Warung Bubur Ayam Menunjukkanku Pluralitas Kita Belum Seindah Persimpangan Bangunan Masjid dan Gereja itu

Warung bubur ayam kegemaranku itu dahulu berdiri diujung persimpangan jalan, diapit kokohnya masjid dan gereja yang berdiri berhadapan. Cukup dekat dengan rumahku. Lantunan adzan dan iringan lonceng dari masing-masing menara rumah Tuhan yang sama tingginya itu seakan bersahutan antara Jumat dan Minggu. Aku sendiri tak pernah menggubris kehidupan religi yang seakan berjalan harmonis di kampungku itu, begitu juga Carol.

Sampai suatu saat, di minggu pagi itu.

Mama menyuruhku pergi ke sebuah pasar yang cukup jauh dari rumah, membawa catatan belanja yang cukup panjang. Mulai dari kangkung tiga ikat untuk kelinci peliharaan Caca -adikku-, hingga ikan bandeng presto favoritku. Waktu itu diriku masih berumur 15 tahun. Ban sepedaku robek setelah kemarin bersepeda bersama teman cukup jauh. Orang tuaku belum punya uang untuk membeli ban baru, dan melarang untuk membeli ban bekas karena umurnya yang takkan panjang. Angkutan umum di minggu pagi juga mustahil ditemukan ditempatku itu. Memang pagi itu aku ditakdirkan berjalan.

Iki tak paringi luwih 10.000 (Ini mama beri uang lebih 10.000). Belilah bubur kesukaanmu,” ungkap mama sembari menatap mataku yang berbinar kegirangan.

Jarak bolak-balik sekitar empat kilometer seakan terbayar lengkap dengan menyantap bubur itu. Disanalah aku duduk di kursi plastik, berwarna hijau dengan kaki kursi yang sudah bengkok dan siap menjatuhkanku kapan saja. Tapi kursi itu seakan kuat mengangkat beban tubuhku selama tiga puluh menit ketika diriku pertama kali bertemu Carol disana.

Kita bersua. Berkenalan dan bercengkrama. Bercerita bahwa kita berdua sangat jatuh hati dengan Bubur Ayam Bang Soleh itu. Bercengkrama tentang apa saja. Tugas kita di sekolah, lezatnya dagangan pisang goreng Carol yang dititipkan olehnya tiap pagi di kantin sekolah, dan kegiatan ibadah masing-masing diantara kita.

Ternyata Carol sedikit banyak sama denganku. Kita bukanlah penganut agama yang cukup taat. Dia berangkat ke gereja setiap minggu pagi sama sebalnya dengan diriku ke masjid seberang setiap Jumat karena ditegur orang tua jikalau mengelak. Kita berdua sepakat bahwa kita ingin bersekolah di SMA Negeri, setelah lelah dengan kehidupanku di Madrasah dan kehidupannya di Sekolah Yayasan Kristen ternama di kota kecilku.

Setiap selepas shalat jumat dan kududuk disana menyantap bubur itu, Carol yang tiba-tiba muncul tak tahu dari mana selalu ikut serta bersama diriku makan dibawah teriknya sang surya. Aku juga memahami bahwa terkadang dia sudah makan siang ketika datang ke warung bubur tiap jumat itu. Begitu juga dia tahu tentang diriku yang tidak lagi disuruh ibuku pergi ke pasar tapi tetap saja berada disana membeli bubur untuk sarapan bersamaan dengan dia keluar dari pintu gerbang gereja.

Bubur itu, dan ibadah masing-masing diantara kita, menjadi kedok dalam menyimpan rasa satu sama lain. Rasa itu menjadi motivasi kami untuk bersemangat ditengah teriknya matahari, atau dalam tusukan dinginnya angin pagi di lereng pegunungan Muria, untuk berangkat beribadah.

Sampai beberapa bulan kemudian, orang tua Carol mengetahui hubunganbackstreet kami hingga akhirnya melarangnya untuk makan bubur disana dan bersua denganku lagi. Sebuah kisah yang baru kuketahui ketika ku beranjak menjadi mahasiswa dan memiliki gawai dengan kecanggihan fitur chatting. Teknologi mempertemukan kami sekali lagi, dan kemudian saling bertukar cerita tentang misteri yang terjadi kala itu.

Diriku yang menganggap waktu itu Carol pindah sekolah, atau memang malas beribadah layaknya sebelum bersua diriku, kini mengetahui kebenarannya. Kisahnya membuka matakudan menunjukkan masih ada celah dalam perwujudan keadilan sosial di kampungku, dan di negeriku, yang terkadang dari luar terlihat damai dan selalu mengumandangkan jargon pluralitas.

 

Cinta Beda Agama: Sebuah Kontestasi Kepentingan

Pergerakan pengakuan masyarakat atas inter-religion love, atau lebih dalam lagi jika menilik berkenaan tentang pengakuan negara terhadap inter-religion marriage, masih diiringi dengan konflik kepentingan di berbagai sisi. Apabila kita menilik sejarah cinta dan pernikahan yang menimbulkan perdebatan publik dalam kehidupan masyarakat global, cinta tidak pernah menjadi hanya sebuah ikatan yang menimbulkan jalinan emosi asmara antar dua insan. Cinta dan pernikahan telah menjadi basis dalam kehidupan sosial bermasyarakat secara abstrak dan mempengaruhi tatanan sistem sosial secara sistematis dan holistik.

Pada era klasik, kita mengenal bagaimana pertukaran maupun penguasaan atas wanita sebagai selir raja bisa menjadi simbol hubungan yang bersahabat atau tanda kekuasaan patron-klien antara satu kerajaan dengan kerajaan lain[1]. Cinta juga bisa dijadikan kedok untuk mengakali aturan hukum, layaknya warga negara asing yang menggunakan atas nama sang istri untuk memiliki properti di Indonesia[2]. Atau bahkan jalinan asmara dilakukan warga negara indonesia etnis non-bumiputera yang dimarginalisasi oleh Pemerintah Daerah DIY dalam larangan kepemilikan tanah semata-mataagar akhirnya dapat mengakali peraturan tersebut lewat pernikahan silang dan mengatasnamakan tanah tersebut sebagai milik sang istri[3]. Dari cerminan sejarah dan fenomena sosial tersebut, kita dapat memetikide bahwa kisah asmara tidak melulu berbasis emosional semata. Rasionalitas bermain disitu, termasuk sifat dasar manusia untuk bertahan hidup apapun caranya.

Rasionalitas ini mulai dimainkan pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda. Indonesia baru yang sedang berproses dalam koridor bina-negara dan bina-bangsa (nation-building, state-building) ini mencoba mencabut segala bentuk peninggalan kolonialisme dan menggali nilai-nilai dasar bangsa yang bersifat lokal[4].

Reformasi atas hukum pernikahan ciptaan Belanda yang awalnya mengkategorikan Indonesia menjadi tiga kelompok yang sengaja dipisahkan demi tatanan sosial sesuai kehendak sang koloni termasuk salah satunya. Peraturan Burgerlijk Wetboek (Kitab Aturan Pernikahan), Regelling op de Gemengde Huwelijken (Peraturan Pernikahan Campuran), dan beragam peraturan lainnya memisahkan pendatang dari eropa, timur asing, dan pribumi inlader dengan regulasi, prosedur, dan pencatatan sipil yang berbeda satu sama lain.Peraturan tersebut sengaja didesain sedemikian rupa sehingga cukup sulit untuk diaplikasikan oleh kaum bumiputera yang tidak menempuh pendidikan. Kompleksitas itu dilakukan bukan tanpa sebab. Lemahnya pengetahuan wanita bumiputera dijadikan kesempatan bagi pendatang eropa untuk menjadikan warga pribumi sekedar gundik dan pemuas seks. Bila lahir anak dari hubungan tersebut, anak itu disebut Voorkinderen dan tidak diakui sama sekali oleh para pendatang. Begitu pula nasib sang wanita pribumi yang akan dibuang jikalau mulai menua ataupun sudah tak lagi dapat memuaskan hasrat para koloni[5].

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 kemudian dibentuk sebagai tonggak sebuah negara bangsa yang lepas dari pengaruh koloni dalam urusan rumah tangga warganya. Peraturan dibuat sederhana dan belum menyentuh problematika akar rumput: bahwa pernikahan antar umat beragama Islam wajib dicatatkan kepada negara dan dibentuknya badan bernama Kantor Urusan Agama dibawah administrasi Kementerian Agama. Reformasi administrasi ini menjadi lompatan pertama bagi pemerintah awal kemerdekaan untuk mengatur pernikahan warganya lewat pengelompokan pernikahan maupun catatan sipil kompleks ala kolonialisme Hindia Belanda. Pada kala itu, belum ada peraturan tentang bagaimana umat beragama lain harus dicatatkan, atau upaya secara legal formal untuk mengakomodasi pernikahan beda agama maupun yang agamanya belum diakui negara. Pengembangan peraturan ini harus terhenti karena hantaman agresi militer, krisis moneter, dan gerakan komunisme dengan segala perdebatan dan konstelasinya saat itu[6].

Perumusan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kemudian didorong menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan dari beragam kelompok yang menghendaki perubahan atas landasan yuridis isu ini. Kontestasi kepentingan pra penyusunan undang-undang ini sangat terasa mengingat kepentingan yang berbeda diantara masing-masing kelompok. Beberapa kelompok Islam moderatmasih ingin mempertahankan status quo, dengan beberapa bahkan ingin menerapkan syariat islam ala Piagam Jakarta kembali menjadi konstitusi negara. Sedangkan umat kristen, islam modernis, dan beberapa pihak lainnya menginginkan regulasi pernikahan berbasis pluralisme dan bersifat umum. Argumentasi pluralisme tersebut juga tak seindah dengung resonansi idenya. Partai Golkar dan Fraksi ABRI misalnya, disebut sebut dalam tuduhan dari kaum islam moderat mendukung pluralisme hanya dalam rangka upayanya untuk melakukan ekstensifikasi catatan sipil dan pendataan masyarakat. Catatan yang semakin lengkap tentunya memudahkan rezim otoriter dalam mengatur opini dan perspektif masyarakat, utamanya dalam mengidentifikasi dan membungkam pihak yang berseberangan[7].

Tuntutan demi tuntutan dari kelompok Islam moderat menghujani otoritas dalam penyusunan peraturan itu. Beberapa pasal layaknya kewajiban pengakuan anak diluar nikah oleh individu terkait, kewajiban pencatatan sipil setiap pernikahan, dan tentang pernikahan beda agama (dimana pemerintah menyatakan bahwa perbedaan agama selayaknya tidak menjadi halangan untuk menikah). Isu ini kemudian menggelinding menjadi bola api panas nan liar yang dikumandangkan lewat debat di parlemen maupun demonstrasi di luar parlemen. Pemerintah dituduh tidak menghormati nilai budaya umat beragama. Sebuah tuduhan keras bahkan terlontar dari Prof. Rasjidi, Mantan Menteri Agama era Soekarno, yang menyatakan bahwa perumusan regulasi oleh rezim orde barutersebut ialah upaya misionaris dan kristenisasi Indonesia lewat pelunturan nilai islam[8].

Presiden Soeharto lewat Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI pun kemudian melunak dengan mengakomodasi tuntutan kelompok tersebut. UU 1/1974 pada akhirnya tidak memuat mengenai pengakuan pernikahan beda agama dan memperkenalkan terminologi dalam pasal 2 yang bertajuk “sahnya perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya[9], sebuah pasal yang kemudian oleh pengadilan diinterpretasikan masing-masing agama keduanya harus sama demi pengakuan secara hukum. Susunan undang-undang tersebut juga memperkenalkan khalayak dengan terminologi “nikah siri”, sebuah pernikahan yang sah secara hukum agama namun tidak dicatatkan dan tidak diakui oleh negara[10].

Dalam isu pernikahan beda agama di era kontemporer pasca reformasi, kontestasi kepentingan menjadi semakin pelik. Kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi rezim pemikiran ini membuat pihak yang bermain bukan hanya pihak religius konservatif dan sekuler progresif. Disana juga ada politisi yang tak begitu religius tapi menggoreng isu agama demi popularitas, ada media daring maupun cetak yang menggaet pembaca dengan publikasi isu sensitif, ada kaum mayoritas yang memarginalisasikan kaum lain dan kaum minoritas yang mengeksklusifkan diri, dan adakepentingan kaum feminis dengan basis argumentasi perjuangan pemberdayaan perempuan.

 

Komunikasi sebagai Kunci Afirmasi

Pihak religius konservatif mempunyai landasan konseptual kuat berupa keyakinannya masing-masing bahwa adalah sebuah hal yang menyalahi kodrat apabila umat masing-masing agama menikah dengan individu lain diluar koridor agama tersebut. Dalam ajaran Islam misalnya, Quran menegaskan bahwa wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Sedangkan dalam ajaran Kristen, perkawinan beda agama dilarang dengan penegasan bahwa hubungan tersebut adalah pasangan yang tak berimbang. Injil pun mengibaratkan fenomena tersebut layaknya cahaya terang yang tak akan bisa bersatu dengan kegelapan (II Korintus 6: 14-18). Perlawanan atas nilai-nilai religius oleh pihak sekuler progresif secara radikal layaknya yang tergambar dalam tuntutan demi tuntutan di meja hijau sudah barang tentu menimbulkan stigma negatif bagi penganut religius konservtif yang telah lebih dahuludan lebih mengakar dalam pemahaman nilai-nilai batasan tersebut.

Pernikahan beda agama dalam perspektif kaum religius konservatifjuga seringkali diidentikkan akan sulit untuk mewujudkan harmoni dalam rumah tangga, mengingat intrik yang dipersepsikan akan selalu menghantui keluarga tersebut apabila pasangan merasa agamanya paling benar maupun memaksa salah satu pihak untuk pindah ke agamanya demi motivasi emosi asmara semata. Tantangan mental dalam wujud tekanan masyarakat dan pola asuh anak juga menjadi intrik tersendiri dalam hubungan tersebut apabila dilakukan.

Berseberangan dengan anggapan itu, sekuler progresif beretorika dengan argumentasi yang menekankan berkenaan tentang pentingnya pengakuan atas cinta kepada umat manusia mana saja tanpa harus dibatasi dalam koridor agama sebagai perwujudan hak asasi manusia. Intrik yang terjadi dalam pernikahan beda agama dapat dihindari apabila masyarakat semakin berpemikiran dewasa dan mengakui bahwa keberagaman adalah kekayaan bangsa ini dan bisa juga terakomodasi sebagai kekayaan dalam entitas terkecil bangsa: keluarga. Kaum ini juga beranggapan bahwa Indonesia dibangun dengan dasar negara hukum berperspektif pluralis.

Pihak feminis berargumen lebih jauh lagi, bahwa pengakuan pernikahan beda agama merupakan hak wanita sepenuhnya yang selama ini dalam dunia yang didominasi perspektif patriarki, membatasi wanita untuk menikah dengan pria yang beragama lain layaknya dalam islam, maupun mendorong wanita untuk mengikuti agama sang kekasih karena kewajiban kesamaan agama demi memperoleh pengakuan otoritas.

Interpretasi pasal Undang-Undang Perkawinan yang bersayap juga menimbulkan ambiguitas bagi masing-masing pihak. Ahmad Nurcholis sebagai peneliti di Pusat Studi Agama dan Perdamaian dan penulis buku terkenal mengenai nikah beda agama “Agama Cinta“, menekankan bahwa tugas negara adalah mencatat bukan mengesahkan. Hal ini dapat direfleksikan dari tetap diakuinya sebuah pernikahan apabila tidak dicatatkan negara dengan mekanisme nikah siri maupun menikah di luar negeri. Dirinya beranggapan bahwa sah tidaknya pernikahan tetap berada dibawah payung penghulu dalam metode masing-masing agama menurut keyakinan yang dianut masing-masing individu dan bukan kewenangan otoritas negara untuk menyatakan keabsahan hal tersebut. Sedangkan Menteri Agama, menegaskan berulang kali bahwa jika metode pengesahan berada ditangan agama, dirinya menanyakan apakah ada agama yang mengakui pernikahan beda agama. Hal tersebutlah yang menjadi argumentasi utama tim Kementerian Agama dalam memenangkan sengketa di Mahkamah Konstitusi awal tahun lalu, bahwa negara mengikuti apa yang telah diamanatkan masing-masing agama berkenaan dengan hukum pernikahan[11].

Dari perdebatan mengenai isu pernikahan beda agama saja kita dapat berkaca bahwa konsep pluralisme sendiri adalah konsep yang abstrak dan tidak dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penghormatan antar umat. Karena di setiap persinggungan yang membutuhkan afirmasi akan selalu muncul intrik yang menjadi sulit bagi masing-masing pihak untuk diakomodasi keseluruhan tanpa merugikan satu sama lain. Dan konsep persatuan diatas ragam perbedaan layaknya dikumandangkan Bhinneka Tunggal Ika pun masih perlu diperjuangkan dan dirawat secara sistematis apabila tidak ingin hanya terwujud sebagai sebuah slogan dan jargon semata.

Dan perdebatan antara masing-masing kubu, apabila dibiarkan saja, akan terus berlangsung dan tidak akan pernah menemui titik temu. Ada beberapa landasan konseptual yang berbeda secara fundamental dan sama-sama secara hierarkis ingin mempertahankan dominasinya, atau memperjuangkan eksistensinya antara satu dengan yang lain. Masih banyaknya pihak yang melakukan marginalisasi atas dasar dominansinya terhadap entitas lain dan tidak sedikit pula kaum minoritas yang merawat eksklusifitasnya dalam koridor kesenjangan ekonomi dan komunitas tertutup membuat negara harus bekerja ekstra keras untuk menanggulangi fenomena ini.

Terkatung-katungnya perdebatan ini membuat beberapa pihak harus pergi keluar negeri untuk sekedar menikah menurut hukum di negara yang disambanginya tersebut, ataupun menjadikan pindah agama sebagai kedok demi legalitas semata, yang tidak dijalaninya dalam kehidupan dan dalam beberapa kasus disesali seumur hidupnya[12]. Menjadi tugas negara untuk mengakomodasi segala kepentingan guna mewujudkan yang terbaik bagi keterjaminan kemaslahatan warganya, termasuk kepentingan asmara antar insan penduduknya. Komunikasi menjadi aspek penting dalam mewujudkan cita-cita ini. Namun, melakukan komunikasi dan menjembatani kontestasi ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada pihak-pihak yang mencoba bermain di air keruh dan menggaet keuntungan pribadi ditengah tensi perdebatan.

Politisi yang dipilih lima tahun sekali akan terus menyuarakan penolakannya terhadap pergerakan pernikahan beda agama karena kebutuhannya untuk memobilisasi nilai-nilai primordial yang masih kental dianut beberapa pihak dalam menentukan preferensi politik. Jargon-jargon rezim anti agama, presiden bersifat atheis, komunis, dan antek PKI, serta menganggap orang yang berpandangan berbeda layaknya dalam isu pernikahan beda agama sebagai orang yang tidak waras juga terus dikumandangkan oleh pihak-pihak yang apabila ditilik sejak awal berseberangan dengan rezim yang berkuasa[13].

Kebebasan berekspresi tanpa kontrol yang acapkali terjadi di media sosial seringkali menjadi medium paling ampuh bagi upaya mereka melanggengkan kepentingan pribadi, termasuk diantaranya kepentingan media cetak maupun daring tanpa kredibilitas melakukan publisitas yang menyudutkan pihak tertentu tanpa memenuhi kaidah etika jurnalistik yang sesuai. Tinjauan finansial iklan yang diperoleh berbasis berita click-baityang tak jarang mengandung kontroversi dalam penulisan menjadi satu-satunya tujuan pihak-pihak tersebut[14].

Disinilah negara harus mengambil peran dengan memberikan perspektif yang komprehensif mengenai kondisi status quo kepada seluruh pihak tanpa terkecuali. Menyebarkan kesadaran mengenai pentingnya bagi kaum sekuler progresif untuk menghormati tatanan nilai yang ada namun juga mengusahakan warganya yang mencintai sosok berbeda agama untuk tetap diakomodasi kepentingannya serta haknya sebagai warga negara dalam memperoleh, contohnya, jaminan kesehatan dan bantuan pendidikan yang acapkali membutuhkan persyaratan berupa catatan sipil kartu keluarga, serta memberi perspektif bagi kaum pria dan pemangku kebijakan mengenai pengakuan serta pemberdayaan wanita tanpa perlu mendobrak tatanan agama (terlebih lagi menyuarakan secara lantang suatu hal yang sensitif dan dapat memecah belah keutuhan bangsa layaknya tuduhan sifat patriarkis dalam suatu agama).

Menjadi penting pula bagi negara untuk mengakomodasi warganya yang masih memendam rasa terhadap seorang gadis yang ditemuinya di warung bubur persimpangan masjid dan gereja itu agar tidak dilarang bersua dan diizinkan untuk menjalin hubungan pertemanan dan kisah kasih remaja ala kadarnya. Resolusi problematika semacam ini menjadi penting guna mewujudkan pluralitas Indonesia yang tak hanya sekadar simbolis berwujud bangunan tempat ibadah yang berhadap-hadapan, tapi juga langkah antar umatnya yang beriringan.

 

Ilham Dary Athallah (Juara II Lomba Esai SALT 2016)

S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional – Angkatan 2016

Reporter magang di Kedaulatan Rakyat Group

 

DISCLAIMER:

Nama tokoh bukanlah nama asli

Kesamaan rekaan kisah dan alur hanya kebetulan semata

 

[1] Gavin W. Jones, et. al., Muslim- Non Muslim Marriage, Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, (Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies Singapore Publishing, 2009)

[2] Edwin Hartono, “Tinjauan Yuridis Kepemilikan Properti Untuk Orang Asing.” PhD diss., Program Studi Ilmu Hukum FH-UKSW, 2014.

[3]Kus Sri Antoro, “Analisis Kritis Substansi Dan Implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Bidang Pertanahan,”, Jurnal Bhumi, Sekolah Tinggi Pertanahan Negara (STPN) Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 13.

[4] Max Lane, Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto, (New York: Verso, 2008).

[5] Jones, et. al., 102-106.

[6] Ibid.

[7] June S. Katz, Ronald S. Katz, ” The New Indonesian Marriage Law: A Mirror of Indonesia’s Political, Cultural, and Legal System,” The AmericanJournal of Comparative Law, (Autumn 1975): 660-666.

[8] Katz, Katz, 662.

[9] Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 (UU 1/1974)

[10] Katz, Katz, 662.

[11]B. B. C. Indonesia, “Ahmad Nurcholish Dan Pernikahan Beda Agama,” BBC Indonesia, accessed December 27, 2016, http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150629_bincang_juni2015_nurcholish.

[12]Leeman, Alex B. “Interfaith marriage in Islam: An examination of the legal theory behind the traditional and reformist positions.” Ind. LJ 84 (2009): 743.

[13]Putri, Sukma Ari Ragil. “Media Dalam Perspektif Masyarakat Tontonan “Jokowi Spectacle”.” Jurnal The Messenger 7, no. 1 (2016): 1-8.

[14] Ibid.

 

DAFTAR PUSTAKA

“Ahmad Nurcholish Dan Pernikahan Beda Agama,” BBC Indonesia, accessed December 27, 2016, http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150629_bincang_juni2015_nurcholish.

Antoro, Kus Sri, “Analisis Kritis Substansi Dan Implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Bidang Pertanahan,”, Jurnal Bhumi, Sekolah Tinggi Pertanahan Negara (STPN) Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, Mei 2015, 13.

Hartono, Edwin, “Tinjauan Yuridis Kepemilikan Properti Untuk Orang Asing.” PhD diss., Program Studi Ilmu Hukum FH-UKSW, 2014.

Jones, Gavin W., et. al., Muslim- Non Muslim Marriage, Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, (Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies Singapore Publishing, 2009)

Journal of Comparative Law, (Autumn 1975): 660-666.

Katz, June S., Katz, Ronald S., ” The New Indonesian Marriage Law: A Mirror of Indonesia’s Political, Cultural, and Legal System,” The American

Lane, Max, Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto, (New York: Verso, 2008).

Leeman, Alex B. “Interfaith marriage in Islam: An examination of the legal theory behind the traditional and reformist positions.” Ind. LJ 84 (2009): 743.

Putri, Sukma Ari Ragil, “Media Dalam Perspektif Masyarakat Tontonan “Jokowi Spectacle”.” Jurnal The Messenger 7, no. 1 (2016): 1-8.

Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 (UU 1/1974)

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *