Pulang ke Rumah

Pulang ke Rumah

Oleh: Gregorius Prima Dedy Saputro (Juara II Lomba Esai SALT 2015)

 

“Inilah waktunya,” kata Janet. “Membalas kebaikan yang telah diberikan kepada saya selama ini dan membantu masyarakat. Kami harus menemukan cara untuk bertahan bersama,” Janet mengawali cerita[1]. Janet DeNeefe adalah seorang penulis dari Australia. Ia hijrah dari Melbourne ke Bali 30 tahun yang lalu. Di Bali, ia menggagas sebuah festival yang saat ini dianggap sebagai festival sastra dan budaya termasyur di Asia Tenggara, yaitu Ubud Writer & Readers Festival (UWRF).

Satu hal yang menarik dari kisah Janet seperti yang ditulis oleh Windy Ariestanty adalah tentang perwujudan iman Janet lewat sastra. Tahun 2002, Bali ditimpa bencana kemanusiaan, yaitu bom Bali. Kejadian itu menorehkan luka yang dalam bagi Janet. Ia merasa kehilangan “rumah” yang telah memberikan banyak hal kepadanya. Di tengah rasa “kehilangan”, ia tergerak untuk berbuat sesuatu. Ia ingin menyembuhkan luka atas tindakan terorisme yang telah merusak “rumah”nya. Lewat sastra-lah, ia ingin mengembalikan keindahan “rumahnya” dan membangkitkan jiwa kemanusiaan di dalam setiap insan.

Saya melihat pancaran iman yang jujur, tulus dan menyentuh dari diri Janet. Ia memilih untuk mengangkat pena daripada pedang. “Karena saya percaya pena lebih tajam daripada pedang, acara itu haruslah festival penulis yang fokus kepada hak asasi manusia”, tutur Janet[2]. Kekerasan, penderitaan dan luka yang diterimanya tidak dibalas dengan kekerasan tetapi melalui pesan kemanusiaan untuk semua insan.

Perwujudan iman Janet tampak dalam terselenggaranya UWRF pertama setelah bom Bali pada tahun 2002. Ia mengundang 128 penulis dari 11 negara. Bagi saya, iman Janet membawanya “pulang” kepada satu roh universal, yaitu kemanusiaan/hak asasi manusia. Atas jerih lelahnya, ABC’s Asia Pacific Network menyebut UWRF sebagai “The Next Edinburg Festival of Asia”. Sebuah iman yang jujur, tulus dan menyentuh selalu membawa setiap insan untuk menyuarakan kemanusiaan/ hak asasi manusia.

 

Roh yang sama

Saya membayangkan, dalam UWRF ada Roh Ilahi yang melayang-layang di atas kepala setiap peserta. Seolah-olah, Roh Ilahi selalu membisikkan refrain kemanusiaan di dekat telinga para peserta. Roh Ilahi selalu “menunjukkan jalan”, meminta para peserta untuk menebarkan benih-benih kemanusiaan di setiap goresan pena mereka.

Roh Ilahi meresap dalam passion setiap penulis. Ada gairah, semangat dan inspirasi untuk merangkai kata-kata. Harapannya sederhana, yaitu setiap orang yang membaca karya mereka dapat merasa tergugah dan menularkan passion penulis kepada semakin banyak orang.

Satu pertanyaan muncul yaitu, darimana asalnya Roh Ilahi tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya tertarik untuk mengutip perkataan Ayu Utami. Ia mengatakan bahwa “persamaan hantu-hantuan dan tuhan-tuhanan adalah keduanya tak bisa dibuktikan secara material dan obyektif[3].” Pernyataan tersebut ingin mengatakan bahwa pembuktian tuhan-tuhanan dan hantu-hantuan secara material dan obyektif adalah tidak bisa. Dengan kata lain, pencarian semacam itu bukanlah sesuatu yang esensial. Ada sesuatu yang lebih esensial untuk dilakukan, yaitu melihat Roh Ilahi dari “buah-buahnya”.

Dalam iman Katolik, diungkapkan tentang buah-buah Roh. Terdapat tujuh buah-buah Roh dalam kehidupan, yaitu “kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri”(Gal 5:22-23). Lalu, dalam ayat 23b dikatakan bahwa, “tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” Pernyataan itu hendak menegaskan tentang ekspresi iman yang nyata dalam keseharian. Ada buah-buah rohani yang terlihat. Penghayatan Tuhan setiap pribadi dilihat dari buah-buahnya. Kendati ada penghayatan konsep Allah yang tidak sama disetiap agama, ada beberapa tanda “apakah iman saya sudah membuahkan sesuatu?”

Terkadang, agama sibuk dengan dirinya sendiri. Setiap agama mencari konsep Allah yang paling benar, luhur dan sejati. Pencarian itu menyebabkan “mata” setiap agama menjadi kabur. Setiap agama sibuk membela Allah mereka, padahal Sang Allah tidak perlu dibela. Akibatnya, setiap agama mencoba untuk menyingkirkan agama lain dengan cara radikalisme agama, intoleransi dan terorisme. Maka, yang tertinggal adalah sebuah paksaan para konseptor allah dalam tubuh agama. Padahal, semua agama hidup, tumbuh dan berkembang dalam tanah yang sama. Semua agama tinggal di bumi yang sama. Entah ekspresi iman yang sangat berbeda, tetapi saya yakin perwujudan iman semua agama adalah sama, yaitu kemanusiaan.

Janet DeNeefe adalah seorang yang berjalan di jalur kemanusiaan. Ia adalah seorang Australia, tinggal di Bali-Indonesia, hidup dengan orang Indonesia, berjuang dalam UWRF dengan banyak pihak yang berbeda agama-budaya-latar belakang, kerjasama dengan beraneka ragam bahasa. Lengkaplah sudah perbedaan yang dapat didaftar. Bisa saja ia berdiam diri di “area nyaman”. Namun, ia ternyata ingin keluar dari sangkar dan memasuki “area beresiko”. Menurut saya, satu hal yang menuntunnya adalah iman. Kekuatan imannya menggugahnya untuk berpihak kepada mereka yang kecil, lemah dan tertindas.

 

Jalan yang sama

Janet mengakui bahwa tantangan terbesar untuk menyelenggarakan UWRF adalah pendanaan. Ia berusaha memutar otak untuk mengelola anggaran yang digunakan untuk menghadirkan para penulis. Tentu, yang dihadirkan bukan hanya orang yang punya “nama” dalam sastra, tetapi mereka yang peduli terhadap isu hak asasi manusia, isu global dan kebaikan untuk masyarakat[4].

Selalu ada tantangan untuk memperjuangkan kebaikan. Janet telah masuk ke “area beresiko”. Ia telah basah kuyup untuk memperjuangkan passion, iman dan keyakinannya di tengah masalah pendanaan. Tentu, ada hal yang membuatnya lelah dalam berjuang. Namun, saya yakin bahwa tak ada pekerjaan yang sia-sia jika dilandasi oleh keyakinan atau iman. Rasa kemanusiaan itulah yang memampukannya untuk selalu berjuang dalam keterbatasan tersebut.

Selalu ada harapan dibalik perjuangan. UWRF telah berlangsung sebanyak 13 kali kendati pada tahun 2015, ada beberapa agenda UWRF yang dibatalkan karena isu 1965 dan reklamasi Bali[5]. Di tengah kesulitan tersebut, para penulis dan pemerhati kemanusiaan tetap membanjiri Ubud untuk menyemarakkan UWRF. Inilah wujud harapan yang menyala. Ada percikan semangat yang tampak di dalam setiap peserta. Rasa kemanusiaan menggerakkan mereka untuk tetap berkumpul di Ubud. Di dalam forum inilah, para pemikir-penulis-pembaca dapat menyatukan hati untuk berjalan di jalan yang sama. Mereka sepakat untuk membawa pesan kemanusiaan di dalam perjalanan mereka.

Setelah para peserta sepakat untuk berjalan bersama, ada sebuah “peta” yang diberikan. Tugas mereka adalah berjalan, menyusuri lorong-lorong jalan yang kecil, sempit, jarang dilalui orang dan berbatu. Jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan tol yang mulus, tetapi penuh dengan kotoran dan berbau. Di sana, mereka akan menemui anak yang menangis tersedu-sedu karena ayahnya hilang diculik oleh sekelompok orang, seorang ibu yang tetap menunggu anaknya yang telah hilang setelah demonstrasi di depan gedung DPR, seorang istri yang setia menuntut keadilan bagi suaminya yang dibunuh oleh oknum tertentu dan anak-anak yang kehilangan lapangan bola karena penambangan emas yang memakan area bermain mereka.

Para peserta sungguh digerakkan untuk merekam, menulis dan menyuarakan keluh kesah orang-orang yang ditemui di jalan. Orang-orang yang ditemui di jalan adalah gambaran pribadi-pribadi yang dikalahkan oleh ketidakadilan. Mereka sebenarnya ingin melawan, tetapi suara, langkah dan daya mereka terlalu lemah untuk meruntuhkan tembok ketidakadilan. Mereka membutuhkan teman untuk berjalan dan berjuang bersama. Mereka membutuhkan teman seperjalanan yang menyuarakan hak asasi mereka.

Dengan iman, jeritan pribadi-pribadi yang kalah dapat terdengar oleh para peserta. Walaupun lirih dan berada di tempat yang tersembunyi, para peserta diajak untuk peka terhadap jeritan yang lirih karena dibungkam. Dengan iman itulah, para peserta tidak tersesat dan tahu jalan pulang ke rumah.

 

Simple Miracles

Janet merasa terluka dan hancur karena “rumahnya” dinodai oleh terorisme. “Rumahnya” dibom oleh sekelompok umat yang membawa nama Allah. Dalam keadaan itu, Janet bisa saja hanya mengutuki dan mencaci perbuatan mereka. Namun, ia berhasil memenangkan imannya. Ada simple miracles yang terjadi di dalam peristiwa tersebut.

Pengeboman tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Dilihat dari sisi manapun, tidak ada sisi positif yang dapat diambil. Selalu ada luka jika mengingat peristiwa tersebut. Selalu ada kebencian jika kita kembali ke momen tersebut. Namun, iman membuat Janet melihat masa depan. Iman memampukan dirinya dapat berdamai dengan perasaannya, dengan kehancuran dan dengan kekecewaannya. Iman membawanya kepada pilihan fundamental untuk bergerak. Iman membawanya kepada sesuatu yang sungguh baru, yaitu menggagas UWRF. Sebuah pilihan yang asimetris. Ia memilih mengampuni sesuatu yang seharusnya ia kutuk. Ia yakin bahwa UWRF adalah cara terbaik untuk memerangi terorisme dan menumbuhkan jiwa kemanusiaan pasca tragedi bom Bali[6].  Inilah sebuah simple miracles yang terjadi.

Berkaitan dengan simple miracle, Ayu Utami mengatakan bahwa “jika mukjizat datang, mungkin ia memang datang tanpa sensasi. Kadang mukjizat tersebut hadir begitu sederhana, sehingga kita enggan mengakuinya[7].” Dalam kehidupan harian, begitu banyak yang terjadi dan berlalu begitu saja. Kitapun kadang tidak mendapatkan makna apapun dalam peristiwa harian. Bahkan, kita dapat melupakan dengan cepat apa yang baru saja kita alami.

Namun, berbeda dengan Janet. Ia mampu bertolak ke tempat yang lebih dalam. Ia mampu merefleksikan pengalaman harian menjadi sebuah makna esensial yang menggerakkan dirinya untuk berbuat sesuatu. Bagi saya, inilah peran iman dalam melihat sapaan Allah yang lirih tetapi nyata dalam kehidupan harian. IA hadir secara nyata dalam peristiwa yang terkesan remeh temah. IA ingin menyampaikan pesan luhur dalam kegiatan harian.

Selain itu, IA hadir dalam diri manusia, terlebih manusia yang miskin, lemah dan tersingkir. IA hadir dalam pribadi yang mengalami ketidakadilan. Seolah-olah, IA ingin menarik diri kita untuk mendekati, membalut luka, dan memberikan tumpangan bagi mereka yang tertekan, bingung, tersiksa dan dipinggirkan. IA sungguh hadir dan berjuang bersama mereka yang miskin, lemah dan tersingkir. Semua itu disingkapkan kepada kita dengan kacamata iman. Oleh karena iman, kita dapat memaknai peristiwa harian menjadi sebuah panggilan untuk peduli dan berbelarasa. Sebuah panggilan untuk memanusiakan manusia yang kecil, lemah dan tersingkir. Sebuah panggilan yang selalu mengusik iman kita untuk menyuarakan kemanusiaan / hak asasi manusia.

 

Pulang ke Rumah

Janet telah menemukan jati diri imannya. Jati diri iman yang sejati adalah iman yang telah menemukan jalan “pulang ke rumah”. Sebuah iman yang selalu terusik dengan ketidakadilan dan selalu menyuarakan kemanusiaan. Iman yang selalu rindu akan “rumah”. Sebuah “rumah” yang selalu menawarkan sebuah kedamaian sejati.

Sebagai seorang pelajar yang mendalami teologi, saya tergerak untuk menemukan jati diri iman saya. Saya tergerak untuk mengungkapkan iman sesuai passion yang saya miliki, yaitu teologi. Janet telah memberikan teladan untuk mewujudkan iman sesuai dengan passion-nya, yaitu sastra. Janet telah sukses mewujudkan imannya dalam sastra untuk menyuarakan hak asasi manusia.

Ilmu teologi yang saya pelajaripun harus tahu jalan pulang ke rumah. Iman yang mengingatkan saya akan sangkan parananing dumadi. Iman yang pulang ke rumah selalu mengarahkan dirinya sendiri kepada kemanusiaan, seperti yang dialami oleh seorang Uskup El Salvador –  Amerika Latin, yaitu Oscar Romero.

Saat Oscar Romero memimpin Gereja El Salvador, situasi yang terjadi adalah kemiskinan, ada represi negara dan persoalan politik dan strukturnya[8]. Situasi saat itu menunjukkan ada sebuah ketidakdilan dan pelanggaran kemanusiaan. Selain itu, ada ketakutan Gereja Katolik terlalu terlibat dalam situasi politik tersebut.

Agar Gereja Katolik tidak terlalu berkonfrontasi dengan politik pemerintahan, Vatikan menunjuk seorang iman “yang berada di pihak mereka” untuk menjadi Uskup baru El Salvador. Vatikan berharap Uskup baru yang terpilih akan membenahi imam yang berpolitik dan menuntun Gereja kembali ke tugas rohani saja[9]. Pendek kata, Vatikan memilih seorang imam yang dikenal konservatif, dengan harapan tidak berbuat neko-neko dengan politik dan pemerintahan. Akhirnya, Vatikan memilih Oscar Romero.

Maka, bagi para iman yang berpolitik dan menyuarakan kemanusiaan di tengah ketidakadilan El Salvador, kehadiran Uskup baru Oscar Romero tidak membawa harapan baru. Mereka memandang Oscar Romero tidak mendukung usaha para imamnya. Benar saja, yang terjadi adalah Oscar Romero banyak berseteru dengan para imam yang terlalu terjun ke dalam politik. Bahkan, ia menyebut para imam Jesuit di El Salvador sebagai Marxis.

Namun, ada satu pengalaman yang “membuka matanya”. Sahabat Oscar Romero ditembak dari belakang saat dalam perjalanannya menuju suatu ibadat. Ia adalah Rutilio Grande. Seorang imam yang berkonfrontasi dengan pemerintah yang menindas rakyat. Dalam kotbah-kotbahnya, ia mengkritik ketidakadilan. Berbagai usahanya seperti membentuk para pewarta Sabda (delegatos de la palabra), membentuk serikat pekerja dan berkotbah dengan sangat tajam bagi para pemerintah yang tidak adil.

Konsekuensi dari tindakan Rutilio Grande adalah kematian. Ia dianggap berbahaya bagi pemerintahan dalam keadaan politik saat itu. Jenazahnya di semayamkan di depan altar Gereja El Paisnal. Saat itu, Oscar Romero hadir untuk melayat. Melihat jenazah sahabatnya dan ribuan rakyat yang mendukung perjuangan Rutilio Grande, Oscar Romero mengalami pertobatan. Iman telah menghantarkannya untuk “pulang ke rumah”. Ia tergerak untuk meneruskan usaha sahabatnya.

Sebagai reaksi atas pembunuhan Rutilio Grande, Oscar Romero menolak mengambil bagian dalam pemerintahan sampai ketidakadilan diselesaikan. Selain itu, langkah radikal lainnya adalah hanya ada satu misa di seluruh Keuskupan, yaitu di Katerdral El Salvador. Dalam kotbahnya, ia bahkan mengatakan, “Siapa yang menyentuh imam saya, dia menyentuh saya”. Walaupun usahanya ditentang Vatikan, ia tetap teguh dalam pendirian. Akhirnya, lebih dari 100.000 orang berkumpul.

Melihat langkah Oscar Romero, Vatikan merasa perkiraan mereka tentang Oscar Romero keliru. Ia bersikap sangat berbeda dengan harapan awal. Saat Oscar Romero ditanya tentang sikapnya yang berubah, ia mengatakan, “Saya sama sekali tidak berubah. Saya hanya telah menemukan jalan pulang. Saya ingin kembali ke asal saya.” Pernyataan itu menunjukkan sebuah iman yang telah “pulang ke rumah”. Iman Oscar Romero membawa kepada pilihan untuk tinggal dan berjuang bersama kaum tertindas. Imannya membawanya untuk menyuarakan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi kemanusiaan.

Janet dan Oscar Romero adalah gambaran pribadi-pribadi yang telah membawa iman mereka untuk “pulang ke rumah”. Sebuah “rumah” yang menawarkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

 

Rumah yang Teduh

Roh dan jalan yang sama membawa iman setiap orang untuk berdoa dengan intensi yang sama, yaitu mengharapkan “rumah yang teduh”. Rumah yang dapat untuk melepaskan penat dan lelah dari keriuhan, panas dan keruwetan di dalam dunia. Dengan sangat indah, lagu the Prayer memberikan doa bagi dunia sebagai “rumah yang teduh”. Salah satu barisnya berbunyi Sognamo un mondo senza piu violenza. Un mondo di giustizia e di speranza, Ognuno dia la mano al suo vicino, simbolo di pace di fraternita (Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan)[10].

Lagu tersebut hendak menyentuh kerinduan terdalam setiap iman kita, yaitu mendambakan situasi yang adil dan damai. Situasi yang jauh dari ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan. Namun dalam realitas, ada beberapa kenyataan yang sangat bertentangan dengan ideal itu. Ada radikalisme agama dari ISIS dan Boko Haram, terorisme yang terjadi di Paris, kekerasan kepada etnis Rohingya, pelanggaran hak asasi manusia, dll. Lalu, bagaimana sikap kita berhadapan dengan realitas yang tidak mempunyai hati tersebut?

 

Inilah Waktunya

Marilah menjadi pribadi yang membawa harapan. Di tengah situasi yang memprihatinkan tersebut, iman kita selalu mengajak untuk “pulang ke rumah”. Iman kita menuntun kita untuk peduli kepada sesama, menggugat ketidakadilan dan menyuarakan kemanusiaan. Perjuangan untuk “pulang ke rumah” selalu membawa sebuah harapan bagi kesejahteraan bersama (bonum commune).

Sekecil apapun tindakan kita untuk menunjukkan harapan, jangan pernah ragu dan merasa sia-sia. Jangan pernah ragu untuk mewujudkan iman yang ramah, santun, akrab dan bersaudara dengan siapapun. Jangan pernah ragu untuk berkorban bagi sesama. Jangan pernah ragu untuk berkata, “inilah waktunya” untuk mewujudkan iman kita dalam tindakan nyata. Sebab, seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26).

 

Terima Kasih dan Berkah Dalem

Kentungan, 6 Desember 2015

 

[1] Windy Ariestanty dalam Kompas edisi Selasa, 1 Desember 2015 dengan Judul “Menghidupkan Kemanusiaan lewat Sastra”.

[2]  Windy Ariestanty, “Menghidupkan Kemanusiaan lewat Sastra”, 25.

[3] Ayu Utami, Simple Miracles, 2014, Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, 102.

[4] Windy Ariestanty, “Menghidupkan Kemanusiaan lewat Sastra”,  25.

[5] Windy Ariestanty, “Menghidupkan Kemanusiaan lewat Sastra”,  25.

[6] Windy Ariestanty, “Menghidupkan Kemanusiaan lewat Sastra”,  25.

[7] Ayu Utami, Simple Miracles, 2014, Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, 112.

[8] Martin Maier, Oscar Romero, 2008, Ledalero, Maumere, 24.

[9] Martin Maier, Oscar Romero, 25.

[10] Mgr. Ignatius Suharyo, the Catholic Way, 2009, Kanisius, Yogyakarta, 237.

 

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *