedagogi Ignasian. Pengajaran berlangsung dalam konteks tertentu. Pendidik menciptakan pengalaman yang berlangsung menyeluruh dalam kehidupan pembelajar. Pembiasaan refleksi dalam pengajaran di sekolah memfasilitasi pembelajar untuk mengolah pengalaman hingga kedalamannya. Formasi, lebih lanjut transformasi pembelajar dalam pembelajaran berlanjut dengan komitmen mereka untuk melibatkan diri dalam mengubah dunia sebagaimana Allah menghendakinya. Evaluasi pengajaran mencakup kemauan pendidik untuk melakukan modifikasi, bahkan perubahan.
Pada bagian awal tulisan, penulis telah mengartikulasikan konteks revolusi Industri 4.0 yang menciptakan disrupsi dalam masyarakat, revolusi teknologi digital yang menggegarkan dunia pendidikan, dan irupsi generasi pembelajar Z dan Alpha. Tentu para pendidik masih dapat melengkapi pembacaan penulis atas tanda-tanda zaman now yang relevan untuk mendesain flipped classroom yang tanggap zaman. Jika pendidik mengabaikan konteks, bahkan konteks-konteks tersebut, konten pengajaran kita akan mengalami ketimpangan, bahkan kehilangan pijakan. Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian, dari perspektif pembelajar, merupakan pembelajaran yang kontekstual.
Kami menyaksikan semangat orang muda yang merindukan perbaikan kehidupan. Orang-orang menikmati keindahan ciptaan dan berikhtiar untuk menemukan Allah dalam aktivitas sehari-hari. Sains, teknologi, dan ekonomi berkembang pesat; Banyak potensi untuk meningkatkan kualitas kehidupan di bumi. Namun, kami juga menyaksikan kekerasan, eksploitasi dan ketidakadilan brutal. Intoleransi relijius dan etnis, fundamentalisme dan diskriminasi menyerang martabat manusia, memburukkan ketidaksetaraan dan meminggirkan banyak orang secara sosial, terutama perempuan dan anak. Ketidakseimbangan dan degradasi lingkungan yang parah, diperburuk budaya membuang, meracuni dan mencemari planet bumi.[11]
Aktivitas pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian berpusat pada pembelajar. Alih-alih seragam, kegiatan dalam pengajaran sangat beragam sebagaimana St. Ignasius Loyola membayangkannya ketika berbicara tentang ragam aktivitas dalam Latihan Rohani. Aktivitas pengajaran dapat berlangsung baik di dalam maupun di luar kelas. Aktivitas di luar kelas setara pentingnya dengan kegiatan di dalam kelas. Ia terbuka terhadap bentuk kegiatan pembelajaran baru yang konteksual dengan zaman now. Pendidik perlu mengeksplorasi bentuk-bentuk aktivitas yang merangsang pembelajar untuk menjadi subyek aktif dalam pembelajaran. Tujuan pengajaran memandu pendidik dalam memilih aktivitas baik di dalam maupun di luar kelas.
Yang dimaksud dengan kata ‘latihan rohani’ ialah: setiap cara memeriksa hati, meditasi, kontemplasi, doa lisan dan batin, serta segala kegiatan rohani lainnya, yang akan dikatakan kemudian. Sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jauh, dan lari-lari disebut latihan jasmani, begitu pula dinamika latihan rohani setiap cara mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa lekat tidak teratur, dan selepasnya dari itu, lalu mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa kita.
Gambaran figur pemberi latihan rohani berikut aktivitas mendampingi pelaku retret juga inspiratif dalam pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian. Alih-alih kelimpahan pengetahuan, keberhasilan sebuah latihan rohani terletak dalam kemendalaman pelaku latihan rohani dalam merasakan dan mencecap kebenaran. St. Ignasius Loyola juga menekankan aktivitas latihan rohani “mengenyangkan dan memuaskan jiwa.” Pendidik perlu membuka ruang dalam pembelajaran untuk aktivitas pembelajar. Dalam perspektif Ignasian, rahmat Allah aktif bekerja dalam pelaku latihan rohani. Tantangan dalam pembelajaran bagi generasi pembelajar Z adalah ketercapaian tujuan dan kegembiraan (fun) pembelajar.
Yang memberikan cara dan garis besar meditasi atau kontemplasi harus menceritakan dengan seksama fakta-fakta kontemplasi atau meditasi. Hendaknya dia memaparkan tiap-tiap pokok dengan singkat dan ringkas. Adapun alasannya mengapa harus demikian ialah, bila yang berkontemplasi berpijak kuat pada cerita yang benar, lalu merenungkan dan merefleksikannya, dia mungkin akan menemukan sesuatu yang menyebabkan cerita itu menjadi sedikit lebih jelas dan dapat dirasakan. Hal itu mungkin timbul karena pemikiran sendiri, atau karena budi diterangi oleh rahmat Allah. Kalau demikian, akan lebih besar citarasa dan buah rohani, daripada jika pemberi latihan telah menjelaskan dan mengembangkan panjang lebar makna cerita itu. Karena bukan berlimpahnya pengetahuan, melainkan merasakan dan mencecap dalam-dalam kebenarannya yang memperkenyang dan memuaskan jiwa.
Sebagian pendidik yang mengikuti hibah pembelajaran berparadigma pedagogi Ignasian mengeluhkan beban ketika mengimplementasikannya dalam pengajaran. Mereka merasakan kesulitan untuk menyelesaikan semua langkah mulai dari konteks, pengalaman, aksi, refleksi, hingga evaluasi. Pemenuhan rangkaian langkah cenderung sangat mekanistis. St. Ignasius Loyola mendorong kreativitas pendamping latihan rohani untuk “tarik dan dorong” (push and pull) dalam dinamika dari satu minggu ke minggu-minggu berikutnya. Setelah melihat kondisi riil pembelajar secara mendalam, pendamping latihan rohani dapat menyesuaikan desain pembelajarn yang paling sesuai dengannya.
Latihan-latihan berikut hendaknya diberikan selama empat Minggu, sesuai dengan adanya empat bagian dalam latihan-latihan ….
Namun, itu tidak berarti bahwa setiap Minggu harus terdiri dari tujuh atau delapan hari. Karena mungkin dalam Minggu pertama ada yang lebih lambat mendapatkan apa yang dicari, yaitu rasa tobat, kesusahan, air mata atas dosa-dosa. Ada yang mungkin lebih rajin daripada yang lain, dan ada pula yang lebih dikacaukan dan lebih dicobai oleh bermacam-macam roh. Maka ada kalanya Minggu itu harus dipersingkat, ada kalanya harus diperpanjang.
…. Namun hendaknya seluruh Latihan Rohani berakhir kurang lebih dalam 30 hari.
Pada saat bersamaan, pendidik perlu awas terhadap godaan untuk segera melewati langkah-langkah pengajaran yang menurutnya membebani. Oleh karena itu, pendidik perlu kemampuan untuk membedakan menyingkat langkah pengajaran sebagai kustomisasi (customization) dari mengambil jalan pintas (shortcut) karena mengikuti godaan manusiawi menghindari, bahkan lari dari, kesulitan. Ia perlu bertekun, bahkan mengambil laku agere contra, ketika berhadapan dengan proses pembelajaran yang sangat sulit. Untuk melawan, bahkan mengalahkan, godaan musuh, St. Ignasius Loyola, menyampaikan pedoman yang pendamping latihan rohani perlu sampaikan kepada retretan mengenai durasi doa.
Yang memberi latihan harus menegaskan kepada yang berlatih bahwa ia harus bertekun selama satu jam dalam latihan atau kontemplasi yang diadakan 5 kali setiap hari. Hendaknya selalu diusahakan agar hati senantiasa puas bahwa dalam latihan itu ia telah bertekun selama satu jam penuh. Bahkan lebih baik latihan diperpanjang daripada diperpendek. Sebab biasanya musuh sangat berdaya-upaya, agar waktu kotentemplasi, meditasi atau doa diperpendek.
Sebagaimana sudah nampak dalam kajian terkait, pengajaran flipped menuntut pembaharuan diri baik pendidik maupun pembelajar. Kelembaman kedua belah pihak menghalangi proses pembelajaran. Pendidik menderita kemandegan ketika tertutup terhadap pengajaran flipped dan terhadap paradigma pedagogi Ignasian. Demikian pula, pembelajar mengalami kemandegan ketika mempertahankan paradigma pedagogi lama yang berorientasi pada nilai rapor. Kemandegan terjadi ketika mereka resisten terhadap roh paradigma pedagogi Ignasian yang menekankan kemandirian belajar dan eksplorasi hingga tapal batas. St. Ignasius Loyola mendorong retretan untuk menanggalkan cinta, kehendak, dan kepentingan diri.
Bagi yang akan menjalani Latihan Rohani sangat berguna, bila dia masuk dengan jiwa besar dan hati rela berkorban untuk Pencipta dan Tuhannya, serta mempersembahkan kepada-Nya, seluruh kehendak dan kemerdekaannya, agar Keagungan ilahi mau mempergunakan pribadi dan segala miliknya menurut kehendak-Nya yang mahakudus.
Karena tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam segala perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak dan kepentingan diri.
Flipped classroom berparadigma pedagogi Ignasian mendorong kemandirian pembelajar. Tanpa paksaan dari pendidik, mereka melakukan studi pribadi, eksplorasi kreatif dan memiliki kemampuan refleksif. Pertumbuhan ke arah kematangan dan kemandirian yang perlu bagi bertambahnya kebebasan bergantung pada “partisipasi aktif, lebih dari hanya menerima secara pasif. Langkah-langkah yang mengarah kepada partisipasi aktif menyangkut studi pribadi, kesempatan untuk menemukan sendiri dan kreativitas serta sikap refleksif. Tugas guru adalah menolong siswa menjadi pelajar yang aktif sendiri, untuk menerima tanggung jawab atas pendidikannya sendiri.”
Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian memfasilitasi eksplorasi pembelajar hingga tapal batas untuk sampai pada kebenaran, lebih lanjut Sang Kebenaran. Kehadiran pendidik jangan sampai malahan menjadi halangan bagi pembelajar dalam mengalami perjumpaan tanpa rintangan dengan Sang Kebenaran. Keunggulan akademik pendidik dalam pembelajaran hendaknya jangan sampai menggeser sentralitas pembelajaran dari pembelajar, apalagi kemudian menciptakan ketergantungan pembelajar kepadanya. Posisi pendidik mengalami desentralisasi dari yang sebelumnya menjadi sumber utama, bahkan pemilik monopoli, pengetahuan.
Akan tetapi selama latihan rohani ini, lebih berguna dan jauh lebih baik bila, dalam mencari kehendak ilahi, membiarkan Pencipta dan Tuhan secara pribadi mewahyukan Diri kepada jiwa yang bakti dan menyalakannya dengan cinta kasih dan pujian-Nya, serta membuka hatinya untuk menempuh jalan, dimana selanjutnya dia dapat lebih baik mengabdi Tuhan. Maka pembimbing latihan jangan condong atau menyatakan kecenderungannya ke arah ini atau itu; tetapi hendaknya dengan tetap tinggal di tengah bagai jarum neraca, mempersilahkan Pencipta langsung bertindak pada mahluk-Nya, dari mahluk langsung pada Pencipta dan Tuhannya.
Sebagaimana Latihan Rohani, pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian mendorong pendidik untuk melakukan kustomisasi sesuai konteks. Pembelajaran jangan sampai membebani pembelajar. Demikian pula, pembelajaran jangan sampai kehilangan manfaat bagi kehidupan pembelajar. Kustomisasi sesuai konteks mendorong pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berdasar proyek, pembelajaran berfondasi eksplorasi. Merupakan salah satu faktor yang mendefinisikan generasi pembelajar Z, pendidik menyadari sentralitas persahabatan sebaya sehingga pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian mendorong kolaborasi antarpembelajar.
Latihan Rohani harus disesuaikan dengan keadaan mereka, yang berkehendak melakukannya, yaitu umur, pendidikan dan bakat-kemampuan mereka. Jadi kepada orang yang kemampuan kodratinya kecil atau lemah fisiknya, janganlah diberi latihan-latihan yang tidak mudah dapat ditanggungnya, atau tak bermanfaat baginya. Demikianlah, setiap orang hendaknya diberi latihan-latihan yang lebih menolong dan lebih berguna sesuai dengan kehendak mereka untuk menyediakan diri.
Relasi interaktif berlangsung antara pendidik dan pembelajar. Alih-alih hubungan berlangsung monologis, hubungan keduanya sangat dialogis. Pendidik dan pembelajar memperkaya satu sama lain dalam pembelajaran. Pembelajar memberikan sesuatu kepada pendidik. Kesan sepintas barangkali muncul dalam benak kita bahwa teks Latihan Rohani seperti berikut menempatkan pendidik dalam posisi sentral perlu ketika berbicara mengenai pembelajar sebagai insan yang bodoh, tidak memiliki ilmu, perlu klarifikasi. Teks-teks lain dalam Latihan Rohani St. Ignasius Loyola menekankan sentralitas retretan dan kolaborasi antarmereka. Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian memandang pembelajar sebagai insan berpengetahuan.
Cinta terwujud dalam saling memberi dari kedua belah pihak, artinya: yang mencintai memberi dan menyerahkan kepada yang dicintai apa yang dimiliki, atau sebagian dari milik atau yang dapat diberikan, begitu pula sebaliknya, yang dicintai kepada yang mencintai. Jadi, bila yang satu punya ilmu, dia memberi ilmu itu kepada lainnya yang tak punya, begitu juga mengenai kehormatan dan kekayaan. Demikian pula sebaliknya, yang lain itu terhadap dia.
Pengajaran flipped dengan paradigma pedagogi Ignasian memandang mahasiswa-mahasiswi sebagai pembelajar sepanjang hidup. Ia mendorong pembelajaran tanpa putus. Momen wisuda bukan waktu untuk berhenti dari pembelajaran. Hasrat untuk belajar mendorong mereka untuk melanjutkan belajar setelah kelulusan. Setelah wisuda, mereka melanjutkan pembelajaran baik melalui jalur pendidikan formal lebih lanjut maupun belajar secara mandiri. Mereka menjalani pembelajaran sepanjang usia dengan kegembiraan. Oleh karena itu, pendidik flipped berparadigma pedagogi Ignasian mendorong pembelajar lebih jauh dari sekedar belajar. Ia mendorong pembelajar untuk “learn how to learn.”
Karena pendidikan adalah proses sepanjang umur, pendidikan Yesuit berusaha membangkitkan kegembiraan dan hasrat untuk belajar, yang tetap ada, juga sesudah tamat sekolah. “Bahkan yang lebih penting dari formasi yang kita berikan adalah kemampuan dan minat untuk meneruskan formasi mereka: itulah yang perlu kita tanamkan. Belajar itu penting, yang tetap jauh lebih penting adalah mempelajari cara belajar ingin belajar terus selama hidup.”
Refleksi mendapatkan ruang istimewa dalam dinamika Latihan Rohani. Pentingnya refleksi sangat nampak dalam alokasi waktu seperempat jam dalam perbandingan dengan aktivitas latihan rohani selama satu jam. Perbandingan antara waktu latihan rohani dan refleksi atasnya adalah 4:1. Refleksi menjadikan pembelajaran tidak jatuh menjadi sekedar aktivisme. Ia memungkinkan pembelajaran menjadi aktivitas bermakna. Jauh dari mencukupi bahwa aktivitas pembelajaran berlangsung produktif baik bagi pembelajar dan pendidik. St. Ignasius Loyola memandang refleksi sebagai aktivitas “mengambil buah rohani.” Aktivitas pembelajaran dalam paradigma pedagogi Ignasian kriterianya fruitfulness daripada productivity.
St. Ignasius Loyola mendorong pelaku retret Ignasian pada bagian akhir Latihan Rohani untuk sampai pada kesadaran bahwa “cinta harus diwujudkan dalam perbuatan daripada diungkapkan dalam kata-kata.” Pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian tidak pernah berhenti pada pemerolehan pengetahuan mendalam, bahkan pemikiran kritis sekalipun, oleh pembelajar. Pengetahuan mendalam dan pemikiran kritis mengefektifkan pembelajar pada komitmen, lebih lanjut praksis, keadilan bagi semua ciptaan ekologis. “Pusat pendidikan sekolah Yesuit adalah pendidikan ke arah keadilan. Pengetahuan yang memadai serta dengan pemikiran yang teliti dan kritis akan membuat perjuangan demi keadilan lebih efektif.”
Evaluasi pengajaran flipped berparadigma pedagogi Ignasian memeriksa dinamika yang telah berlangsung dalam pembelajaran. Ketika terjadi ketiadaan dinamika yang berlangsung dalam pembelajar, pendidik menanyakan dinamika pembelajaran yang ia telah mendesainnya. Evaluasi pada akhir proses pembelajaran menjadi momen permintaan pertanggungjawaban baik bagi pembelajar maupun pendidik. Kedua belah pihak perlu melihat kemungkinan mereka telah melakukan kelalaian-kelalaian sehingga pembelajaran gagal mencapai tujuan. Baik pendidik maupun pembelajar perlu menghindari pereduksian evaluasi pembelajaran pada pemberian nilai akhir oleh pendidik dan penerimaan kartu hasil studi oleh pembelajar.
Apabila pemberi latihan melihat bahwa yang berlatih tidak mengalami gerak rohani satu pun, seperti hiburan-hiburan atau kesepian-kesepian dan juga tidak digerakkan oleh roh-roh yang berbeda-beda, maka haruslah ia bertanya kepadanya tentang latihan-latihan: apakah ia melakukannya selama waktu yang ditentukan? Bagaimana melakukannya? Demikian juga haruslah ditanyakan tentang Aturan-aturan Tambahan: Apakah dengan cermat ditaatinya? Mengenai tiap perkara itu hendaknya ia dengan teliti meminta pertanggungjawaban.
Baik pendidik maupun pembelajar mengevaluasi proses pembelajaran pada akhir melalui instrumen yang terukur. Terutama pada waktu akhir pembelajaran, ada bahaya bahwa baik pembelajar maupun pendidik melaksanakan evaluasi hanya untuk memenuhi tagihan administratif. Kalaupun dapat melihat keburukan dalam proses pembelajaran, pendidik seringkali gagal meneruskannya dengan mengungkapkan sesal atasnya, apalagi memperbaiki diri. Keburukan berulang kali terjadi tanpa ada ikhtiar sedikit pun dari pihak pendidik untuk memperbaiki diri. Bahkan, ketika proses pembelajaran telah berlangsung secara baik sekalipun, kita lalai untuk mensyukurinya.
Setiap kali latihan selesai, selama seperempat jam, entah dengan duduk entah sambil berjalan-jalan, aku akan memeriksa, bagaimana berlangsungnya kontemplasi atau meditasi tadi.
Jikalau buruk, akan kuperiksa sebab-sebabnya mengapa begitu, dan setelah kudapat, aku akan menyesalinya, untuk selanjutnya memperbaiki diri. Jikalau baik, aku akan berterima kasih kepada Allah Tuhan kita, dan lain kali akan kulakukan secara demikian juga.
Insentif Spiritual
Disrupsi revolusi industri 4.0 dan irupsi generasi pembelajar Z menggegarkan paradigma pedagogi tradisional yang infrastrukturnya pradigital. Flipped learning, flipped classroom merupakan transisi menuju pembelajaran masa depan yang bergerak cepat ke arah daring. Universitas Sanata Dharma mencari kemungkinan mempraktikkan pengajaran flipped berbasis paradigma pedagogi Ignasian. Tulisan ini mengeksplorasi kemungkinan paradigma pedagogi Ignasian dapat menjadi fondasi spiritual untuk praktik flipped learning, flipped classroom di universitas Sanata Dharma. Alih-alih melembamkan pengajaran, kelas flipped, paradigma pedagogi Ignasian mengakselerasikan praktiknya.
Hampir semua dokumen dapat pendidik muda akses dengan mudah secara daring untuk pengayaan pengajaran berparadigma pedagogi Ignasian. Teks Latihan Rohani merupakan sebuah pengecualian. Ia bukan buku bacaan rohani. Selain insentif finansial kepada pendidik muda yang mau mempraktikkan pengajaran berparadigma pedagogi Ignasian melalui skema hibah, universitas Sanata Dharma dapat menawarkan insentif spiritual kepada mereka. Penulis merekomendasikan Universitas untuk menawarkan Latihan Rohani St. Ignasius Loyola kepada pendidik muda yang antusias untuk mengajar berbasis paradigma pedagogi Ignasian agar mereka mengalami secara langsung dinamika konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. (Mutiara Andalas, SJ, SS, STD)
Recent Comments