Pemuda Teguh Hati dari Gonzaga

Dengan tulisan di bawah ini, kita akan memperoleh gambaran yang lain daripada kesan yang selama ini kita punyai tentang Santo Aloysius Gonzaga. Tulisan ini dibuat oleh Bede, seorang seniman yang gemar membaca tentang kehidupan orang kudus.

Empat puluh tahun lalu, ibu memberi saya dua buku untuk menyambut komuni pertama saya: buah buku tentang hidup Yesus, dan buku gambar orang-orang kudus. Saya menyukai buku gambar orang kudus itu. Buat anak-anak, gambar memang lebih berbicara daripada tulisan. Dalam buku itu terdapat lukisan St. Aloysius. Ia tampak sangat manis seperti malaikat dengan bunga bakung. Kebanyakan gambaran yang kelak kemudian saya peroleh makin menguatkan lagi praduga saya: St. Aloysius adalah pribadi yang manis dan lemah gemulai.

Namun, mungkin karena penasaran, saya memutuskan untuk membaca buku tebal biografi St. Aloysisus. Saya ingin menemukan siapa St. Aloysius itu senyata-nyatanya. Praduga awal saya akhirnya tanggal, dan saya menemukan citra St. Aloysius yang sesungguhnya: seorang pribadi yang lebih menyerupai pohon ek yang kukuh, bukan pribadi gemulai seperti permen atau manisan lunak, sebagaimana yang sering digambarkan. Di dalam diri pemuda ini sesungguhnya tersimpan suatu sikap keras dan teguh hati yang dapat menginspirasi banyak orang. Berikut ini saya akan menyampaikan lima jalan dan citra yang menggambarkan kekuatan karakternya itu.

Hasrat Meninggalkan Hidup Sebagai Bangsawan

Sebagai anggota keluarga Gonzaga dari Castiglione yang terhormat, Aloysius (Latin untuk Louis), dilahirkan dalam kekayaan dan kemewahan berlimpah. Para pelayan dengan setia mendampinginya; ia mempunyai makanan dan pakaian yang terbaik, serta guru-guru pribadi yang siap mendidiknya; uang simpanannya melimpah, dan mungkin yang paling menarik dari semuanya itu, ia ternyata merupakan ahli waris salah satu dari bangsawan paling makmur dan berpengaruh di Eropa. Ayahnya, Ferrante de Gonzaga (Don Ferdinand), seorang marquis dari Castiglione, memperkenalkannya hidup kemiliteran pada usia empat tahun, dengan harapan bahwa Aloysius dapat belajar “seni berperang”. Selama dua bulan, Aloysius tinggal bersama satu peleton prajurit, menembakkan satu meriam dan menyerap segala ungkapan kasar yang umum dipakai di kamp, suatu hal yang kemudian ia sesali dalam hidupnya.

Akan tetapi, pada umur tujuh tahun, Aloysius rupanya memiliki rencana lain dalam hidupnya. Ia harus beristirahat total karena diserang malaria kuartana. Bersamaan dengan bibit malaria yang membuatnya sakit, Allah menanamkan benih lain yang akan bertumbuh pada waktunya. Dalam usia semuda itu, ia mengungkapkan kepada ibunya, Marta, hasrat untuk membaktikan hidupnya kepada Allah. Sang ibu mengatakan bahwa hal itu mungkin sulit karena ia adalah anak tertua keluarga Gonzaga. Meskipun demikian, cita-cita tumbuh beriringan dengan keyakinan bahwa kebangsawanan bukanlah hidup yang ia inginkan. Hasrat untuk meninggalkan gaya hidup mewah itu menyingkapkan kekuatan terdalam Aloysius.

Gaya Hidup Keras

Walaupun dimanjakan dengan berlimpahnya kekayaan, Aloysius mulai hidup yang keras layaknya seorang rahib Kartusian. Misalnya, walaupun sudah disediakan makanan terbaik, ia tetap berpantang dengan hanya makan roti dan minum air setiap tiga hari seminggu. Walaupun keenam saudaranya berpakaian megah sesuai gaya zaman Renaissance, ia memilih untuk berpakaian sangat sederhana, seringkali hanya mengenaikan pakaian serba hitam. Ia menolak menghadiri pesta-pesta di istana dan lebih memilih hidup dalam kesunyian doa.

Sebagai tambahan atas penyangkalan diri tersebut, ia juga melakukan penitensi yang cukup keras. Sebagai contoh, ia bangun pada malam hari untuk berdoa, berlutut di lantai batu tanpa alas apapun; ketika udara dingin di luar rumah, ia akan membuka jendela dan hanya berpakaian tipis; ia mencambuknya dirinya dengan sebuah tali kekang anjing, dan melakukan praktik “menjaga pancaindera” dalam pergaulan dengan perempuan. Hal terakhir ini membuat orang lain menyebutnya “munafik”, walaupun intensinya tampak sungguh murni.

Tidak diragukan lagi, laku kesalehan pada zaman itu dan bacaan-bacaannya mengenai tindakan heroik para orang kudus Abad Pertengahan memengaruhi praktik hidupnya. Bagi orang-orang modern, penyangkalan diri semacam itu akan dirasakan sangat keras dan bahkan masokistik. Akan tetapi, ia tampak sungguh mengejar kesucian hidup dengan sepenuh hati. Lebih dari itu, sungguh amat membutuhkan keberanian sejati untuk meninggalkan kenikmatan dan popularitas kebangsawaan serta menunjukkan bahwa ia sama sekali bukan orang yang lemah.

Menanggung Beban Penolakan Ayahnya

Benih yang Allah tanam pada umur tujuh tahun berbuah pada umur 15 tahun. Kepada ibuya, ia mengungkapkan hasratnya untuk menjadi Jesuit, yang saat itu baru dibentuk.Ibunya yang saleh itu sebenarnya bersukacita mendengar pilihan anaknya itu. Ia memberitahu Don Ferdinand, suaminya, mengenai hasrat Aloysius itu. Mendengar hal itu, sang ayah sungguh amat marah karena ia sebenarnya amat berharap putra tertuanya itu meneruskan jejaknya.

Ketika Aloysius mendekati ayahnya, ia menerima teguran keras dan ancaman cambuk. Ayahnya terutama marah karena ia memilih Serikat Jesus; St Ignatius, pendirinya, melarang para imamnya untuk menerima martabat dan jabatan tinggi dalam Gereja, seperti menjadi uskup. Don Ferdinand memberi tekanan yang amat sangat kepada Aloysius agar ia berubah pikiran. Secara khusus ia mencari setiap jalan untuk mejauhkan Aloysius dari keingan menjadi Jesuit, dengan bantuan dari beberapa imam. Upaya itu tidak berhasil; Aloysius tetap teguh pada pendiriannya ibarat benteng kastil Gonzaga.

Pada masa pencobaan ini, Aloysius memperlihatkan sikapnya yang gagah berani, terutama dalam hal kesabaran; seperti dikatakan St. Thomas Aquinas, “Kesabaran adalah suatu kbajikan yang tumbuh bersama dengan ketabahan.” Akhirnya, setelah dua tahun berkonflik, Aloysius mendekati ayahnya yang saat itu menderita sakit, lalu berkata, “Aku berada dalam kuasamu, Ayah, dan engkau dapat berbuat kepadaku apa yang engkau suka. Akan tetapi, ketahuilah, bahwa Allah memanggilku untuk menjadi anggota Serikat Jesus, dan engkau menghalangi kehendak-Nya bila menentang panggilanku.” Setelah Aloysius meninggalkan kamar, Don Ferdinand menangis. Sang ayah memanggil kembali Aloysius, menyatakan cintanya kepada sang anak, lalu berkata, “Aku telah meletakkan seluruh harapanku kepadamu … Aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi; pergilah kemanapun engkau kehendaki.”

Novis Jesuit

Setelah menyerahkan bagian dan hak-hak hukumnya sebagai pewaris takhta Castiglione kepada adiknya, Rodolfo, Aloysius akhirnya bergabung dengan Serikat Jesus pada usia 17 tahun. “Aku adalah potongan besi yang terpilin,” katanya, “Aku memasuki hidup membiara supaya pilinan itu diluruskan.” Ia segera mengalami bahwa memperbaiki pilinan itu sungguh menyakitkan. Magister novisnya melihat adanya kemurahan hati dalam diri Aloysius, namun tetap memerintahkan pemuda itu untuk mengakhiri penitensinya yang berlebihan. Aloysius diperintahkan untuk makan lebih banyak dan tidur lebih lama,


Ia dan Aloysius pernah mendekati seorang pasien yang luka parah dan penuh darah. Wajah Aloysius berubah menjadi benar-benar pucat saat mendekati pasien itu. Akan tetapi, seolah-olah ada kekuatan tersembunyi dalam diri Aloysius yang membuat pucat di wajahnya hilang dan mendekati sang pasien seolah-olah ia adalah Kristus sendiri.


mengurangi doa, dan mengikuti rekreasi-rekreasi bersama para Jesuit lainnya. Ia menaatinya.

Pada umumnya, ia menjalani hidup sebagai novis dengan sungguh-sungguh dan saleh, mengikuti berbagai pelajaran, dan mengerjakan berbagai tugas yang diberikan, misalnya bekerja di dapur. Suatu hari, sang magister novis meminta bruder yang bertugas di dapur untuk menguji Aloysius secara teratur, dengan mempersalahkan dan menegur dia. Bruder itu tidak berhasil menumbangkan kegigihan Aloysius atau memancingnya agar membela diri.

Aloysius juga menjadi relawan yang bekerja di rumah sakit lokal, walaupun sebenarnya ia sangat sensitif terhadap berbagai jenis luka dan bau. Ia berjuang menaklukkan rasa mualnya dan ikut serta menangani kasus-kasus paling menjijikkan,. Teman novisnya, Decio Striverio, ingat bahwa ia dan Aloysius pernah mendekati seorang pasien yang luka parah dan penuh darah. Wajah Aloysius berubah menjadi benar-benar pucat saat mendekati pasien itu. Akan tetapi, seolah-olah ada kekuatan tersembunyi dalam diri Aloysius yang membuat pucat di wajahnya hilang dan mendekati sang pasien seolah-olah ia adalah Kristus sendiri. “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40)

Membantu Korban Wabah Pes

Tahun 1590 dan 1591 menjadi masa yang sulit di Italia karena gagal panen dan munculnya wabah pes yang mengerikan. Para Jesuit melakukan apa yang mereka mampu untuk membantu dengan mengumpulkan dan membagikan derma serta bekerja di berbagai rumah sakit. Tugas Aloysius adalah mengumpulkan derma, yang ia jalankan dengan sepenuh hati. Walaupun demikian, ia berhasrat untuk membantu di rumah sakit. Pembesarnya memberi izin.

Aloysius bekerja lebih dulu dengan menolong para pasien yang membludak di Rumah Sakit St. Sixtus. Ia menjelajahi jalan-jalan Kota Roma dan memanggul para korban pes ke rumah sakit; di sana ia menanggalkan, memberi mereka pakaian baru, membaringkan mereka di tempat tidur, dan memberi mereka makan. Akan tetapi, para pembesar Jesuit memerintahkan anggotanya untuk waspada karena beberapa novis mulai sekarat. Mereka menugaskan Aloysius di Rumah Sakit Santa Maria di Consolazione, yang diperuntukkan bagi para pasien yang tidak menular.

Saat di rumah sakit ini, ia membantu seorang laki-laki yang sedang terbaring agar dapat memenuhi kebutuhannya. Sayangnya, tanpa diketahui, laki-laki itu sudah tertular pes. Kemurahan hati Aloysius itu dibayar dengan nyawanya sendiri. Ia divonis tertular pes pada 3 Maret 1591 dan meninggal pada 21 Juni 1591. Saat itu ia masih berumur 23 tahun. Dalam sebuah surat yang ditujukan pada ibunya beberapa saat sebelum wafatnya, Aloysius menulis, “Perpisahan kita tidak akan lama lagi; kita akan dipersatukan dengan Juru Selamat kita; di sana kita akan memuji-Nya dengan hati dan jiwa, mengidungkan belas kasih-Nya selamanya, dan menikmati kebahagiaan abadi.”

Bukan “Anak Manis”

St. Aloysius dijadikan pelindung terutama bagi orang-orang muda. Ia juga menjadi pelindung bagi para pasien AIDS dan para perawat mereka, mengingat perhatian Aloysius bagi mereka yang ia rawat membuatnya tertular penyakit yang mematikan.

Hingga sekarang, para seniman telah berusaha membuat karya-karya yang menampilkan kesucian Aloysius sebagai suatu teladan hidup murni. Kesucian Aloysius memang tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, nyatanya penggambaran akan keutamaan Aloysius itu kerapkali menjadi tidak riil; ada garis tipis antara penggambaran kemurnian heroik Aloysius dan potretnya sebagai “anak manis dan halus”, setidaknya tampak dalam berbagai karya seni. Akhirnya, penggambaran St. Aloysius yang manis itu sesungguhnya menyesatkan karena ia memiliki kehendak kuat dan menggebu-gebu, yang ia tunjukkan hingga akhir hidupnya.

 

Diterjemahkan dan dibahasakan ulang dari:

Bede, The Real Saint Aloysius Gonzaga dalam https://owlcation.com/humanities/The-Real-Saint-Aloysius-Gonzaga

Disalin dari:

Jembatan Rahmat, Novena Reformatio Vitae Provindo, 450 Tahun St Aloysius Gonzaga

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *