Mengurai Rasa Resah

Renungan Hari Minggu Adven II

Keresahan seringkali hadir dalam saat-saat ketidaksiapan. Ingat betul, ketika akan ujian misalnya, begitu gelisah ketika kurang membaca materi sebelumnya, tidak memahami, atau pun kurang mengusahakan. Aku juga ingat betul, tanganku begitu basah, dadaku yang begitu berdebar, dan pikiranku rasanya tidak tenang, ketika aku belum mengerjakan tugas, padahal aku tahu, tenggat waktunya tidak akan lama lagi. Aku pun ingat betul, perasaan gelisahku ketika aku tak kunjung niat untuk menyelesaikan skripsiku. Kegelisahan itu muncul bersama kecemasan: apakah aku bisa lulus tepat waktu? Jangan-jangan aku tidak bisa menyelesaikan tugas akhirku ini.

Ingatan tentang momen kegelisahan, yang aku tahu bahwa itu disebabkan oleh ketidaksiapanku. Aku tidak siap maka aku gelisah. Ingatan tentang momen kegelisahan rasanya membawaku pada permenungan, ketika aku tidak siap pada hal-hal yang waktunya sudah ditentukan saja aku merasa begitu gelisah, apalagi pada hal-hal yang waktunya tidak dapat aku duga? Pertanyaan ini pun rasanya terngiang-ngiang ketika aku merenungkan masa Adven ini, masa penantian.

Dari pengalaman keresahan yang aku miliki, aku menemukan jawaban. Jawaban dari keresahan ternyata ada dalam kesiapanku itu sendiri. Ketika aku siap, telah berusaha untuk belajar, memahami materi, tekun mencatat, aku tidak merasa gelisah. Ketika aku setia dari hari ke hari menulis untuk tugas akhirku, nyatanya aku merasa lebih optimis, lebih punya pengharapan, dan lebih tenang. Usaha tentang kesiapan ternyata menjawab kegelisahan. Pemahaman semacam itu rasanya menjadi titik permenunganku ketika aku memaknai masa Adven. Bukankah masa Adven adalah masa persiapanku untuk menyambut Tuhan?

Ketika aku membaca bacaan Adven II ini, aku pun diingatkan bagaimana aku mengusahakan kesiapan itu. Seruan St. Yohanes Pembaptis menunjukkan bagaimana aku perlu bersiap-siap. Ternyata, persiapan dekat dengan bagaimana aku mengusahakan pertobatan. Sederhananya, kesiapanku untuk menyambut kedatangan Tuhan dibangun dengan pertobatanku. Kesiapanku dibangun dengan bagaimana aku memperbaiki diriku.

Seperti halnya ketika aku resah, aku berusaha mengurai kecemasan dan kegelisahanku dengan mulai membangun niat untuk tekun belajar, setia membuat catatan, berusaha untuk terjaga ketika mendengar penjelasan dari pengajar, membangun semangat untuk mencari informasi lain yang bisa memperkaya pengetahuanku, pertobatan rasanya tidak jauh berbeda. Kesiapanku untuk menyambut Tuhan perlu kubangun dengan niat untuk mengusahakan cara hidup yang lebih baik. Pertobatan yang aku lakukan juga perlu aku lakukan dalam hidup sehari-hari. Bertobat dari dosa kemalasan, bertobat dari menunda pekerjaan, bertobat untuk mau berjuang dengan tekun dan setia, bertobat untuk mau mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Lebih dari itu, aku berpikir, pertobatan juga dapat aku bangun dengan sikap-sikap baik yang bisa aku usahakan. Menjadi penghibur untuk mereka yang sedih, membawa pengharapan bagi mereka yang putus asa, menjadi pembawa kepastian bagi mereka yang hilang arah, membawa pengampunan ketika ada penghinaan.

Aku pun berharap, pertobatan yang kuusahakan ini dapat menghadirkan kesiapan, dan pada saatnya nanti, aku dapat merasakan kebahagiaan yang mendalam kehadiran Tuhan. Bukankah kegembiraan itu akan lebih berarti ketika aku telah berusaha?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *