Melawan Budaya Kematian Dengan Mengembangkan Budaya Kehidupan

Gereja dalam Konflik Budaya Hidup VS Budaya Mati

Melawan Budaya Kematian Dengan Mengembangkan Budaya Kehidupan

Martinus Radityo Adi

            Kemajuan tekonologi bisa membantu manusia dalam proses penyempurnaan diri. Tapi di lain pihak teknologi bisa menjadi ancaman bagi harkat dan martabat hidup manusia. Dalam ensikliknya Evangelium Vitae (1995), St, Yohanes Paulus II memopulerkan istilah Budaya Kehidupan (Culture of Life) VS Budaya Kematian (Culture of Death). Sekarang ini, manusia berada dalam medan konflik antara budaya kehidupan dan budaya kematian. Budaya kematian sendiri dengan mudah merasuk pada gagasan mengenai efisiensi yang sebetulnya tidak jelek. Akan tetapi jika manusia dipandang hanya sebagai alat saja dan bukan subjek, maka harkat dan martabat manusia itu akan terdegradasi. Budaya kematian (Culture of Death) adalah suatu budaya yang tidak lagi bersahabat dengan sistem kehidupan manusia dengan menempatkan manusia pada posisi objek yang bisa memusnahkan kehidupan itu sendiri.

            Kemunculan budaya kematian itu bisa bersumber dari beberapa hal. Kemajuan ilmu dan teknologi serta kemajuan dunia medis yang tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip etis justru akan mendegradasi kehidupan manusia. Sudah nampak gejala ketimpangan sosial seiring perkembangan teknologi nano penghasil komputer jinjing, smartphone dan lain sebagainya. Demikian juga dalam dunia medis. Menurut data Kementrian Kesehatan, pada tahun 2007 ada 2,3 juta aborsi dan tahun 2009 ada 2,6 juta aborsi. Ini adalah data sebelum terbit UU Kesehatan tahun 2009 yang dengan keadaan tertentu memperbolehkan aborsi.

            Salah satu contoh lain kemunculan budaya kematian yang bisa mengancam dan tentu amat sangat dirasakan oleh mereka yang vulnerable, yang lemah dan tidak bisa membela diri. Dalam Evangelium Vitae no 5 tertuang bahwa mereka yang tidak bisa membela diri adalah anak-anak yang belum lahir, yang hak fundamentalnya untuk hidup dilanggar. Lantas apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri? Yang berlawanan dengan kehidupan antara lain; bentuk pembunuhan yang mana pun juga, apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, apa pun yang melukai martabat manusia; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan, dan tidak diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang bebas bertanggung jawab, dan segala hal yang berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.

            Berdasarkan Evangelium Vitae no. 3, Gereja mengambil sikap tegas bahwa manusia harus membela kehidupan. Semua ancaman terhadap martabat dan hidup pasti akan memberikan dampak bagi iman kepada inkarnasi Putra Allah yang menjadi manusia demi penebusan manusia. Hal ini jelas mendesak Gereja semakin mendorong misinya untuk mewartakan Injil kehidupan kepada seluruh dunia dan bagi setiap ciptaan.

            Kematian bukanlah ciptaan Tuhan sebab Allah menciptakan kehidupan dan mengutus Yesus putra-Nya supaya mereka percaya dan beroleh hidup. Budaya kematian ini dirasa sangat mengancam maka Yohanes Paulus II tidak segan-segan melawan situasi semacam itu. Dalam Evangelium Vitae, Yohanes Paulus II mengatakan, “Demi nama Allah: Hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup manusiawi. Hanya dalam arah inilah anda akan menemukan keadilan, perkembangan, kebebasan sejati, damai dan kebahagiaan!” (EV no. 5). Kata “demi nama Allah” ingin menampilkan bobot ajaran dan juga kemendesakan maksud yang ingin disampaikan dikarenakan keprihatinan akan adanya begitu banyak pelanggaran martabat dan hak hidup manusia yang sekarang ini terjadi lebih dari masa sebelumnya.

            Pilihan-pilihan dalam hidup sehari-hari sering kali dilematis khususnya yang berhubungan dengan etika kehidupan dimana keputusan moral itu langsung berhubungan dengan hidup matinya seseorang. Banyak orang mengambil keputusan moral dengan menggunakan azas manfaat dan kualitas hidup hedonis. “Kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.” (ulangan 30: 19). Kitab Ulangan ini menggarisbawahi perlunya memilih kehidupan dan bukan kematian.

            Hak hidup adalah hak paling mendasar. Melalui hak inilah mengalir hak-hak manusiawi yang lain. Jika dan hanya jika penghormatan terhadap hak hidup manusiawi memancar dari diri kita, maka kita bisa beranjak menuju hak-hak manusiawi lainnya. Lebih jauh harus dikatakan bahwa hak untuk hidup adalah lebih besar dari sekedar hak fundamental. Oleh karena itu, penghormatan kepada hak hidup adalah kondisi dasar agar manusia dan masyarakat bisa berfungsi dengan semestinya.

            Kristus mengangkat martabat manusia dengan cara yang luar biasa sehingga menempati tempat yang sangat luhur sebagai Anak Allah. Status manusia sebagai gambar dan citra Allah seperti tertulis di Kitab Kejadian bukan hanya pada saat manusia diciptakan, tetapi juga sepanjang hidup manusia. Martabat manusia bersifat intrinsik pada kodrat dan bukan ditambahkan oleh sebuah institusi atau orang tertentu juga tidak berhubungan dengan karya-karya atau prestasi seseorang akan tetapi disatukan secara tak terpisah dengan eksistensi manusia. Ketika manusia dinilai dari hal-hal ekstrinsik; kesehatan prima, kualitas hidup yang baik, nama baik dan lain sebagainya, maka ini akan memunculkan klasifikasi martabat manusia yang berujung pada kesenjangan sosial. Yohanes  Paulus II ingin mengembalikan penghargaan martabat manusia kembali kepada posisi yang benar yaitu pada hal-hal yang intrinsik. Entah bagaimanapun bentuknya, manusia itu berharga karena dia adalah gambar dan citra Allah.

            “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kejadian 2: 7). Oleh karena itu, manusia itu suci sejak penciptaanya sebab ketika Allah menciptakan manusia, Dia menghembuskan Roh-Nya sendiri ke dalamnya.

            Paus Yohanes Paulus II memberikan alasan mengapa kejahatan aborsi adalah kejahatan melawan kehidupan yang sangat berat. Janin dalam kandungan tidak bisa membela diri dengan alat yang paling primitif sekalipun yaitu tangisan. Janin adalah makhluk yang paling lemah. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap janin adalah pembunuhan yang paling keji. Gereja katolik menegaskan bahwa barang siapa melakukan aborsi dan berhasil maka dia terkena hukuman ekskomunikasi secara otomatis (KHK 1398). Salah satu prinsip dasar Kristiani adalah prinsip vulnerability, yakni orang yang kuat harus melindungi yang lemah. Kitab suci menerangkan hal ini dengan mengatakan, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya.” (Matheus 12:20). Oleh karena itu, Gereja dengan tegas mengajak agar setiap manusia berupaya menjadi homo homini socius.

            Hak untuk hidup adalah tuntutan hak yang justru karena dia sudah mempunyai hidup. Tuntutan hak hidup ini jelas bukan tuntutan “untuk mendapat” melainkan tuntutan agar hidup terus dijaga, dilestarikan dan tidak dirusak ataupun dihancurkan. PBB mengamini hal ini dalam The Universal Declaration of Human Rights artikel 25.1, “Setiap orang mempunyai hak untuk standard hidup yang memadai bagi kesehatan dirinya dan keluarganya, termasuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang diperlukan.”

            Hak untuk hidup adalah lebih dari sekedar hak fundamental. Ini adalah kondisi yang memungkinkan hak-hak lainnya ada dan mungkin: hidup adalah pengalaman empiris dan bukan teori. Mempertahankan hak untuk hidup berdasarkan dari dua prinsip: Hukum kodrat dan Hukum Ilahi. Manusia yang hidup adalah kodrat, tidak bisa menolak ataupun ditolak. Oleh karena itu, membunuh dan merusak kehidupan itu bertentangan dengan hukum alam dan kodrat manusia. Sebagai orang beriman, hidup adalah anugerah Allah yang harus dibela, dikembangkan dan pada suatu hari akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

            Pada akhirnya, “Semua manusia mempunyai kewajiban untuk menjadi pelayan kehidupan. Dengan jelas harus dikatakan bahwa ini adalah tanggung jawab gerejani, yang menuntut tindakan-tindakan nyata dan bermurah hati oleh semua anggota Gereja dan oleh semua sektor komunitas Kristiani. Komitmen komunitas ini tidaklah menghilangkan atau mengurangi tanggung jawab masing-masing individu, yang dipanggil oleh Allah untuk menjadi sesama bagi semua orang: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Lukas 10:37).

 

Catatan: Diringkas dari “Gereja dan Budaya Kehidupan VS Budaya Kematian” (Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ).

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *