Integrity Days 2015: Menumbuhkan Spiritualitas, Menjadi Pembela Kehidupan

“Semua orang setara di hadapan spiritualitas pembela kehidupan” begitu yang diucapkan Wedhowerti, S.Pd., M.Hum. yang malam itu bertindak sebagai moderator diskusi di Integrity Days 2015. Integrity Days sendiri adalah agenda rutin tahunan Campus Ministry Universitas Sanata Dharma. Di tahun ini, tema yang diangkat mengenai Spiritualitas Pembela Kehidupan. Tema ini dimaksudkan agar kita sebagai manusia mempunyai rasa kepedulian terhadap kehidupan tanpa mengkerdilkan artinya.

ID2015_2

Bersama Ayu Utami, seorang penulis dan critical-spiritualist, dan Romo Patrisius Mutiara Andalas, S.J., S.S., S.T.D. yang juga menjabat sebagai wakil rektor III USD diskusi dimulai dengan cerita Ayu Utami. Mbak Ayu, begitu dia disapa, menjelaskan bahwa pengalaman manusia dalam menghadapi suatu masalah sangat sulit untuk bisa disamakan. Oleh karena itu, sering kali manusia mengeliminasi lapisan-lapisan suatu masalah hingga menjadi sangat tipis. Dan yang tersisa adalah sebuah pertanyaan boleh atau tidak sesuatu itu dilakukan.

Boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan ini identik dengan perintah dan larangan yang ada di dalam agama. Kebanyakan orang beranggapan bahwa orang yang memiliki spiritualitas yang tinggi adalah orang yang mampu menjalankan perintah dan larangan agama yang didapatnya dari kitab suci.

Padahal sejatinya tidak selalu seperti itu. Bahwa spiritual itu dimaknai sebagai sesuatu yang tumbuh dari dalam diri seseorang dan agama adalah sesuatu yang berasal dari luar diri seseorang yang bertugas untuk menertibkan dan mengarahkannya.

Sebuah kritikan mengenai makna spritualitas juga ditulis Ayu Utami dalam bukunya Bilangan Fu yang dibacakan Romo Andalas pada diskusi yang berlangsung di Pendopo PGSD USD, Jumat 08 Mei 2015. “Ilmu agama dan ilmu pasti ada dalam satu paket pelajaran asing. Hasilnya adalah sebuah teleskop yang bisa melihat bintang tapi tidak bisa melihat kanan dan kirinya sendiri. Ia lupa bahwa bintang itu akan selalu menjadi misteri dalam hidupnya di dunia. Tapi ia juga telah kehilangan kemampuan melihat jarak dan prespektif yang lebih dekat. Ia mengukur hal yang metaforis secara matematis, yang spriritual secara rasional”

Romo Andalas menambahkan bahwa sebagai manusia kita acap kali terjebak pada hal-hal yang bersifat Urgent dan bukan pada hal yang bersifat Essential. Maka dari itu perlu adanya pendekatan antara hal yang spiritual dan hal kemanusiaan. Bahwa orang yang ingin meningkatkan spiritualnya maka orang itu perlu mendekatkan diri kepada tragedi-tragedi kemanusiaan. Tragedi-tragedi kemanusiaan yang dimaksud misalnya tentang hukuman mati, aborsi, pelacuran, poligami, dll.

“Tragedi kemanusiaan itu janganlah dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan hukum maupun moral. Bahkan sebuah hukum  positif sendiri pun belum tentu tragedi-tragedi itu sesuai dengan moral. Maka dari itu kita sebagai manusia haruslah berani menjadi seorang pembela kehidupan”, imbuh Ayu Utami menggenapi pernyataan dari Romo Andalas.

Di Indonesia moral selalu berjalan beriringan dengan agama. Tanpa adanya relevansi dengan tragedi kemanusiaan, agama hanya akan dipahami sebagai serangkaian pembolehan atau pelarangan. Jadi, adalah penting bagi diri kita untuk mempunyai spiritualitas yang tinggi. Spiritualitas dimaknai ketika kita tidak terhenti pada sesuatu yang bersifat material, sesuatu yang terukur dengan kata “boleh” atau “tidak”.

Dan sudahkah kita siap membela Kehidupan dengan spiritualitas yang kita punya?

(Wahyu Nur Cahyo/CM)

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *