Jumat, 21 Agustus 2015, Panitia Dies Natalis ke-60 Universitas Sanata Dharma bekerja sama dengan Pusat Studi Demokrasi dan Masyarakat (PUSDEMA) dan Institut Dialog Antariman Indonesia (DIAN/Interfidei) menyelenggarakan acara peringatan 70 tahun Indonesia di Taman Beringin Soekarno Kampus 2 USD. Acara yang bertajuk Indonesia 70 Tahun: Kemerdekaan, Demokrasi, dan Partisipasi Masyarakat ini diisi dengan pidato kebangsaan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan ketua PP Muhammadiyah dan beragam penampilan kesenian tari dari berbagai daerah di Indonesia.
Dalam sambutannya ketua acara Indonesia 70 tahun, Romo Dr. FX Baskara Tulus Wardaya, S.J., M.A., menyampaikan bahwa hal yang menjadi latar belakang dari acara Indonesia 70 tahun ini adalah banyaknya rasa gundah tentang partisipasi masyarakat dalam kegiataan demokrasi masih hanya sebatas ritual 5 tahunan yang tak jarang aspirasinya hilang di tengah jalan. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi, kerapnya insiden toleransi terjadi, dan kasus pelanggaran HAM yang belum selesai.
Rektor Universitas Sanata Dharma, Bapak Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., dalam sambutannya memberikan penjelasan bahwa di usianya yang ke 70, Indonesia masih belum bisa lepas dari masalah pokok kehidupan berbangsa walaupun berbagai hal yang baik sudah berusaha dicoba diterapkan seperti memilih pemimpin baru, penerapan sistem pemerintahan yang baru, pembentukan berbagai lembaga dan komisi, dan berbagai macam political will telah diucapkan. “Namun, pada kenyataannya masalah bangsa Indonesia terletak jauh lebih mendasar dari itu semua. Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia bukan soal managerial kebangsaan, melainkan tentang kebiasaan/kebudayaan masyarakat Indonesia dalam bagaimana bertindak, bersikap, berelasi, dan saling memahami satu sama lain,” imbuh beliau. Beliau berkata bahwa persoalan pokok yang dihadapi bangsa Indonesia terletak pada nilai, kebudayaan, dan pendidikan.
Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif menyampaikan bahwa tanpa kemerdekaan Indonesia, kita tak akan bisa menjadi manusia yang merdeka sepenuhnya. Kemerdekaan menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia dan segenap warga negara karena berkat kemerdekaan berbagai macam kemajuan dalam bidang pendidikan telah mampu diraih. Banyak institusi pendidikan telah dibentuk walaupun masih harus dipertanyakan mengenai kualitas yang ditawarkannya. “Tanpa kemerdekaan, kita tak bisa tampil sebagai manusia penuh” ungkap beliau.
Dalam pidato yang disampaikan Buya Syafi’i, sapaan akrab beliau. Perjuangan bangsa Indonesia masih belum selesai. Kemerdekaan yang sejati belum mampu diwujudkan, hak-hak minoritas masih belum dihormati, kekerasan atas nama apapun masih sering terjadi. Mengutip pidato Bung Karno, Buya Syafi’i mengatakan bahwa di dalam Indonesia merdeka tidak akan ada lagi kemiskinan. Namun, setelah 70 tahun kemerdekaan ternyata Indonesia masih belum bisa lepas dari kemiskinan karena pada kenyataannya warga Negara Indonesia masih sibuk memikirkan diri sendiri, masih berperang melawan bangsa sendiri.
Guru besar Universitas Negeri Yogyakarta ini juga menyampaikan bahwa dari segi pendidikan Indonesia telah mengalami kemajuan. Dibuktikan dengan banyaknya sekolah-sekolah dan puluhan perguruan tinggi muncul di Indonesia. Namun, sistem pendidikan yang diterapkan di negara ini masih perlu dikritisi. “Sistem pendidikan di Indonesia belum membentuk manusia Indonesia merdeka. Pendidikan di Indonesia lebih banyak menciptakan manusia-manusia yang tergantung. Pendidikan di Indonesia bukan menciptakan sosok pencipta lapangan kerja melainkan menciptakan sosok pencari kerja.”
Tujuan kemerdekaan adalah untuk mencapai kesejahteraan umum seperti yang tertulis di sila kelima Pancasila. Akan tetapi selama 70 tahun ini, sila kelima ini belum menjadi pondasi utama pembangunan di Indonesia. Buya Syafi’i mengajak untuk tidak menyalahkan orang lain melihat kenyataan ini, beliau lebih mengajak kita untuk menyalahkan diri sendiri, bukan untuk meratapi tapi bangkit dan menghadapi.
Selain soal pendidikan, dalam pidato kebangsaannya, Buya Syafi’i juga menyentil tentang hubungan keberagaman yang ada di Indonesia. “Saya ini kok malah merasa dekat dengan mereka yang berbeda iman. Seperti ada hubungan batin yang begitu lekat dengan mereka yang berbeda. Kadang-kadang justru yang seagama malah belum tentu dekat. Saya rasa rahasianya adalah tentang rasa tulus dalam beragama apapun agamanya,” ungkap beliau.
Di dalam ketulusan selalu mengandung sikap untuk selalu menghargai orang lain yang tidak seagama. “Berbeda dalam persaudaraan. Bersaudara dalam perbedaan. Humanity is one, manusia itu satu. Kedamaian diciptakan dari kesadaran untuk menciptakan kerja sama antar manusia,” imbuhnya.
Pada akhir pidatonya, Buya Syafii Ma’arif mengajak kita semua, sebagai warga Negara Indonesia untuk mensyukuri dan sekaligus mengkritik kemerdekaan yang telah dicapai. Bahwa kita tidak perlu terlalu larut dalam meratapi keadaan bangsa yang kerap kali masih terjadi. Segenap warga negara harus bekerja sama. saling membantu, membela, dan menghormati satu sama lain. Untuk Indonesia, untuk dunia, dan untuk umat manusia secara keseluruhan.
(Wahyu Nur Cahyo/CM)