Merayakan Demokrasi yang Cerdas dan Humanis

“17 April 2019, dalam pesta demokrasi besok, kita tidak hanya sekedar memilih,, tetapi juga merawat apa yang kita perjuangkan selama ini”, ungkap Romo H. Angga Indraswara, SJ saat memandu diskusi dalam kelas pendidikan politik Jumat lalu (12/4) yang diselenggarakan di Student Hall Universitas Sanata Dharma Mrican dengan mengangkat tema “Merayakan Demokrasi yang Cerdas dan Humanis”. Diiringi lantunan lagu dari UKM Band Sexen, malam itu sekumpulan generasi milenial Sanata Dharma berdiskusi hangat terkait situasi politik, penangkalan berita bohong (hoax), politisasi agama, dan bagaimana memilih dengan cerdas dan humanis. “Jika di luar sana ada kampanye sebagai bentuk ekspresi dan keterlibatan memeriahkan pesta demokrasi, malam ini kita juga turut ambil bagian dalam pesta demokrasi dengan cara yang lain, yaitu kelas politik ini”, ungkap Shinta sebagai perwakilan dari BEMU saat mengawali diskusi. Pemilu adalah sebuah undangan untuk terlibat dan peduli dengan nasib bangsa sendiri, dan sebuah ajakan untuk sungguh-sungguh memilih. Shinta juga menjelaskan bagaimana peran media sosial yang menghantarkan masyarakat kepada ujaran kebencian maupun berita hoax. Provokatif, tidak rasional, dari sumber yang tidak terpercaya, sering ditemukan di WhatsApp group, begitulah jawaban dari peserta diskusi ketika Shinta menanyakan ciri-ciri berita hoax. Dewasa ini, berita hoax menjadi keresahan masyarakat ditengah riuhnya tahun politik. Masyarakat sedang diuji memilah dan memilih berita mana yang memang dapat dipercaya. Kita semua diajak untuk menjadi pembawa kebenaran dengan memberhentikan penyebarluasan berita hoax, cukup sampai pada diri kita saja.

Politisasi agama juga menjadi isu yang menarik untuk dibahas dalam diskusi ini. Aryo sebagai perwakilan dari DPMU mengungkapkan, “memang sangat berbeda antara agama dan politik”. Agama bersifat absolut dan mutlak. Sedangkan politik bersifat kompromi, karena banyak orang mempunyai kepentingan yang berbeda, maka dicari solusi bersama. Selama ini, orang-orang disuguhkan dengan panggung perpolitikan yang saling serang dan menjatuhkan lain demi peningkatan citra diri ataupun kelompoknya. Akhirnya, masyarakat, terutama para pendukung yang bersangkutan, terjebak pada sikap yang sama terhadap pendukung calon yang lain tanpa mencoba mengkritisi terlebih dahulu apakah sikap tersebut tepat atau tidak. Maka boleh kita katakan bahwa masyarakat kini menjadi korban dari kepentingan politik berbagai pihak yang ingin menang sendiri.

Pemilu sudah selayaknya menjadi ajang bagi masyarakat untuk menemukan siapa pemimpin terbaik yang layak untuk Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Mereka yang tidak terpilih kali ini bukan berarti tidak memiliki kapasitas yang baik sebagai pemimpin, tetapi bisa jadi karena Indonesia belum memerlukan orang-orang tersebut di garda depan Indonesia. Oleh karena itu, sikap politik yang menyerang pihak lain tanpa disertai pemikiran yang matang harus dijauhkan karena setiap calon memiliki kapasitas masing-masing dalam membuat Indonesia menjadi lebih baik. Dalam diskusi ini, Andy sebagai perwakilan dari DPMU mengajak kita semua untuk menggunakan hak pilih dengan cerdas dan humanis. Lebih jauh lagi, masyarakat sebenarnya membutuhkan edukasi bukan hanya terkait menggunakan hak suara ketika pemilu berlangsung, tetapi juga terkait bagaimana menjalankan demokrasi yang baik setelah pemilu itu berlangsung. Perhatikanlah bahwa selama ini kita menemukan bentuk-bentuk persuasi untuk memilih, tanpa ada persuasi untuk bertanggung jawab atas pilihan kita. Masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan dari enam jam proses pemilu itu. Masa depan Indonesia ditentukan lebih karena bagaimana masyarakat akhirnya memaknai demokrasi dan menggunakannya untuk mengawal pemerintahan yang terpilih selama tahun-tahun mendatang. Ketika masyarakat sadar bahwa mereka juga diperlukan dalam setiap proses pemerintahan yang setiap saat berjalan, maka siapapun calon pemimpin yang terpilih nantinya akan selalu menjaga Indonesia tetap sebagai Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Inilah yang dimaksud menjadi pemilih yang cerdas dan humanis.

Pemikiran tersebut yang ditegaskan kembali oleh Romo Benedictus Hari Juliawan, SJ., mantan aktivis pro reformasi 1998. Memilih bukan hanya perkara datang dan mencoblos saja, tetapi bagaimana kita bertanggung jawab atas apa yang telah kita pilih di waktu-waktu mendatang. Kiranya ungkapan “memilih lebih mudah daripada setia pada pilihan” adalah ungkapan yang menggambarkan kondisi saat ini. Kesetiaan yang diharapkan dari masyarakat tetap harus disertai pemikiran kritis untuk menjaga pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu, berdemokrasilah dengan hati nurani, sehingga kita juga tergerak untuk mempertanggungjawabkan pilihan kita itu tanpa paksaan dari pihak lain. Negara membutuhkan kita untuk bergerak menuju yang lebih baik lagi, terkhusus agar negara ini semakin kuat ketika harus menghadapi berbagai macam goncangan dan ancaman baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Selamat berdemokrasi dengan pemimpin baru Indonesia, siapapun itu. Selamat hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia!

–  Via & Rosa

(Ignatian Study Club)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *