renungan Rabu Abu oleh Frater Klemens Yuris Widya Denanta, SJ
Hola sahabat Campus Ministry Sanata Dharma, masih adakah sesuatu mantra istiwewa di sana?
Sebentar lagi kita akan memasuki masa Prapaskah nih. Seperti biasa, Rabu Abu akan mengawali masa ini, saat bagi kita umat Katolik secara simbolis diolesi abu di dahi sembari mendengar rumusan,
“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”
Simbol abu dan formulanya ingin kembali mengingatkan bahwa kita manusia rapuh, fana dan penuh dosa namun tetap diundang untuk bertobat.Rapuhnya manusia ini adalah fakta yang tidak pernah bisa disangkal. Fakta itu sudah nampak sejak saat kita baru terlahir ke dunia; lemah, terbatas dan tak berdaya, ia tak bisa hidup tanpa bantuan yang lain. Lagi pula, proses kita belajar di sini juga mengandaikan sisi keterbatasan itu. Berangkat dari kesadaran akan kerapuhan dan keterbatasan ini, lantas kita diundang untuk bertobat, untuk lebih mengandalkan dan melibatkan Tuhan dalam hidup.
Menangkap makna dan pentingnya pertobatan, bertobat memang suatu konsep yang mudah dipahami namun tidak mudah dijalani, terlebih secara ajeg. Mudah untuk sekadar bertobat secara momentual, dalam momen-momen besar tertentu, seperti masa menjelang Paskah, Natal atau seusai pengakuan dosa.
Damage pertobatan di hari momentual ini kuat, meluber-luber malah tumpah-tumpah. Tetapi sayang, damage itu seketika menguap dan kosong. Artinya, bertobat lebih dimaknai sebagaimana lari sprint jarak dekat yang sifatnya sesaat yang seketika menghabiskan banyak stamina lalu berhenti begitu saja. Padahal bertobat lebih seperti lari marathon jarak jauh yang memerlukan konsistensi, kesinambungan dan keberlanjutan, suatu daya juang yang lebih mengajak untuk mau tinggal dalam rasa bosan karena pengalaman harian yang nampaknya biasa-biasa saja. Lebih jauh, terlepas dari hari momentual, dalam misa sehari-hari atau mingguan, kita sudah mengucap pertobatan. Begitu pula, dalam doa Bapa kami atau Salam Maria yang setiap hari kita doakan sudah memuat unsur pertobatan. Semoga unsur pertobatan dalam doa itu tidak menjadi fragmen kecil semata yang terlupakan dan kurang disadari. Dengan demikian, Rabu Abu yang akan kita rayakan nanti tidak sekadar menjadi suatu momen ceremonial tertentu atau sekadar simbol tradisi yang turun ribuan tahun, namun lebih dalam, sungguh mampu mengajak sekaligus menjadi titik tolak bagi kita untuk bertobat dan lebih mau melibatkan Tuhan dalam hidup harian dengan konsisten dan berlanjut (on going). Lantas bagaimana hari-hari ‘biasa’ kita selama ini. Apakah laku pertobatan tersebut masih tetap tinggal dan mewujud dalam momen biasa itu?