Fury: Membunuh untuk Menyelamatkan

Fury: Membunuh untuk Menyelamatkan

“Untunglah, saya tidak dilahirkan di Eropa pada masa Perang Dunia II.” Demikianlah ungkapan spontan saya begitu selesai menonton film ini. Kalau perang ini benar-benar terjadi dalam hidup saya, yang pertama-tama saya takutkan bukanlah bahwa saya harus siap mati kapanpun, melainkan pergulatan batin dan pertimbangan moral saya untuk membunuh atau tidak. Pasti hati ini begitu hebatnya berkecamuk apakah saya harus menarik pelatuk ke arah orang lain yang dikatakan musuh.

Saya sungguh terkesan pada sosok serdadu ingusan bernama Norman Ellison (Logan Lerman). Bukan berarti saya mengesampingkan permainan kharismatis Brad Pitt sebagai Don “Wardaddy” Collier. Bukan itu. Hanya saja, saya merasa bahwa pergulatan Norman adalah pergulatan saya juga. Kalau saya benar-benar diterjunkan ke dalam medan perang, saya pasti terlihat bodoh sekali seperti Norman.

Saya akan menggambarkan dinamika ini secara bertahap.

Pertama, apakah persoalan moralnya hanya sekedar membunuh atau tidak membunuh? Seandainya ada yang bertanya, “Apakah kita diperbolehkan membunuh seseorang?”; jelas agama mengajarkan bahwa manusia tidak boleh membunuh sesama manusia. Namun dalam perang, ajaran agama seolah-olah tidak berbunyi.

Atau kedua; kita bisa maju ke garis depan dan berteriak-teriak untuk menghentikan perang, mengatakan bahwa perang itu tidak ada gunanya bagi kedua belah pihak. Syukur bila ada yang merasa tersentuh, kedua pihak melakukan gencatan dan kita menjadi pahlawan karena keberanian kita. Namun dalam situasi yang sungguh kalut dan penuh kecurigaan karena prinsip “Bunuhlah, sebelum kamu dibunuh”, kok rasa-rasanya kita pasti akan ditembak mati. Kalau demikian, apakah kita akan dianggap martir? Mungkin kemartiran itu akan sia-sia, tidak membuahkan apa-apa, perang terus berjalan.

Atau ketiga; bila kita tidak membunuh musuh lebih dulu, musuh akan membunuh kita atau rekan kita; bila kita membunuh musuh lebih dulu, kita akan menyelamatkan rekan kita. Dengan demikian, alasan membunuh diangkat ke tataran yang lebih tinggi. Kita membunuh bukan karena keegoisan kita supaya diri kita tetap hidup. Kita membunuh supaya rekan tetap hidup, membunuh demi kehidupan, membunuh untuk menyelamatkan orang lain. Konflik ini terjadi ketika Norman, karena compassion-nya, membiarkan anak kecil Jerman untuk meledakkan tank rekannya, menyebabkan banyak rekannya tewas.

Apakah Norman bisa menggunakan perintah agama sebagai dalih untuk tidak membunuh?

Apakah Norman bisa mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang juru ketik yang tidak tahu cara menggunakan senjata sebagai dalih untuk tidak membunuh?

Saya tidak hendak masuk ke dalam pokok “Perang yang Adil”. Saya hanya ingin menyorot keunikan manusia sebagai manusia. Dalam keadaan perang yang begitu kejam di mana sistem nilai mendapat posisi yang rendah, manusia masih memiliki kekuatan hati dan kehendak. Pergulatan tidak hanya hitam atau putih. Tidak ada antagonis dan tidak ada protagonis dalam film ini. Siapakah yang lebih benar, apakah Collier, Norman, atau bahkan tentara Nazi? Pertanyaan ini sulit dijawab. Namun bahwa manusia sebagai manusia, yang memiliki hati dan kehendak, tampak jelas di sini.

Dalam pertempuran terakhir mereka, mereka yang hanya berlima, harus menghambat kedatangan ratusan pasukan Nazi. Mereka merasa bahwa misi ini sungguh mustahil. Mereka kalah secara jumlah, tank mereka pun rusak. Namun kehendak yang kuat memampukan mereka. Mereka adalah satu-satunya harapan untuk menghambat laju Nazi menggempur pihak yang lebih lemah: ribuan tentara Sekutu yang sedang terluka bersama regu medis. Bila mereka tidak menghambat, bisa dipastikan ribuan korban akan berjatuhan. Kehendak kuat memampukan mereka yang semula ingin melarikan diri untuk tetap setia pada misi terakhir mereka. Don “Wardaddy” Collier, Norman “Machine” Ellison, Coon-Ass, Gordo, dan Bible (julukan perang mereka) memutuskan untuk tetap tinggal. Dengan berlinangan air mata menyambut kematian yang hendak menjemput, mereka mendengarkan Bible berkhotbah

 

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata:

“Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”

Maka sahutku:

“Ini aku, utuslah aku!”

(Yes 6:8)

 

https://www.youtube.com/watch?v=-OGvZoIrXpg

Riswanto, SJ

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *