Tentang Kebenaran Otoritatif

Hari ini saya diingatkan oleh dosen saya bahwa ada yang disebut dengan kebenaran otoritatif. Ini adalah jenis kebenaran yang ‘seolah-olah benar’ karena yang mengatakan hal itu adalah orang yang punya otoritas, misalnya orang tua, pemuka agama, atau seorang yang punya gelar pendidikan yang tinggi. Intinya orang yang dianggap lebih ‘berkuasa’ dan lebih ‘kompeten’ karena punya otoritas. Misalnya saya yang masih dalam proses belajar ini, dibandingkan dengan dosen saya, ya pasti Anda akan lebih percaya dosen saya, ya tho? Apalagi saya yang awam, dibandingkan dengan Romo, apalagi Uskup, pasti Anda akan lebih percaya mereka. Ya aing mah naon atuhhh

Padahal belum tentu yang diucapkan oleh para ‘Yang Mulia’ yang punya otoritas itu lebih benar dibanding apa yang dikatakan oleh orang yang tidak punya otoritas. Bisa jadi, misalnya karena slip of the tongue alias ‘kepleset lidahnya’, orang yang punya otoritas itu jadi salah bicara, tapi tetap saja kita lebih percaya.

Apakah ini berarti kita tidak boleh percaya dengan apa yang dikatakan mereka yang memiliki otoritas? Ya nggak gitu juga sih. Bagaimanapun, mereka yang punya otoritas (biasanya) memang memiliki kompetensi yang mumpuni, dan karena kompetensinya itu, maka mereka diberi otoritas. Jadi, bukan berarti kita tidak perlu percaya mereka, karena bisa jadi yang mereka sampaikan benar-benar benar.

Memang pada beberapa hal kita tidak perlu membantahnya, karena memang cuma bisa dipercaya, cuma bisa diimani, cuma bisa diikuti. Soal yang satu ini saya tidak akan bahas lebih jauh daripada saya sesat, karena selain saya tidak punya kompetensi soal ini, saya juga tidak punya otoritas untuk bicara soal ini, maka sangat kecil kemungkinannya Anda akan percaya pada saya.

Akan tetapi, kita perlu cermat dan kritis tentang apakah perkataan yang disampaikan orang yang memiliki otoritas ini benar-benar benar. Atau jangan-jangan ada hal lain yang lebih benar? Ini pentingnya cek ‘en ricek (bukan acara gosip). Membaca dan berdiskusi adalah dua hal yang bisa dilakukan untuk mengkritisi suatu pernyataan. Dua hal ini bisa menjadi cara konkret kita mewujudkan #PantangHoax.

Nah, setelah ini silakan coba mencari tentang kebenaran otoritatif di atas, jangan mau asal percaya pada apa yang saya tulis. Siapa yang tahu kalau saya (sengaja) menyesatkan?

 

Jatinangor, 28 Maret 2018

Vania

Alumni Psikologi USD

http://ceritasibintang.blogspot.com/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *