Memaknai 71 Tahun Indonesia Merdeka

Memaknai 71 Tahun Indonesia Merdeka

Peringatan kemerdekaan Indonesia ke-71 semakin semarak dengan adanya pidato kebangsaan yang disampaikan oleh Romo Prof. DR. Mudji Sutrisno, S.J., Jumat, 19 Agustus 2016 lalu. Acara ini semakin bertambah bermakna karena dihadirkan di bawah rimbunnya Beringin Soekarno yang terletak di area kampus II Universitas Sanata Dharma. Acara tahunan dari Pusat Studi Demokrasi dan Masyarakat (PUSDEMA) Universitas Sanata Dharma ini dibuka dengan sambutan kesenian tari tradisional Indonesia.

Romo Baskara, S.J., selaku kepala PUSDEMA memberikan sambutan dengan melontarkan sebuah kritikan kepada Indonesia di usia kemerdekaannya yang sudah mencapai 71 tahun ini. “Kemajemukan sebagai bangsa masih saja terancam bahkan ketika sudah 71 tahun merdeka.” Begitu papar beliau menyikapi masih maraknya tindakan intoleransi yang ada di Indonesia.

Bapak Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., Rektor Universitas Sanata Dharma dalam acara yang bertajuk Refleksi Kemerdekaan dan Nilai-nilai Kebhinekaan memberikan penjelasan yang tidak jauh berbeda dari apa yang disampaikan oleh Romo Baskara, S.J.

Pak Eka dalam penuturannya menyebutkan bahwa kata merdeka yang dahulu menjadi mantra yang mampu menggerakkan segena lini kehidupan bangsa nyatanya kini tak lagi terdengar ‘sihir’nya. Setelah 71 tahun merdeka, bangsa ini masih tidak cukup dikatakan merdeka dalam berbagai hal, misalnya mengenai pangan, energi, dan teknologi. “Salah satu penyebab belum ‘merdeka’ dalam artian yang sesungguhnya adalah karena gagalnya pendidikan kita menyiapkan generasi yang mandiri.” tegas Pak Eka dalam sambutannya. Oleh karena itu, penting rasanya mengusung pendidikan bervisi kemerdekaan. Terlebih lagi untuk perguruan tinggi, haruslah mempunyai visi pada penyelesaian persoalan yang ada di dalam masyarakat, imbuh beliau.

Romo Prof. DR. Mudji Sutrisno, S.J., yang hadir di atas podium membawa tas yang terbuat dari mozaik batik perca menuturkan bahwa tas yang dibawanya itu adalah cerminan kemajemukan dan kebhinekaan. Bahwa nyatanya kemajemukan dan kebhinekaan itu dapat menjadi sesuatu yang indah dan sangat berguna.

Romo Mudji membuka pidato kebangsaannya dengan memberikan sedikit sentilan kepada kaum muda yang kini terkesan tidak terlalu mencintai sejarah bangsanya sendiri. “Mengapa sejarah tidak dicintai? Mangapa jatuh bangun bangsa ini untuk merdeka tidak menarik yang muda?”

Memaknai Kemerdekaan

Setidaknya ada tiga hal yang disampaikan oleh Romo Mudji dalam pidato kebangsaannya malam itu. Di antaranya yang pertama adalah bahwa merawat kemajemukan adalah harga mati yang harus senantiasa diperjuangkan untuk memaknai kemerdekaan itu. Pancasila yang disusun oleh para founding fathers merupakan hasil dari induksi dan deduksi kemajemukan yang ada di Indonesia. “Keindonesiaan yang seperti apa yang mau kita maknai? Ialah menghidupi nilai-nilai kedaerahan, nilai-nilai keberagaman, semua untuk Indonesia.” tegas beliau. Beliau juga menambahkan bahwa memaknai kemerdekaan juga bisa ditunjukkan dengan aktif memberikan sumbangsih lokal untuk kepentingan nasional.

Hal kedua yang bisa dilakukan untuk memaknai kemerdekaan yang disampaikan oleh Romo Mudji adalah pentingnya mempunyai rasa penghargaan yang tinggi terhadap proses. Kemerdekaan yang didapat Indonesia bukan saja hanya berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, melainkan juga oleh karena adanya upaya dan usaha yang dilakukan untuk merebutnya.

Di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa menjadi buruh ekonomi, Romo Mudji menyentil dengan ucapan, “Memaknai kemerdekaan juga berarti untuk tidak mengkalkulasi segala sesuatu dengan ukuran uang, dengan kalkulasi untung dan rugi.”  Dengan kalkulasi ekonomis itu juga terjadi reduksi terhadap penghargaan terhadap karya yang mengedepankan kreatifitas-kreatifitas yang muncul.

Di akhir penyampaian pidato kebangsaannya, Romo Mudji Sutrisno, S.J., mengajak kita semua untuk kembali memaknai kemerdekaan dengan mulai memberi penghargaan-penghargaan kecil dalam setiap lini kehidupan kita. Kemerdekaan juga bisa dimaknai dengan cara memuliakan Tuhan, karena memuliakan Tuhan tidak pernah terbatas oleh apapun.

(Cahyok, Jakarta 27 Agustus 2016)

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *