Tak Apa Menjadi Terluka

Refleksi 29 Januari 2023

Matius 5 :1-12a

Aku menyadari bahwa hidup itu satu paket. Aku tidak bisa hanya ingin menerima apa yang menyenangkan dalam hidup ini, tanpa mengalami apa yang bagiku tidak menarik bahkan menyulitkanku. Aku juga menyadari aku tidak bisa hanya ingin menerima apa yang aku dambakan, tanpa menerima perjuangan yang harus aku lakukan. Senyata-nyatanya, hidup adalah tentang menerima kedua hal itu. Apapun rasanya. 

Permenungan ini hadir dalam hidupku ketika aku menjalani masa studiku. Tentu aku mendambakan hal-hal menarik. Ajakan untuk bermimpi setinggi langit tentu aku tanggapi dengan antusias. Angan-angan dan ekspektasi akan cita-cita yang serba indah tentu aku miliki. Aku ingat, aku selalu membuat resolusi tiap awal semester. Kalau kata orang bermimpi itu gratis, rasanya aku punya banyak mimpi-mimpi yang sungguh ingin aku capai. Sebagai seorang mahasiswa dengan segala euforia-nya, aku pun punya keinginan untuk cepat menyelesaikan studiku, mendapatkan nilai yang sangat baik, hingga mendapatkan predikat lulus dengan pujian ketika selesai nanti. Dambaan untuk meraih apa yang baik dan memiliki pencapaian yang gemilang selalu aku miliki, minimal aku memikirkannya sebelum aku tidur, dia atas bantal, di pojok kamarku. 

Mendamba, memiliki angan-angan, membayangkan tentang hidup yang berhasil memiliki pencapaian memang hal yang indah. Memiliki angan-angan semacam itu lalu membuatku membentuk bayangan bahwa diriku akan mencapai apa yang aku cita-citakan. Rasanya, seperti aku bisa melihat diriku di masa yang akan datang dengan semua harapan yang baik. 

Kenyataan membuatku menyadari, kendati memiliki angan dan bayangan-bayangan yang baik itu menyenangkan, tetap saja itu belum menjadi nyata. Tetap saja itu adalah bayangan. Kenyataan juga membuatku menyadari, bahwa hidup dan berjuang tidak semudah dan seindah ada dalam  bayangan ataupun angan. 

Dalam perjalanan studiku, aku kerap menemukan pengalaman-pengalaman yang sama sekali tidak mudah, setidaknya bagi diriku sendiri. Kerap kali aku merasa bosan untuk membaca buku, mencari jurnal, membuat catatan. Kadang aku pun kehilangan motivasi, dan bertanya, untuk apa dan sampai kapan aku harus begini. Kadang aku merasa frustasi dan jengkel dengan rekan kelompok yang tidak mau bertanggung jawab atas pekerjaan bersama. Membuatku merasa sendiri, berjuang sendiri. Terkadang aku harus menahan diriku untuk menghemat uangku agar bisa sedikit-sedikit menabung, entah untuk apapun kelak. Terhadap teman-temanku yang belum mengerti tentang apa yang mereka pelajari, kadang aku pun perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka dan menemani mereka dalam belajar juga. Terhadap lingkungan pertemanan yang penuh rasan-rasan, aku harus menahan diri untuk tidak ikut ngompor-ngomporin. Pernah aku jatuh sakit, dan tidak bisa mengikuti ujian. Harus mengurus ujian susulan yang tidak mudah, melelahkan. 

Ya memang, kenyataan memang membuatku tersadar bahwa cita-cita selalu menuntut perjuangan. Bayang-bayang hanya akan menjadi sebuah halusinasi ketika tidak ada perjuangan. Dan perjuangan tidak selalu menyimpan hal yang mudah. Dalam permenunganku, aku lantas menyadari bahwa memang perjuangan semacam ini harus aku terima. Bukankah ini sebuah perwujudan untuk meng-iman-i, dan untuk meng-amin-i apa yang diajarkan dalam sabda bahagia? Untuk berbahagia ketika menjadi orang yang murah hati, berbahagia ketika berjuang untuk membawa damai. 

Ya memang, kenyataan memang membuatku tersadar bahwa cita-cita selalu menuntut perjuangan. Bayang-bayang hanya akan menjadi sebuah halusinasi ketika tidak ada perjuangan. Dan perjuangan tidak selalu menyimpan hal yang mudah. Dalam permenunganku, aku lantas menyadari bahwa memang perjuangan semacam ini harus aku terima. Bukankah ini sebuah perwujudan untuk meng-iman-i, dan untuk meng-amin-i apa yang diajarkan dalam sabda bahagia? Untuk berbahagia ketika menjadi orang yang murah hati, berbahagia ketika berjuang untuk membawa damai. 

Ajakan untuk “berbahagia” bukan ajakan yang menutup mata terhadap perjuangan yang dialami. Ajakan untuk “berbahagia” tentu menjadi ajakan untuk memiliki sikap tabah terhadap perjuangan yang tidak selalu mudah dalam hidupku. Terhadap hal-hal yang sulit, bukankah aku diajak untuk memaknai itu sebagai bagian dari perjalananku? Bukankah hal yang membahagiakan karena aku boleh memiliki perjuangan semacam itu? Bukankah suatu yang membahagiakan untuk bisa berjuang dan mengalami berbagai hal dalam perjuangan itu, dan boleh berharap bahwa perjuanganku nanti akan menghasilkan buah-buah dalam hidupku? Dan bukankah sesuatu yang membahagiakan, karena dengan mengalami perjuangan dan penderitaan yang ada aku boleh memiliki dan menghidupi arti sebuah harapan? 

Aku mengamini, bahwa namanya perjuangan tentu tidak ada yang mudah. Di atas semua, aku pun ingin memiliki ketabahan, karena boleh berjuang berarti boleh berharap. Tak apa menjadi lelah, tak apa terkadang merasa hilang arah, tak apa menjadi lapar, tak apa menjadi terluka, terjatuh, hingga terkulai. Sesuatu yang membahagiakan karena aku boleh mengalami semua itu sebagai perjuangan hidupku. Bukankah Tuhan sendiri harus rela wafat di salib untuk karya keselamatan? 

Penulis : Nirvana Mulia Sulistya
Student Staff Campus Ministry

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *