Renungan Angkringan Lintas Iman “Bersyukur Menjadi Indonesia”

Saudara-saudari yang terkasih

Barangkali tiap-tiap dari kita memaknai jalan kaki ini secara berbeda. Namun, baiklah bila kita melihat jalan kaki ini sebagai suatu sarana untuk berefleksi. Apakah jalan kaki ini terlalu singkat atau terlalu lama, bukan ini yang hendak kita kejar. Kita melihat proses jalan kaki ini sebagai suatu perjalanan, untuk meninggalkan diri yang lama dan memeluk diri yang baru, untuk meninggalkan kampung halaman menuju tempat baru penuh harapan, bagaikan seorang peziarah yang membawa permohonan dalam hati supaya permohonan itu dikabulkan, atau musafir yang sedang melakukan laku tapa demi mencapai pencerahan.

Kita semua berangkat dari kegelisahan batin. Kita gelisah karena ada yang kurang dalam diri kita: kurang berpikir, kurang bertindak, kurang peduli, dan kurang-kurang lainnya. Kita gelisah karena ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sekitar kita, di masyarakat kita, di negeri ini, di dunia ini. Kita gelisah ketika mendengar kisruh di DPR. Kita gelisah ketika mendengar adanya ketidakadilan di masyarakat; yang lemah, miskin, dan kecil semakin ditindas. Kita gelisah ketika membaca, melihar, mendengar adanya perang dan kekerasan di negeri ini, di dunia ini. Orang bertindak semena-mena bahkan dengan membawa-bawa agama. Oleh karena itu,  gelisah bukanlah sesuatu yang negatif. Gelisah dilihat sebagai suatu gerak bahwa kita ingin mencari sesuatu yang baru, kita ingin memperbaiki diri, kita ingin melakukan sesuatu dengan lebih baik, dari hari ke hari menjadi semakin baik. Gelisah adalah suatu sikap batin yang harus dibangun.

Angkringan Lintas Iman1 Angkringan Lintas Iman2

Tahun 1219, adalah seorang suci bernama Fransiskus dari kota Asisi datang ke Mesir hendak bertemu Sultan Al Malik Al Kamil. Dunia saat itu sedang bergolak karena perang Salib. Fransiskus berjalan kaki menuju daerah konflik, meninggalkan zona nyaman diri untuk memasuki daerah yang tidak ia kenal. Bukan hanya perpindahan tempat ataupun perubahan situasi batin karena memasuki daerah konfrontasi, namun lebih dalam dari itu semua, telah terjadi transformasi (perubahan) diri.

Fransiskus dan Sultan adalah para pencari kebenaran, sama halnya dengan kita, sebagian besar adalah orang-orang muda, orang-orang yang sedang mencari ilmu, yang sedang mempersiapkan diri untuk masa depan. Seorang pencari kebenaran adalah seorang yang gelisah, demikian halnya Fransiskus dan Sultan merasa gelisah dengan keadaan konflik. Karena kegelisahan itu, Fransiskus hendak bertemu Sultan. Ia bukanlah Raja. Ia bukanlah prajurit. Ia gelisah mengapa perang ini harus terjadi.

Mencari kebenaran membutuhkan keterbukaan hati, hati yang senantiasa terbuka bahwa kebenaran bisa diwahyukan dalam cara apapun. Di satu sisi, diri ini semakin mendalami kebenaran yang diyakininya. Di sisi lain, diri tetap terbuka pada pewahyuan kebenaran di luar diri. Keterbukaan hati tampak dalam kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan dan menghargai orang lain. Dengan demikian, terjadi suatu dialog hati, hati yang terbuka mau mendengarkan hati lain yang mengungkapkan diri dan demikian pula sebaliknya.

Itulah yang terjadi dalam pertemuan antara Fransiskus dan Sultan; suatu dialog hati di antara pribadi-pribadi yang mencari kebenaran. Dikisahkan bahwa Sultan terkesan dengan kesederhanaan Fransiskus. Beliau mendengarkan Fransiskus berkhotbah bahkan minta didoakan. Sebaliknya, Fransiskus melihat Sultan sebagai pribadi yang sungguh menjunjung tinggi dan memuliakan Allah. Dialog pencarian kebenaran ini akhirnya membawa pada kesadaran bahwa kebenaran tertinggi adalah Allah sendiri. Bahwa mereka diciptakan untuk terus-menerus memuji, memuliakan, dan meluhurkan Allah di dalam doa dan ungkapan syukur. Doa dan ungkapan syukur yang berada dalam ranah pribadi diangkat kepada ranah sosial yang lebih luas, menyatukan semua ciptaan dan semua makhluk untuk menyelami kasih Allah yang tak terbatas, dan ini semua membawa pada sikap berserah pada kehendak Allah.

Dinamika perubahan itu bisa digambarkan sebagai berikut. Pribadi-pribadi yang gelisah dalam mencari kebenaran, senantiasa membuka hati terhadap pewahyuan kebenaran. Oleh karena itu, terjadilah suatu dialog hati, yang sungguh menghargai pribadi-pribadi lain yang juga mencari kebenaran. Dalam pencarian kebenaran itu, mereka menemukan Allah yang sama-sama dijunjung tinggi dan dimuliakan. Dan tidak hanya berhenti pada pujian-pujian, pribadi yang gelisah berusaha mencari kehendak Allah atas diri mereka, berserah pada kehendak-Nya. Biarlah Allah menjadi pusat hidup manusia dan seluruh ciptaan.

Perjumpaan Fransiskus dan Sultan memang tidak menghentikan jalannya perang. Namun, perjumpaan ini sungguh memberi inspirasi, menjadi embrio bagi munculnya dialog antar iman, dialog dan usaha menciptakan perdamaian dunia.

Bagaimana kisah Fransiskus dan Sultan ditatapkan dengan aksi yang kita buat saat ini? Jalan kaki yang kita lakukan adalah simbol gerak hati kita yang gelisah dalam mencari kebenaran. Saat refleksi ini adalah saat tenang di mana kita hendak membuka hati, menyiapkan diri untuk diubah (ditransformasi). Diskusi di Beringin Soekarno setelah ini adalah suatu dialog hati untuk menemukan Allah dan kehendak-Nya dalam suasana saling menghargai. Beringin yang ditanam Soekarno ini adalah simbol kerukunan, sikap mengayomi sekaligus kehidupan yang harus kita hargai dan kita pelihara. Suasana kerukunan dan penghargaan atas hidup ini akan kita wujudkan dalam diskusi dan hidup sehari-hari.

Kita datang bersama dari latar belakang yang berbeda karena kita adalah Indonesia yang memiliki keragaman suku, budaya, agama, dan penduduknya. Kita bersyukur bahwa keragaman ini bukan untuk diseragamkan, melainkan menjadi pintu masuk untuk duduk bersama, saling mendengarkan, dan saling menghargai. Kita bersyukur karena keragaman ini adalah kesatuan dan keutuhan untuk membangun perdamaian dan kerukunan. Kita bersyukur menjadi Indonesia.

Dalam kesatuan hati, kita panjatkan doa dan permohonan

Allah, sumber dan tujuan hidup manusia

Bukalah hati kami para pencari kebenaran sehingga mampu mendengar suara-Mu

Kami menyerahkan seluruh acara dan diskusi yang dilaksanakan hari ini ke dalam tangan-Mu.

Semoga sikap saling menghargai, toleransi, dan kerukunan dapat terjadi lewat acara ini dan member inspirasi bagi orang-orang di sekitar kami.

Dengan demikian, nama Allah semakin dimuliakan dan dijunjung tinggi oleh seluruh umat manusia dan segenap ciptaan. Amin.

 

Adrianus Bonifasius Riswanto, SJ

Campus Minister Sanata Dharma University

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *