Refleksi Pemain Tablo: Pesan Damai Tanpa Usai

Sekilas tampak tidak ada yang mencolok dari penampilan tablo Kisah Sengsara Yesus Kristus pada hari Jumat Agung, hari peringatan wafat-Nya Isa Almasih. Berlokasi di Kapel Bellamirnus, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, peringatan Jumat Agung dibuka dengan rangkaian kata pengantar dari Romo Agustinus Budi Nugroho, S.J. dari Campus Ministry Universitas Sanata Dharma dan dilanjutkan dengan drama Kisah Sengsara Yesus Kristus yang dipersembahkan oleh Teater Seriboe Djendela (TSD).

Drama Kisah Sengasara Yesus Kristus dimulai dengan adegan penangkapan Yesus oleh sejumlah prajurit dan penjaga Bait Allah di Taman Getsemani, dan diakhiri dengan detik-detik tragis penyaliban diri-Nya di Bukit Golgota oleh prajurit Romawi yang disaksikan oleh massa. Ceritanya didesain semirip mungkin dengan peristiwa sebenarnya agar totalitas kehidupan Sang Messiah terungkap. Mengikuti istilah Georg Lukacs, karya seni yang baik adalah karya seni yang realistik dalam arti sebenarnya, yaitu meniru realitas sedemikian rupa sehingga dalam masing-masing potret atau cerita mampu mengungkapkan kisah sesunggguhnya.

Foto: Claudius Hans

Selepas penampilan, sebagian umat terkejut saat mengetahui bahwa ketiga aktor dalam drama tersebut adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang tentunya beragama Islam. Mereka adalah Ahmad Sholahuddin (berperan sebagai Raja Herodes), Wakhyu Arif Pambudi (berperan sebagai Kayafas, Imam Agung di Bait Allah), dan saya sendiri, Ade Sabda Galah (berperan sebagai Hanas, Imam Agung di Bait Allah dan mertua Kayafas). Tak ayal, dalam sekejap ketiganya mampu menyedot perhatian umat dan bahkan sebagian dari mereka harus rela antri untuk sekedar bisa berfoto dengan aktor-aktor “ajaib” tersebut, meski sebagian ada yang acuh, heran, kagum, hingga mungkin juga terharu dengan ke-“aneh”-an kami. Entahlah.

Beberapa hari sebelum ibadah Jumat Agung itu, saya sempat disindir oleh seorang sahabat dalam sebuah pertemuan. Ia mempertanyakan status keimanan saya setelah lama bergelut dengan isu toleransi dan keberagaman. Terlebih, sejak mereka tahu bahwa saya akan berpartisipasi dalam drama Kisah Sengsara Yesus Kristus pada hari Jumat Agung nanti. Namun sebenarnya pertanyaan ataupun pernyataan semacam, “Apakah kamu masih Islam?” atau, “Dengar-dengar kamu sudah pindah agama,” seolah sudah jadi kata sapaan bernada curiga dan penasaran (bahkan terkadang juga olokan) khas kawan-kawan setiap kali saya berjumpa dengan mereka. Untuk itu, demi menghindari kesimpulan naif dan praduga yang terlalu mengada-ada, saya akan memulai refleksi singkat ini dengan sekilas mencoba memaknai toleransi pada makna sebenar-benarnya, sehingga pernyataan maupun pertanyaan yang membenturkan sikap toleransi dengan status keimanan seseorang diharapkan tidak lagi mengemuka.

Istilah “toleransi” berasal dari Bahasa Latin “tolerare” yang artinya: mengendalikan diri, bersabar, memberi kesempatan orang lain untuk mengajukan pendapat, dan lapang dada menerima perbedaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “toleran” memiliki arti “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”. Untuk itu, sebagai konsekuensi terminologis, toleransi mengharuskan dua syarat utama, yaitu sikap terbuka terhadap perbedaan disertai komitmen penuh terhadap keyakinannya sendiri. Mengorbankan keimanan untuk alasan apapun sama sekali bukan toleransi karena toleransi itu sendiri pada hakikatnya meniscayakan perbedaan. Jika setiap orang menuju pada satu simpul iman yang sama, maka perbedaan akan sirna. Artinya: sikap toleran tidak lagi dibutuhkan.

Foto: Judha Jiwangga

Dengan demikian, toleransi bukanlah konversi. Setiap orang dituntut untuk bersikap toleran dengan tetap berpegang teguh pada iman dan agama masing-masing. Sebab jika semuanya melebur menjadi satu, maka istilah toleransi tidak lagi relevan. Tahukah Anda bahwa pada hari-hari latihan dan persiapan pentas, kami saling mengingatkan satu sama lain untuk segera beribadah apabila waktu ibadah tiba? Tahukah Anda, bahwa setiap sebelum memulai kegiatan selalu kami awali dengan doa menurut iman dan kepercayaan masing-masing? Tahukah Anda bahwa setiap waktu shalat tiba kami (para aktor Muslim) tetap shalat di tengah kesibukan kami berlatih? Tidak ada yang harus dikorbankan dalam kebersamaan kami. Kalaupun ada, satu-satunya hal yang paling pantas untuk kami korbankan adalah egoisme.

Lebih jauh, sebagian orang berpendapat bahwa toleransi saja tidak cukup. Milad Hanna (2005) misalnya mengusulkan istilah baru yang lebih aktif dan egaliter, yaitu “menyongsong sang liyan (qabulul akhar)”. Keduanya mensyaratkan hal serupa, hanya saja yang terakhir tidak sekedar membiarkan tapi juga ikut terlibat dan aktif membantu dan merawat eksistensi yang lain (the others). Istilah ini sebenarnya hanya istilah lain dari “koeksistensi” yang lebih sering kita dengar. Inilah yang sejak awal didorong oleh negara dalam semboyan “gotong-royong” dan juga agama (Islam) dalam penggalan ayat “fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan)”. Inilah yang menjadi motif awal keterlibatan kami dalam drama penyaliban tersebut. Secara teologis, tentu kami tidak sepakat dengan sebagian adegan dalam drama tersebut dikarenakan narasi sejarah yang berbeda. Namun hal tersebut bukan alasan untuk membenarkan sikap apatis dan acuh tak acuh terhadap mereka yang berbeda. Kami percaya bahwa kehidupan harmonis tidak harus dibangun di atas pondasi kesepakatan, dan kami terus belajar untuk sepakat dalam ketidaksepakatan.

Dalam drama tersebut, saya diminta untuk memerankan sosok Hanas, salah satu Imam Agung di Bait Allah yang bersama dengan Kayafas ikut bertanggung jawab atas wafat-Nya Yesus di kayu salib. Bagi teman-teman Katolik, drama Kisah Sengsara Yesus Kristus ini tidak hanya mengandung nilai kesenian tapi juga ibadah (biasa disebut Ibadah Jalan Salib) karena ditujukan agar umat dapat merefleksikan kisah heroik Sang Juru Selamat di akhir sisa-sisa hidupnya untuk menyongsong hari Paskah, hari kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Oleh sebab itu, kami mencoba untuk tampil seoptimal mungkin agar umat merasakan betapa besarnya pengorbanan Yesus Kristus bagi umat-Nya. Karakter Hanas yang licik dan angkuh saya coba dalami agar umat merasakan langsung gentingnya situasi kala ia menghasut Pilatus dan Raja Herodes untuk segera menghukum mati dan menyalibkan Yesus. Walhasil, sebagian umat pun terlihat larut dalam suasana. Hal ini tampak dari raut wajah dan reaksi mereka saat melihat karakter Yesus dicemooh, ditertawakan dan bahkan disesah oleh prajurit-prajurit Romawi.

Banyak hal yang saya dapatkan dari keterlibatan saya di atas. Sahabat-sahabat baru yang sepanjang persiapan belajar dan berlatih bersama-sama menghadirkan suasana kekeluargaan. Walaupun dalam beberapa hal kami sempat berbeda pandangan, namun hal itu sama sekali tidak mampu mengurai kembali tali persahabatan kami yang sudah terajut erat. Pertemuan tiga kali dalam seminggu selama kurang lebih dua bulan cukup mengikat dan membangun kedekatan emosional di antara kami. Kami telah membuktikan bahwa perbedaan identitas apapun, termasuk agama dan suku yang akhir-akhir ini kerap digoreng untuk kepentingan-kepentingan tertentu, sama sekali tidak menjadi hambatan untuk menguatkan relasi persahabatan.

Foto: Wahyu Nur Cahyo

Masalahnya, orang terkadang cenderung “minder” duluan saat berhadapan dengan perbedaan dan keberagaman. Rasa khawatir bahwa iman mereka akan tergerus sontak menghentikan langkah mereka untuk berbagi dengan mereka yang berbeda. Berbagai macam tabir pun dipasang untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut terjadi. Nah, tabir-tabir ini kemudian menjadi tembok pembatas di dalam hubungan antar umat beragama. Untuk membongkar tembok tersebut orang harus paham dan menyadari logika paling sederhana berikut; sadarkah kita bahwa kekhawatiran tersebut pada hakikatnya menandakan adanya celah keraguan dalam diri kita tentang kebenaran iman kita sendiri? Dan itu artinya kita baru saja menyediakan ruang kemungkinan bagi kebenaran iman dan agama lain. Sebaliknya, keberanian untuk bersikap terbuka dalam menerima dan menghargai perbedaan mengindikasikan kemantapan iman sehingga tak ada rasa segan apalagi takut saat berhadapan dengan perbedaan. Saya tidak bermaksud untuk mengklaim bahwa keimanan saya sudah mapan, tapi setidaknya begitulah cara logika bekerja.

Hal lain yang saya peroleh adalah pemahaman komprehensif tentang sejarah kematian Yesus Kristus dalam perspektif Kristiani. Informasi macam ini sulit saya dapatkan dari buku atau ceramah dosen. Jika kita mau mengutip empirisme radikal-nya William James, maka satu-satunya informasi dan pengetahuan yang bisa diterima adalah jenis informasi dan pengetahuan yang dialami secara langsung (atau paling tidak berusaha mengalaminya, pen). Informasi yang saya dapatkan dari membaca buku dan mendengarkan dosen bukanlah pengetahuan sebenarnya sampai saya (berupaya) mengalaminya secara langsung dengan merepresentasikan kisahnya dalam bentuk apapun, termasuk karya seni teater.

Akhirnya, saya sangat paham dan sadar bahwa pilihan ini mungkin oleh sebagian orang akan dipandang hina dan mungkin dianggap sebagai konsekuensi atas pemahaman dangkal saya terhadap agama, yang suatu saat dapat menyeret saya pada lubang kekufuran. Apa yang saya ingat dan pahami hingga kini hanyalah nasehat guru ngaji saya semasa kecil dulu di surau, bahwa Islam adalah agama yang merangkul siapa pun bukan memukul siapa pun. Saya meyakini bahwa iman bukanlah barang murahan yang dapat dibeli dengan harga berapa pun kecuali Tuhan sendiri yang menghendakinya. Untuk itu, jangan pandang kami seperti para politisi, yang untuk kepentingan politik tertentu harus rela gonta-ganti “iman”. Kami juga bukan kriminal, yang untuk mendapatkan sejumlah uang harus rela menghalalkan segala cara. Kami hanyalah sekumpulan anak muda yang dengan bekal “keanehan”-nya terus berupaya menggemakan nilai-nilai perdamaian agar tetap nyaring dan tidak tertimbun oleh gemuruh suara politik.

*****

Ade Sabda Galah

*Penulis lahir di Sumenep, Madura, 15 Januari 1994. Pendidikan Menengah dan Atas diselesaikan di PP. Al-Amien Prenduan pada tahun 2009-2013. Pernah menjadi pimpinan redaksi Majalah Pesantren ZEAL. Belum lama ini, penulis baru saja menyelesaikan studinya di UIN Sunan Kalijaga. Saat ini, penulis aktif sebagai aktivis dan pegiat HAM di ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika) Yogyakarta, serta banyak terlibat dalam aksi-aksi perdamaian bersama YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community). Karya lain yang pernah ditulisnya adalah Stigma Buruk Terhadap Pesantren, Relevansi Dakwah dalam Semangat Toleransi, dan Kontestasi Pilkada DKI: Untuk Siapa?

Sumber Tulisan: http://bedaitubiasa.com/2018/04/05/refleksi-pemain-tablo-pesan-damai-tanpa-usai/

 

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *