DIALOG DAMAI KRISTEN-MUSLIM

Pekan pertama bulan Februari, tepatnya pada tanggal 1-7 Februari 2020, PBB kembali mengajak seluruh dunia untuk memperingati World Interfaith Harmony Week. Peringatan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi warga dunia membuka kembali ruang toleransi antarsesama umat beriman. Di Indonesia sendiri, peringatan ini justru sangat relevan karena masyarakat seringkali menemui kelompok-kelompok intoleran yang mengatasnamakan agama.

Pusat Studi Agama dan Perdamaian Universitas Kristen Imanuel (PSAP UKRIM) menyambut peringatan tersebut dengan menyelenggarakan Seminar Dialog Damai Kristen-Muslim II: Memahami, dan Menyikapi Ayat-ayat Intoleran, Diskriminatif & Kekerasan Dalam Kitab Suci Taurat, Injil, dan Al-Quran. Seminar tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu, 1 Februari 2020 pukul 08.00 WIB di Kapel UKRIM dan dihadiri oleh perwakilan aktivis serta akademisi dari berbagai komunitas maupun perguruan tinggi, termasuk Universitas Sanata Dharma.

PSAP UKRIM mengundang Bapak Dr. Islah Gusmian dari IAIN Surakarta dan Bapak Dr. Bambang Noorsena dari ISCS Malang sebagai pembicara. Dalam kesempatan tersebut, kedua tokoh mengupas tentang ayat-ayat dari Al-Quran, Taurat, dan Injil yang dianggap mengandung makna-makna intoleran, sehingga seringkali dipakai oleh beberapa pihak untuk membenenarkan tindakan-tindakannya berdasarkan tafsiran pribadi.

Sebagai pembicara pada sesi pertama, Dr. Islah Gusmian memberi pemahaman bahwa dalam memahami Al-Quran, orang terlebih dahulu harus memahami bahasa asli dari Al-Quran karena kitab terjemahan seringkali tidak dapat menyampaikan maksud ayat tersebut secara utuh. Oleh karena itu perlu ilmu tafsir yang mengiringinya agar memiliki pemahaman yang memadai. Selain itu, perlu diketahui bersama jika Al-Quran sendiri diturunkan bukan dalam satu buku yang lengkap, melainkan diturunkan sesuai konteks yang sedang dihadapi oleh Nabi.

Senada dengan Dr. Islah, Dr. Bambang Noorsena menyampaikan jika konteks ketika semua Kitab Suci tersebut ditulis atau diturunkan juga perlu dipahami. Konteks tersebut meliputi, perkembangan bahasa dalam tentang waktu yang sangat panjang, pemakaian bahasa yang bervariasi dan seringkali tidak dapat dialihbahasakan dengan baik, serta kebudayaan yang berkembang pada zamannya. Oleh karena itu, para peneliti naskah-naskah kuno biasanya akan membandingkan naskah Kitab Suci dengan nashkah-naskah yang sezaman.

Sayangnya, di masa teknologi yang semakin berkembang seperti sekarang ini, orang-orang lebih mudah menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci menurut kehendaknya sendiri dan membagikannya pada orang lain tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Para pembicara menegaskan jika ayat yang intoleran atau diskriminatif itu tidak ada. Justru penafsiran yang kurang tepat dari ayat tersebutlah yang mendorong seseorang berperilaku intoleran.

Perilaku-perilaku intoleran mengindikasikan adanya kematian hati nurani dari para pelakunya ketika merasa bangga telah bersikap intoleran karena fanatisisme agama masing-masing. Oleh karena itu para peserta diajak untuk dapat mengantisipasi situasi-situasi yang demikian di lingkungannya masing-masing. Peserta juga diharapkan untuk tidak mudah tersulut dengan setiap penafsiran-penafsiran ayat yang menimbulkan perpecahan di antara sesama umat beriman. Tentu saja ajakan ini berlaku juga untuk siapapun yang berkehendak baik menciptakan perdamaian di lingkungan tempat tinggalnnya, agar tidak ada lagi korban dari sikap-sikap intoleran.

Rosminah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *