Santo dan Sultan: Pembawa Terang di Tengah Kegelapan

Santo dan Sultan: Pembawa Terang di Tengah Kegelapan

Oleh: Ahmad Shalahuddin M*

 

Dalam lintasan sejarah dunia, khususnya sejarah Islam dan Kristani, yang terjadi bukan sekedar perjumpaan damai saja, namun juga sebaliknya. Dua komunitas ini punya masa lalu kelam yang berdarah-darah dan tentu jauh dari kata damai. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sejarah kelam itu tidak jauh dari cerita tentang Perang Salib yang terjadi sekitar kurang lebih 1000 tahun lalu. Namun narasinya masih sering kita dengar. Tak ayal, narasi yang kita warisi hari ini dilengkapi bumbu-bumbu cerita yang menimbulkan kebencian satu sama lain. Umat Islam menuduh umat Kristiani—umat Kristiani menuduh umat Islam. Pada Perang Salib tersebut, keduanya merasa menjadi korban dari peperangan tersebut.

Prasangka yang berbuah rasa curiga itu terus dipupuk dalam cerita-cerita yang ada hubungannya dengan agama. Tanpa terasa, dalam cerita tersebut melekat sebuah agenda tersembunyi untuk saling membenci komunitas ‘sebelah’ (Islam ke Kristen atau Kristen ke Islam). Keadaan akan bertambah parah jika ruang dan lingkungan yang homogen. Sehingga ruang untuk saling menceritakan komunitas ‘sebelah’ lebih lancar dan lebih luas. Dalam ruang seperti ini, ruang dialog akan sulit diciptakan. Harus ada kesadaran dari dalam untuk keluar dari zona nyaman untuk menginisiasi sebuah dialog antar komunitas. Kesadaran dialogis. Kesadaran untuk mengakhiri sebuah penderitaan. Setidaknya itu yang telah dicontohkan oleh Seorang Santo Fransiskus dari Assisi, Italia dan seorang Sultan Malik al-Kamil dari Mesir, tepat 800 tahun lalu.

Tak banyak mengetahui bahwa pada saat Perang Salib yang bersimbah darah itu sedang berlangsung ada sebuah dialog dan perjumpaan yang berhasil diinisiasi oleh dua orang tokoh berbeda agama sekaligus berbeda negara. Bukan hal mudah, inisiasinya dimulai dari seorang Fransiskus dari Assisi. Sang Fransiskus sebenarnya sudah diberi peringatan terlebih dahulu oleh Kardinal Pelagius bahwa jika Fransiskus berani menembus medan pertempuran yang sedang berkecamuk adalah tindakan bodoh. Selain itu, dia diberitahu bahwa Sang Sultan yang ingin ditemui yang berada di Mesir itu adalah seorang monster, seorang tiran kejam yang akan memerintahkan agar dia dihukum mati. Pesimisme dan prasangka terhadap kepada sang Sultan mencoba mempengaruhi sang Fransiskus Namun dia tetap tetap menerjang. Demi kerinduannya akan sebuah perdamaian dan untuk menghentikan peperangan serta kekerasan lainnya. Fransiskus bersikukuh untuk tetap pergi ke Mesir, menempuh perjalanan jauh untuk menemui sang Sultan.

Kedua tokoh ini, Santo Fransiskus dan Sultan Malik al-Kamil tidak sekedar menghadapi di luar dirinya yang berupa Perang Salib, namun juga gejolak batin dalam dirinya. Santo Fransiskus menghadapi masalah dengan keluarganya dan Sultan Malik al-Kamil menghadapi konflik dengan saudara-saudaranya. Sebuah kondisi yang rumit yang datang dari luar dan dalam. Perang Salib berlumur darah manusia—darah Islam dan Kristiani. Dalam kondisi perang seperti itu, kesadaran bahwa Fransiskus dan al-Kamil sebenarnya adalah saudara sulit untuk muncul karena mereka berdua hidup ketika kondisi Perang Salib tengah berkecamuk. Persaudaraan mereka bukan darah, tapi dalam keimanan kepada Tuhan Yang Esa. Islam dan Kristiani datang dari asal yang sama. Dari utusan Tuhan yang berjuluk “Bapak Orang Beriman”—Abraham/Ibrahim (אברהם). Perang memang tidak akan pernah berbuah perdamaian, justru sebaliknya, hanya akan berbuah kebencian, dendam, kekerasan dan tindakan negatif lainnya.

 

Sang Sultan

Lahir dengan nama lengkap Malik al-Kamil Nasrudin Muhammad pada 19 Agustus 1180. Diangkat menjadi raja muda oleh Ayahnya—Malik al-Adl pada usia dua puluh tahun. Pada awal pemerintahannya, al-Kamil berhadapan ketika sungai Nil tidak mengalami banjir pada tahun 1201, kelaparan dan wabah sampar pun merajalela. Para penullis kronik Arab melaporkan hal ini sebagai periode yang sangat menyakitkan dalam sejarah panjang Mesir: desa-desa sepi, orang tua membunuh dan memakan anak-anak mereka sendiri; perampokan dan pembunuhan merajalela. Selanjutnnya, al-Kamil mengawal negeri itu melalui krisis awal tersebut dan menjadi administrator ulung yang membangun bendungan, memperbaiki irigasi, mendirikan lebih banyak madrasah/sekolah dan memutuskan perselisihan sebelum berubah di luar kendali.

Kemudian al-Kamil menggunakan keterampilan serupa dalam berurusan dengan orang-orang Kristen dari Barat, mempersiapkan peperangan tetapi mengupayakan perdamaian melalui hubungan dagang. Pada saat yang sama, al-Kamil membuat perjanjian untuk membangun hubungan dagang antara kota-kota pesisir di Mesir dan Italia.

Karir kepemimpinan al-Kamil tidak berjalan mulus, selain berkonflik dengan saudara kandungnya. Yerussalem yang pernah direbut pamannya—Shalahuddin al-Ayyubi direbut kembali oleh orang Kristen. Kondisi ini akan memicu reaksi murka dan memperkuat saingannya. Sehingga membuat al-Kamil cukup mencemaskan kondisi dirinya. Di sisi lain, dia ingin menghindari peperangan.

 

Sang Sultan dan Sang Santo

Keduanya tidak saling mengenal. Berasal dari dua kawasan negara yang berbeda. Bertemu di muara dekat sungai Nil, kawasan Damietta. Di satu sisi, Fransiskus dan al-Kamil sama-sama memiliki masalah internal—yakni masalah keluarga. Fransiskus dengan sang ayah dan al-Kamil dengan saudara-saudaranya. Tak mudah keduanya untuk lepas kemelut persoalan yang membelitnya. Lalu kemudian saling bertemu membicarakan tentang masa depan hubungan Islam dan Kristiani di masa dimana api peperangan masih berkobar.

Menjelang pertemuannya dengan al-Kamil, selama bertahun-tahun Fransiskus bermimpi mengkristenkan seorang pemimpin Muslim demi mewujudkan perdamaian antara Islam dan Kristen. Sebelum lawatannya ke Mesir—bertemu al-Kamil, Fransiskus pernah dua kali mencoba berkhotbah ke umat Islam, namun kedua usaha tersebut gagal. Di sisi lain, Fransiskus bukan pertapa Kristen pertama yang dijumpai al-Kamil. Suatu hari ketika tengah berburu di Aleksandria, al-Kamil bertemu seorang pertapa Kristen, mereka pun mengobrol. Tak lama, al-Kamil menceritakan nyeri di perutnya, lalu sang pertapa mendoakan dan memberinya sedikit minyak kemudian mengatakan bahwa ketika dia (sang pertapa Kristen) mengurapi bagian tubuh yang sakit, Tuhan akan menyembuhkannya. Menurut cerita, al-Kamil melakukan sebagaimana yang diperintahkan sang pertapa dan langsung merasa lebih baik. Al-Kamil lalu memberinya hadiah dan sangat menyukai pertapa tersebut.

Lebih lanjut, sang Fransiskus ingin kembali mengulangi untuk berkhotbah kepada umat Muslim. Kali ini kepada Sang Raja Mesir—Sultan Malik al-Kamil. Ada banyak versi dalam pertemuan dua orang tokoh agama ini. Hingga pada saat keduanya bertatap muka selepas Fransiskus menembus barikade umat Muslim—apa yang terjadi setelahnya pun terdapat beragam versi. Yang nyata, bahwa al-Kamil menerima dengan ramah, memperlakukannya dengan hormat serta menyaksikan dengan penuh hikmat sang Fransiskus ketika menyampaikan maksud kedatangannya ke perkemahannya. Di lain sisi percakapan mereka, sebagai tokoh besar dan disegani—keduanya diceritakan tidak mungkin untuk berpindah agama.

Beragam kronik yang menceritakan kisah Fransiskus bertemu dengan al-Kamil. Lebih lanjut Fransiskus dan al-Kamil sama-sama menginginkan perdamaian dan ingin menghindari perang. Meskipun pasca perjumpaan Fransiskus dan al-Kamil tidak membuat perang terhenti. Perang tetap berlanjut seperti biasa. Di satu sisi, Fransiskus mengubah kerinduannya akan perdamaian menjadi tindakan nyata yang bertujuan untuk menghentikan peperangan dan kekerasan lainnya.

 

Sebuah refleksi: Pemaknaan di era milenial

Kisah tentang sang Santo dan sang Sultan ini mungkin tidak populer, khususnya di era ini. Di era ketika semuanya merasa benar sendiri kemudian ingin meniadakan kelompok (agama) lain yang berbeda, dua orang kemudian mengambil yang mungkin era itu tidak terpikirkan atau bahkan tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kala itu—melakukan inisiasi perdamaian. Di era yang notabene tidak aman pun sang Santo dan sang Sultan tetap bisa melakukan dialog. Berbeda dengan abad 21 ini, yang jauh lebih aman tanpa kecamuk perang seperti era Perang Salib. Lalu mengapa kemudian beberapa orang sulit melakukan dialog di era yang aman ini ? Lebih senang memupuk prasangka, rasa curiga hingga kebencian dalam hatinya.

Lalu apa yang dapat kita refleksikan dari sebuah kejadian yang terjadi 800 tahun lalu di era saat ini ? Pada abad 21 ini jika ditelusuri lebih dalam, perang ini sudah tidak lagi berbentuk fisik yakni peperangan atau bahkan invasi. Namun dalam ruang yang maya, yakni media sosial. Ruang media sosial yang pada awal penciptaannya diciptakan sebagai ruang untuk bersilaturahmi, menemukan kawan lama bahwa mencari teman baru kini berubah 180 derajat. Media sosial hari ini menjadi ruang atau gelanggang pertarungan yang baru, bukan tempat mencari kawan lagi, namun berganti mencari lawan. Ruang media sosial bertebaran bukan hanya berita bohong atau palsu (hoax), namun juga ujaran-ujaran kebencian.

Dunia maya atau dunia media sosial tentu tidak dapat diremehkan. Di era milenial ini, apa yang terjadi di dunia maya mampu mempengaruhi dunia nyata. Bukan barang mustahil jika keributan yang berujung kebencian dalam dunia maya atau media sosial bisa terbawa di dunia nyata. Dibutuhkan pembawa damai yang lebih mampu menyesuaikan diri dengan era milenial ini dengan perspektif kesadaran dialog yang mempunyai semangat memanusiakan manusia.

Last but not least, satu hal yang penting disadari bahwa di abad Perang Salib berkecamuk—Islam dan Kristiani mempunyai konflik, mempunyai masalah, saling membenci, saling curiga, ingin saling menalukkan satu sama lain hingga bahkan ingin meniadakan—saling membunuh! Namun itu dulu—hari kemarin ketika genderang perang tengah ditabuh. Kemarin adalah masa lalu yang tidak bisa diulang, kita hanya perlu belajar darinya. Belajar memetik kebijaksanaan dan belajar dari kesalahan. Biarlah hari ini dan hari esok adalah milik kita. Biarlah kita yang menciptakan kisah Islam dan Kristiani yang penuh kedamaian, saling percaya, tanpa kebencian dan saling curiga. Namun, seperti apakah kisah Islam dan Kristiani hari ini ?

Semoga kisah ini dapat terus diceritakan di tiap ruang waktu dan ruang zaman selanjutnya agar kita terus mengambil pelajaran untuk tidak terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya.

PACE E BENE!

 

*Penulis adalah fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia

12 thoughts on “Santo dan Sultan: Pembawa Terang di Tengah Kegelapan

  1. Kepercayaan yang mana yang sesuai jaman? tentunya harus ada Dialogis antar umat beragama berbeda untuk memecahkan masalah tuntutan jaman. contoh: Indonesia mampu memaafkan Jepang dan Belanda untuk memperoleh kesempatan kerjasama bidang industri dan pertanian.
    contoh lainnya: Piagam PBB 24 Oktober1945 yang membuat semua negara merdeka dan menyadari tentang hidup DAMAI adalah segala galanya. Dialogis antara para cedekia terkadang kurang mewakili keseluruhan jika di timbang kebutuhan saat ini, maka harus ada penelitian dan kajian ilmiah untuk membuat DIALOGIS antar umat manusia dalam memecahkan masalah-masalah hidup mereka. Jawabannya tentu ada didalam kerjasama dalam memelihara perdamaian hidup.

  2. kisah sang Sultan dan sang Santo ibarat sejarah kasih yang terulang kembali. Dimana Raja Nasrani menerima umat Muslim yang berlindung kepada mereka pada masa khulafa ar-Rasyidin waktu itu. Kaum Musliminin yang berhijrah keluar dari kota Makkah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib meminta perlindungan kepada seorang Raja Nasrani di sebuah negara. Beliau menyampaikan ayat yang dibawa oleh Muhammad kemudian menggugah hati sang raja sehingga kaum muslimin diizinkan untuk tinggal dan dilindungi di kerajaannya. Redaksi tepat dari sejarah itu saya sedikit lupa tetapi “hutang rasa” itu hadir setidaknya untuk saya sampai hari ini.

    Islam-Kristen memang punya sejarah kelam dalam perang salib tetapi Islam-Kristen tidak boleh melupakan persahabatan yang pernah terjalin jauh sebelum meletusnya perang salib.

    Dalam perjalanan waktu saya meyakini setiap masa akan ada sosok pembaharu yang akan menjadi “jembatan” bagi Islam-Kristen untuk bertemu dimuara yang sama. Sejarah seperti ini akan terus menerus terulang. Entah siapa yang akan Tuhan beri mandat sebagai sang Sultan dan sang Santo di era millenial ini. Akan tetapi, saya pribadi percaya bahwa ITU PASTI!

    Akhir kata, saya mengucap terima kasih kepada penulis yang sudah mau mencurahkan banyak energi untuk menyusun tulisan ini. Kiranya telah memberi banyak manfaat bagi generasi millenial yang mau membaca dan memikirkan kembali “hutang rasa” yang perlu di balas kembali, sekalipun tidak akan pernah lunas tetapi Islam-Kristen patut mewujudkan itu baik hari ini maupun nanti.

  3. Tx Brother atas Pencerahannya
    Anda menjelaskan dgn penuh Kasih Karunia Allah dlm diri Anda
    Dan semoga dlm jaman ini akan banyak terlahir para Santo & Sultan juru damai dunia
    yg mana tdk terpengaruh oleh situasi ,kondisi ,apa kata orang kebanyakan tp lbh mementingkan “hati nurani ” utk hidup damai bersama di dunia ini amin
    Tuhan memberkati

  4. Semoga Milenial sekarang dapat mempergunakan media sosial dengan baik,yaitu dengan memberikan kabar sukacita untuk perdamaian anatar umat beragama,dan tidak menyalah gunakan media sosial untuk menyebar kebencian,karena kita harus sadar bahwa ini adalah tantangan buat generasi melenial diman kita harus jeli dalam informasi yang masuk serta kita perlu mempertahankan bangsa kita yang mazemuk ini.semoga tulisan diatas akan ada pengaruhnya buat generasi milenial yang membaca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *