Kecil, Berdaya Karena Bersama

 

“Selamat menjadi bentara peradaban kasih bagi dunia…” Kalimat tersebut merupakan mantra untuk mengungkapkan rasa terimakasih, selamat, sekaligus salam perpisahan di antara seluruh peserta dan panitia yang berkumpul pada sesi terakhir kegiatan Intercultural Student Camp (ISC) IV APTIK pada tanggal 21-23 November 2018 di Unika Soegijapranata Semarang dan Eco Park Salatiga. Sembari mengucapkan mantra tersebut, masing-masing dari peserta berlutut dan memberikan potongan kertas merah berbentuk hati kepada peserta lain yang dianggap berkesan baginya. Hal ini menjadi momen mengharukan karena semua peserta akhirnya harus jujur dan mengungkapkan perasaannya pada orang lain yang bahkan baru dikenal. Ya, dari sekian banyak sesi yang ada dalam kegiatan selama tiga hari dua malam itu, sesi ini yang menjadi salah satu yang berkesan bagi saya. Peristiwa ini berkesan bukan karena akan berpisah maupun karena keharuan yang terjadi, namun ada satu momen singkat yang menggelitik dan tidak pernah saya duga.

Theresia Giska namanya. Ia adalah peserta sekaligus mahasiswa dari Unika Widya Mandala Surabaya. Ketika sesi tersebut, tiba-tiba ia berlutut di depan saya, mengucapkan mantra sekaligus berterimakasih karena sudah mau mengenal serta berdinamika dengan baik bersamanya. Sekilas, peristiwa tersebut biasa saja. Akan tetapi, saya sempat kaget dan heran karena dia bukan salah satu peserta yang saya kira akan mendatangi saya. Selama berdinamika di ISC, sejujurnya baru di hari ketiga saya mengenal dan menyadari bahwa ada peserta bernama Giska. Pertemuan kami cukup sederhana karena tidak sengaja menjadi teman sekelompok outbound pagi. Seingat saya memang hanya di kesempatan itu saya berdinamika dengannya. Entah apa yang saya lakukan selama berdinamika, namun yang jelas hal itu berkesan baginya dan akhirnya menggerakkannya untuk mendatangi saya.

Satu lagi peristiwa serupa akan tetapi dengan orang yang berbeda. Orang kedua yang juga mengagetkan saya adalah peserta sekaligus mahasiswa Unika Soegijapranata Semarang bernama Hilda Carolina. Seperti peserta kebanyakan, Hilda duduk di depan saya dan mengucapkan mantra itu. Satu hal yang membedakan adalah kalimat terakhirnya yang membuat saya heran. Kalimat itu lebih kurang berbunyi, “Terimakasih karena kamu sudah mau peduli waktu sepatuku sempat hilang di tenda. Untung akhirnya sepatu itu ketemu.” Sambil melanjutkan sesi, saya terus berusaha mengingat peristiwa yang disebutkan oleh Hilda. Secara tidak sengaja, saya juga satu tenda dengan Hilda. Ketika Hilda sadar sepatunya tidak ada, satu hal yang saya lakukan saat itu hanyalah bertanya sekedar untuk membantunya mengingat di mana terakhir sepatunya terlihat. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa ia merasa terbantu dengan hal kecil itu.

Dua cerita di atas sama sekali tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa saya adalah orang yang baik. Satu hal yang ingin saya garisbawahi adalah tentang sebuah kebaikan, sapaan, maupun kepedulian kecil yang seringkali tidak kita sadari dapat membuat orang lain merasa begitu dihargai dan tergerak olehnya. Melakukan sesuatu yang baik tidak perlu menunggu untuk memiliki kesempatan melakukan hal besar. Mulai saat ini, di manapun, kapanpun, oleh siapapun, dan bagi siapapun juga, kebaikan kecil dapat selalu dilakukan tanpa memandang latar belakangnya. Saya yakin bahwa ada jutaan orang yang juga pernah mengalami hal serupa, sehingga terkadang bingung sekaligus heran dengan apa yang sudah dilakukan. Oleh karena itu, jangan lelah untuk melakukan kebaikan kecil bagi orang lain secara tulus, sehingga apa yang kita perbuat benar-benar memiliki makna bagi orang lain.

Kegiatan ISC 2018 kemarin dapat menjadi salah satu pengingat bahwa kita berada di lingkungan yang beragam warna dan latar belakang. Oleh karena itu, kita justru akan dicap aneh ketika tidak mau untuk srawung dan membagikan kebaikan sebagai bentuk cinta kasih kita bagi sesama. Tema kegiatan ini, yaitu “Srawung Menuju Peradaban Kasih,” cukup jelas menunjukkan maknanya. Setiap orang diajak untuk membuka diri dan ambil bagian dalam rangka membangun “kerajaan kasih”, yaitu suatu tempat yang dapat menjadi rumah bersama bagi yang merindukan perdamaian. Keterlibatan setiap orang menjadi penting karena jika ada satu saja yang melukai sesamanya, maka itu sama saja dengan menciderai dan meruntuhkan kerajaan kasih yang sedang dibangun. Maka, tepatlah jika akhir kegiatan ini ditutup dengan ajakan untuk menjadi bentara peradaban kasih, yaitu orang-orang yang siap melayani dan menyebarluaskan pesan dari sang penguasa, dalam hal ini Sang Penguasa Semesta.

Suatu hari teman saya bercerita bahwa di dusun tempatnya KKN sedang diserang oleh kutu sapi. Banyak warga di sana termasuk teman saya mengalami ruam karena kutu-kutu itu tidak berhenti menggigit mereka setiap malamnya. Hal ini tentu sedikit mengganggu aktivitas mereka karena belum ada cara untuk mencegah serangan dari banyaknya kutu itu. Kita tahu bahwa kutu merupakan hewan kecil yang sering menghinggapi makhluk hidup lain untuk menghisap darahnya. Keberadaan kutu yang sangat banyak tentu merepotkan orang-orang yang menghadapinya. Cerita teman saya itu tentu menjadi salah satu ilustrasi yang tepat menggambarkan bagaimana para bentara peradaban kasih diminta untuk membangun kerajaan kasih di seluruh penjuru dunia. Menjadi kecil seperti kutu, kita sudah selayaknya berani diutus kemanapun bukan untuk menggigit dan menghisap, melainkan menyapa dan membagikan setiap kebaikan. Maka, sesuatu yang kecil dan banyak itu tidak akan lagi merepotkan seperti kutu, namun membawa kebahagian bagi siapapun yang dijumpai. Sekali lagi, “Selamat menjadi bentara peradaban kasih bagi dunia…”

Jingle ISC APTIK 2018: Universitas Sanata Dharma

 

Rosalia Tatiana

Delegasi USD untuk ISC Aptik 2018

(Komunitas Paingan/Ignatian Study Club)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *