Hubungan Islam dan Kristiani Pasca Dokumen Fratelli Tutti (Refleksi Seorang Muslim)

Hubungan Islam dan Kristiani Pasca Dokumen Fratelli Tutti

(Refleksi Seorang Muslim)

Oleh: Ahmad Shalahuddin Mansur*

Iman kepada Allah mempersatukan dan tidak memecah belah. Iman itu mendekatkan kita, kendatipun ada berbagai macam perbedaan, dan menjauhkan kita dari permusuhan dan kebencian” (Paus Fransiskus)

Bagaimana melihat hubungan Islam dan Kristiani hari ini? Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam, tergantung dari sudut pandang anda melihat. Tapi ijinkan saya membawa anda berziarah ingatan ke 800an tahun yang lalu. Menengok dinamika sejarah perjumpaan Islam dan Kristiani, oleh karena hidup ini direfleksikan ke belakang dan dijalani ke depan bukan?

Santo dan Sultan (1219 M)

Selang 801 tahun berlalu setelah perjumpaan Santo Fransiskus Assisi dengan Sultan Malik al-Kamil di Mesir kala itu. Sebuah perjumpaan otentik di tengah kecamuk Perang Salib waktu itu pada tahun 1219. Inisiasi datang dari seorang suci bernama Fransiskus dari Assisi datang menemui seorang Sultan Mesir bernama Malik al-Kamil. Singkat cerita, dialog kemudian terjadi di tengah kondisi yang begitu mencekam—Perang Salib yang begitu banyak memakan korban jiwa, tidak hanya dari pihak Islam, namun juga dari pihak Kristiani. Kedua komunitas agama ini adalah korban. Setidaknya korban dari tindakan mata ganti mata dan gigi ganti gigi. (Baca selengkapnya: https://www.usd.ac.id/cm/santo-dan-sultan-pembawa-terang-di-tengah-kegelapan/comment-page-1/)

Ratusan tahun setelah Perang Salib berlalu, memori kita tentang kekerasan serta kebencian masa lalu sedikit-banyak mempengaruhi hubungan antara Islam dan Kristiani hari ini di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di banyak tempat masih ditemukan perang serta kekerasan atas nama agama. Tuhan Yang Maha Kasih dibawa ke tengah perang dan kekerasan kepada ciptaan-Nya, sungguh satu penghinaan yang keji yang dialamatkan kepada Tuhan.

Paus Fransiskus dan Ahmad al-Tayyib (2019 M)

Tahun lalu, pada tahun 2019, tepat 800 tahun memperingati momentum besar perjumpaan Santo Fransiskus Assisi dan Sultan Malik al-Kamil. Meski tak sepenuhnya mengubah keadaan pada waktu itu secara langsung, setidaknya peristiwa tersebut membawa pengaruh kepada kedua tokoh tersebut tentang sebuah kerinduan yang bernama perdamaian dan persaudaraan serta membawa dampak luas di kemudian hari pada dialog Islam dan Kristiani. (Lihat selengkapnya: https://www.usd.ac.id/cm/seruan-dialog-di-tengah-era-kebencian/)

Momentum 800 tahun pertemuan Santo Fransiskus dan Sultan Malik al-Kamil kemudian menjadi momentum antara Bapa Suci Paus Fransiskus dan Grand Syaikh Ahmad Al-Tayyib yang kemudian menghasilkan sebuah dokumen bersejarah— Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together atau Dokumen Persaudaraan Umat Manusia: Untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama.

Oleh beberapa pengamat, lawatan Paus Fransiskus ke Abu Dhabi dan berjumpa dengan tokoh Islam sekaligus Imam Besar Mesir menjadi penanda baru di abad modern ketika kekerasan atas nama agama masih saja terus terjadi di seluruh dunia. Seolah Paus Fransiskus dan Ahmad al-Tayyib adalah dua orang titisan Santo Fransiskus Assisi dan Sultan Malik al-Kamil—sejarah yang berulang.

Dalam Dokumen Persaudaraan yang ditandatangani oleh kedua tokoh tersebut, menjadi seruan kepada seluruh umat manusia, tidak terbatas pada komunitas Islam dan Kristiani— tetapi untuk semua umat manusia apapun latar belakang identitasnya untuk sebuah kehidupan yang lebih baik, untuk perdamaian dunia dan hidup bersama. Selanjutnya, perjumpaan yang begitu hangat ini menginspirasi ensiklik Paus Fransiskus di tahun 2020 ini. Tepat di Hari Raya Fransiskus Assisi, Sang Bapa Suci kembali berdakwah, menyeru atau mengajak kembali semua umat manusia untuk melihat segala persoalan kontemporer hari ini dengan kasih dan kelemahlembutan. Karena tidak ada persoalan serumit apapun di muka bumi ini yang tidak dapat diselesaikan dengan kasih kan?

Kalimatun Sawa/Titik Temu: Fratelli Tutti

Fratelli Tutti: On The Fraternity and Social Friendship. Semua Bersaudara: Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, demikian judul dokumen yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus pada 3 Oktober 2020 lalu, pada saat Paus Fransisksus berkunjung ke makam Santo Fransiskus dari Assisi. Dokumen ini diterbitkan keesokan harinya, pada 4 Oktober 2020, saat Hari Raya Santo Fransiskus dari Assisi. Terdiri dari 8 bab, 287 paragraf, dan tebal 92 halaman.

Pandemi Covid-19 menjadi latar belakang Ensiklik ini, seperti yang diungkapkan sendiri oleh Paus Fransiskus, “meletus secara tak terduga” saat dia “menulis surat ini”. Tetapi keadaan darurat kesehatan global telah membantu menunjukkan bahwa “tidak ada yang dapat menghadapi kehidupan dalam isolasi” dan bahwa waktunya telah benar-benar datang untuk “bermimpi, kemudian, sebagai satu keluarga manusia” di mana kita semua adalah “saudara dan saudari” (hlm. 2-3).

Tak ada ikatan yang paling kuat bahwa seluruh umat manusia bersaudara. Ikatan persaudaraan antara Islam dan Kristiani (termasuk Yahudi) adalah ikatan saudara dari rahim tradisi Abraham yang tidak boleh dilupakan meski konflik di antara ketiga keyakinan ini kerap terjadi, namun ikatan persaudaraannya tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun. Dari sinilah titik temu (istilah Al-Qur’an: kalimatun sawa) semua ragam puspa warna—karya seni Sang Pencipta Yang Maha Indah mestinya tidak sulit untuk dirangkai, khususnya dalam kerja-kerja sebagai ciptaan Tuhan di muka bumi.

Dalam bab ketiga, yang berjudul “Membayangkan Dan Melahirkan Dunia Yang Terbuka”. Di bagian ini, Paus Fransiskus mendesak seluruh umat manusia untuk pergi ‘keluar dari diri’ untuk menemukan “keberadaan yang lebih penuh dalam diri orang lain” (hlm. 23), membuka diri kepada orang lain sesuai dengan dinamisme kasih yang membuat kita cenderung menuju “pemenuhan universal”. Di latar belakang, status spiritual dari kehidupan seseorang diukur dengan cinta, yang selalu “menempati urutan pertama” dan menuntun kita untuk mencari yang lebih baik untuk kehidupan orang lain, jauh dari segala bentuk keegoisan (hlm. 24).

Selanjutnya dalam bab keenam, “Dialog Dan Persahabatan Dalam Masyarakat”, muncul konsep hidup sebagai “seni pertemuan” dengan setiap orang, bahkan dengan pinggiran dunia dan dengan masyarakat asli, karena “kita masing-masing dapat belajar sesuatu dari orang lain. Tidak ada yang tidak berguna dan tidak ada yang bisa dibuang” (hlm. 54). Dalam dialog sejati, memungkinkan seseorang untuk menghormati sudut pandang orang lain, kepentingan sah mereka dan, di atas segalanya, kebenaran martabat manusia. Setelah bertemu di titik ini, apa yang harus kita dilakukan bersama?

Fratelli Tutti: Dari Potensi Menuju Aksi Bersama

Berangkat dari semangat persaudaraan antar umat manusia, semangat persaudaraan universal menjadi modal untuk menggerakan dialog konstruktif, terutama dalam tataran dialog aksi, berkarya bersama. Dalam dialog dalam aksi perbedaan tak lagi diperdebatkan. Jalinan persaudaraan menjadi tali pengikat yang kokoh. Persaudaraan mengikat perbedaan, ia merangkai perbedaan menjadi simfoni. Persaudaraan serta persahabatan sosial adalah cara Paus Fransiskus memberi seruan kepada semua umat manusia untuk membangun dunia yang lebih baik, lebih adil dan damai, dengan kontribusi semua: masyarakat dan institusi. Dengan konfirmasi tegas atas kata ‘tidak’ untuk peperangan dan ketidakpedulian global.

Titik berangkat dokumen ini, dalam istilah Ensiklik ini adalah “awan hitam yang menutupi dunia” (hlm. 3)—deretan kegelisahan dan penyimpangan sosial zaman ini, mulai dari persoalan ketidakpedulian sosial, rasisme, kemiskinan, ketidaksamaan hak, perbudakan, perdagangan manusia, dan lain-lain. Dokumen ini mencoba mendorong persaudaraan yang tidak hanya berakhir kata-kata, tetapi juga dalam perbuatan. Menciptakan kepedulian global dari seluruh warga dunia, masalah global ini tentu membutuhkan aksi global, demikian seruan Paus Fransiskus.

Suatu cita-cita yang besar tentunya membutuhkan usaha besar untuk maju bagi mereka yang ingin membangun dunia yang lebih adil dan persaudaraan dalam hubungan sehari-hari, dalam kehidupan sosial, politik dan institusi. Setidaknya inilah yang menjadi pertanyaan utama yang hendak dijawab oleh Fratelli Tutti: Paus Fransiskus menggambarkannya sebagai “Ensiklik Sosial” (hlm. 2).

Di samping itu, aspirasi universal menuju persaudaraan dan persahabatan sosial ini imulai dengan keanggotaan bersama kita dalam satu kesauan umat manusia—satu keluarga besar, dari pengakuan bahwa kita adalah saudara dan saudari karena kita adalah anak dari satu Pencipta, semua dalam perahu yang sama, dan karenanya kita perlu menyadari bahwa di dunia yang terglobalisasi dan saling berhubungan, hanya dengan bersama-samalah kita dapat diselamatkan. Dokumen Persaudaraan Manusia yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Ahmad al-Tayyib pada Februari 2019 lalu memberi pengaruh inspiratif yang dikutip beberapa kali dalam Ensiklik ini.

Pada saat yang sama, Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa dunia yang lebih adil dicapai dengan mempromosikan perdamaian, yang bukan hanya sekedar ketiadaan perang, dalam hal ini menuntut “keahlian”, karena itu perlu melibatkan semua orang. Terkait dengan kebenaran, perdamaian dan rekonsiliasi harus “proaktif”. Semuanya harus bekerja menuju keadilan melalui dialog, atas nama pembangunan bersama. Hal yang perlu disambut juga ialah ajakan Paus Fransiskus dalam bab kedua (hlm. 15), yakni membangun kasih dengan menjadi Orang Samaria Yang Baik Hati (hlm. 21). Tidak sekadar memanggil orang Kristiani sebagai pembaca kisah paling terkenal dalam Alkitab tersebut, namun juga mengajak seluruh umat manusia untuk menjadi sesama bagi yang orang-orang lain.

Kita semua bertanggung jawab bersama untuk menciptakan masyarakat yang bisa menerima semua umat manusia, tanpa mengalienasi satupun ciptaan-Nya, mengintegrasikan dan mengangkat mereka yang telah jatuh atau menderita (hlm. 20). Kasih itu membangun jembatan dan kita diciptakan untuk saling mencintai dan saling mengasihi, seru Paus Fransiskus (hlm. 23).

Merangkai Seni Perdamaian Dan Seni Pengampunan

Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan Islam dan Kristiani diwarnai dengan berbagai rupa memori masa lalu. Memori perdamaian tentu adalah nyala api yang perlu terus dijaga semangatnya. Sedangkan memori kelam berupa kekerasan yang penuh curiga dan kebencian tidak boleh menguasai kita hari ini agar tidak menjadi batu sandungan dalam menjalin kembali tali persaudaraan yang sempat berkali-kali koyak dan terputus. Ensiklik ini setidaknya memberi berbagai jalan untuk mengikat kembali, menyatukan kembali yang sempat tercerai-berai oleh konflik-konflik yang destruktif.

Lebih lanjut, nilai dan promosi perdamaian tertuang dalam bab ketujuh, “Jalan Perjumpaan Yang Diperbarui”, dimana Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa perdamaian terhubung dengan kebenaran, keadilan dan belas kasih. Jauh dari keinginan untuk membalas dendam, ini merupakan tindakan proaktif dan bertujuan untuk membentuk masyarakat berdasarkan pelayanan kepada orang lain dan pada upaya rekonsiliasi serta pembangunan bersama (hlm. 57-58).

Dalam masyarakat yang berselimut ‘awan hitam’ ini, hendaknya setiap orang harus merasa berada “di rumah”, tulis Paus Fransiskus. Jadi, perdamaian adalah “seni” yang melibatkan dan menghargai setiap orang dan di mana setiap orang harus melakukan bagiannya. Pembangunan perdamaian adalah “upaya terbuka, tugas yang tidak pernah berakhir”, dan oleh karena itu penting untuk menempatkan pribadi manusia, martabatnya, dan kebaikan bersama sebagai pusat dari semua aktivitas. (hlm. 58-59).

Umat Islam dan umat Kristiani adalah korban dari segala peristiwa kelam di masa lalu. Untuk mengobati luka-luka masa lalu tersebut, tiada lain adalah dengan menempuh jalan pengampunan. Karena tidak ada perdamaian tanpa pengampunan. Seperti kita ketahui, pengampunan saling berkaitan dengan perdamaian, kita harus mencintai semua orang, tanpa kecuali, Ensiklik berbunyi, “tetapi mencintai penindas berarti membantunya untuk berubah dan tidak membiarkan dia terus menindas sesamanya. Sebaliknya, orang yang menderita ketidakadilan harus dengan gigih mempertahankan hak-haknya untuk menjaga martabatnya sebagai anugerah dari Tuhan”. (hlm. 60-61).

Berikutnya, memaafkan tidak berarti impunitas, melainkan keadilan dan kenangan, karena mengampuni tidak berarti melupakan, tetapi menyangkal kekuatan jahat yang merusak dan keinginan untuk balas dendam. Jangan pernah melupakan “kengerian” seperti Shoah (holocaust), pemboman atom di Hiroshima dan Nagasaki, penganiayaan dan pembantaian etnis di berbagai tempat di dunia ini. Mereka harus selalu diingat, agar tidak dibius dan menjaga nyala hati nurani kolektif tetap hidup. Sama pentingnya untuk mengingat yang baik, dan mereka yang telah memilih pengampunan dan persaudaraan (hlm. 62-63). Diingat dan disimpan sebagai sebuah pelajaran masa lalu agar tidak terjatuh di lubang yang sama dua kali.

Dalam bab kedelapan sekaligus sebagai penutup, Paus Fransiskus fokus pada “Agama-Agama Untuk Melayani Persaudaraan Di Dunia Kita” dan sekali lagi menekankan bahwa kekerasan tidak memiliki dasar dalam keyakinan agama, melainkan pada kelainan bentuknya. Dengan demikian, tindakan yang “memilukan”, seperti aksi terorisme, bukan karena agama tetapi karena kesalahan tafsir teks agama, serta “kebijakan yang terkait dengan kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan”. Terorisme tidak boleh didukung dengan uang atau senjata, apalagi dengan liputan media, karena itu adalah kejahatan internasional terhadap keamanan dan perdamaian dunia, dan karenanya harus dikecam (hlm. 71).

Lebih jauh, Paus menggarisbawahi bahwa perjalanan perdamaian antar agama adalah mungkin terjadi dan oleh karena itu, perlu untuk menjamin kebebasan beragama, Hak Asasi Manusia yang fundamental bagi semua orang beriman (hlm. 70). Sebab ini adalah kunci agar tiap-tiap individu merasa dihargai dalam rumah bersama di dunia ini.

Oleh karena kita hanya ciptaan yang bernama manusia, yang mengemban tugas semata menjadi manusia, dan bukan menjadi hakim atas manusia lainnya. Dokumen Fratelli Tutti ini sekali lagi adalah dakwah Paus Fransiskus untuk mendorong semua umat manusia berlomba dalam berbuat kebajikan (dalam istilah Al-Qur’an: fastabiqul khairat) yang sedikit-banyak terinspirasi dari perjumpaan bersejarahnya bersama Imam Besar al-Azhar Ahmad al-Tayyib. Mereka berdua telah meneladankan kepada dunia, siapkah kita melanjutkan?    

*Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Yogyakarta

Co-Founder Qur’anic Peace Study Club Yogyakarta

2 thoughts on “Hubungan Islam dan Kristiani Pasca Dokumen Fratelli Tutti (Refleksi Seorang Muslim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *