Pain Tolerance – Sebuah Pembeda Pembangun Kebersamaan

 

Sejak duduk di jenjang Sekolah Dasar, telinga kita tentu sudah tidak asing dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan tersebut menggambarkan keanekaragaman bangsa Indonesia yang kita hayati pula sebagai sebuah bentuk kekayaan, yang patut disyukuri. Kendati demikian, benarkah kita sudah betul-betul memahami hakikat dari kalimat sakti yang telah berusia kurang lebih 7 abad tersebut? Perjalanan saya mendalami Psikologi selama 6 tahun terakhir ini menghantarkan saya pada sebuah momen reflektif mengenai diversitas dalam menjalani hidup di tanah air.

Kenyataan bahwa saya terlahir sebagai “minoritas” dalam pengertian tertentu juga boleh dikatakan membuat saya “sudah kenyang” dengan berbagai isu intoleransi, diskriminasi, marjinalisasi, dan -si – si lainnya. Pengalaman unik tersebut menjadi bahan pemikiran panjang yang terus-menerus saya renungkan hingga saat ini. Hingga akhirnya, kacamata psikologis yang saya sebutkan tadi membantu saya melahirkan buah pikir yang menurut saya berbeda dengan pemahaman saya di waktu lampau.

Benar bahwa insan Indonesia, apalagi dunia, berbeda-beda dalam gender, bahasa, suku, budaya, hingga agama – yang dewasa ini sering menjadi kambing hitam pemecah persatuan. Misalnya, dalam budaya Bugis di Sulawesi Selatan, dikenal istilah calabai untuk menyebut kelompok orang dengan fisik laki-laki yang berperilaku layaknya perempuan, serta istilah calalai untuk mengelompokkan orang dengan fisik perempuan yang berperilaku seperti layaknya laki-laki. Tidak hanya dalam hal kepercayaan, bahasa dan dialek, ataupun suku bangsa; di Indonesia sendiri ternyata terdapat lebih dari 2 jenis pembagian gender. Lebih mengejutkan lagi, dalam sebuah survei yang dilakukan oleh surat kabar mahasiswa di Sydney University secara online, para partisipannya menggolongkan diri mereka ke dalam 57 jenis gender! (Blair, 2014).

Kendati demikian, bukan hal tersebut yang hendak saya bahas dalam kesempatan kali ini. Dalam kapasitas saya sebagai mahasiswa Psikologi, saya menyadari ada sebuah pembeda antara satu orang dengan orang yang lainnya yang jauh lebih sederhana, sekaligus jauh lebih kompleks, yang jarang disadari keberadaan dan sisi pentingnya. Pembeda yang saya maksud tersebut adalah kemampuan seseorang untuk menoleransi rasa sakit (pain tolerance). Meskipun pain tolerane biasanya merujuk pada sakit fisik, dalam konteks ini, yang saya maksud adalah baik rasa sakit fisik maupun psikis.

Berapa kali, seumur hidup kita, kita mengatakan kepada orang lain, “Masa gitu aja nyerah sih?”, atau “Halah gitu aja ngeluh!”, atau “Itu sih belum seberapa…” lalu kita mulai menceritakan “kehebatan” kita, seberapa kita kuat dalam menghadapi rasa sakit, ataupun seberapa mampu kita bertahan dalam permasalahan (yang kita rasa jauh lebih berat daripada permasalahan orang lain). Tanpa kita sadari, setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing. Misalnya, seorang kenalan saya bercerita bahwa ia menangis selama 2 hari, bahkan tidak masuk kerja karena hewan peliharaannya mati. Sementara itu, bagi rekan pembaca yang tidak menyukai hewan, atau tidak memiliki pengalaman serupa, mungkin hal tersebut akan terasa menggelikan, bahkan mustahil untuk dilakukan.

Berbicara mengenai pain tolerance lebih jauh, saya juga akan membagikan sedikit bagian homili dalam misa Hari Raya Penampakan Tuhan yang saya hadiri beberapa waktu lalu. Pada hari tersebut, Gereja semesta mendengarkan kisah mengenai tiga orang Majus dari Timur. Dalam kisah tersebut, ada sesuatu yang unik dalam persembahan yang dibawa oleh ketiga orang bijaksana tersebut. Persembahan yang tidak biasa tersebut adalah mur.

Menurut Romo yang memimpin misa, mur merupakan suatu jenis rempah yang digunakan untuk kesehatan maupun upacara kematian. Hal ini menggambarkan bahwa selain mempersembahkan harta yang dipandang mewah, seperti halnya emas, yang menegaskan bahwa Yesus yang lahir di kandang adalah raja, persembahan berupa mur menjadi sebuah simbol pula bahwa pemberian yang sederhana dan manusiawi dapat menjadi besar artinya apabila diberikan dengan hati yang tulus.

Dikaitkan dengan kehidupan kita sehari-hari, kita seringkali terkecoh dengan pandangan bahwa suatu pemberian haruslah mahal dan hebat. Padahal, hadiah yang bermakna biasanya justru berbentuk pemberian yang sesuai dengan kebutuhan si penerima. Dan untuk mengetahui kebutuhan orang lain, diperlukan suatu kepekaan dan kerendahan hati untuk mau bertanya ataupun mencari tahu mengenai apa yang sedang diharapkan oleh orang yang hendak kita berikan sesuatu ataupun pertolongan.

Dengan demikian, sebenarnya kondisi manusia yang diciptakan dengan tingkat pain tolerance – istilah yang saya pinjam untuk menggambarkan batas kemampuan seseorang untuk dapat menerima rasa sakit fisik maupun psikis – yang berbeda-beda, tentu merupakan suatu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan juga. Dengan adanya tingkat kepekaan dan toleransi yang berbeda-beda tersebut, bukankah kita jadi punya kesempatan untuk memperhatikan satu sama lain dengan lebih baik lagi?

Keberadaan fenomena tersebut membantu kita untuk mau belajar peka terhadap kebutuhan orang lain, yang secara tidak langsung akan menjadi bibit toleransi dalam masyarakat kita yang multikultural dalam berbagai kategori. Adanya toleransi tersebut akan memperkuat persaudaraan kita. Dengan demikian, pantaslah pain tolerance tersebut disebut sebagai pembeda yang justru dapat membangun kebersamaan.

Referensi

Blair, T. (2014). University gender identity survey offers a mind boggling 57 different options but none are simply male or female. The Daily Telegraph. Diunduh dari https://www.dailytelegraph.com.au/news/nsw/university-gender-identity-survey-offers-a-mind-boggling-57-different-options-but-none-are-simply-male-or-female/news-story/17622c51990990c13ab66a19f61701c6 pada Januari 2019.

 

archangela.tiffany©0119

Depok, Indonesia

Alumni Psikologi USD

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *