Dalam kendali-Mu Kuserahkan Aku

Refleksi 15 Januari 2023

Kalau aku boleh bersaksi tentang hidup ini, konon hidup ini adalah tentang hal yang bisa aku kendalikan, dan tidak aku kendalikan. Aku pun mendengar, untuk menjalani hidup, aku  hanya perlu fokus dengan apa yang bisa kukendalikan, dan melupakan apa yang di luar kendaliku. Sesuatu yang mengesankan pikiranku, setidaknya waktu itu. 

Bertahun-tahun lamanya aku percaya itu : berjuang dalam hidup cukuplah fokus dengan apa yang bisa aku kendaliku. Apa yang di luar kendaliku, mungkin tak kupikirkan. Apa yang di luar kendaliku, ya mungkin itu hanya akan berlalu saja. Tetapi terhadap apa yang bisa aku kendalikan, tentu aku akan mengusahakannya. Konon, kepercayaan semacam ini juga di-iman-i agar orang menjadi cepat sukses. Setidaknya pada tahun-tahun yang lalu aku percaya, bahwa letak kendali lebih ada pada dalam diriku. Aku mendapatkan nilai yang baik karena aku belajar dengan amat tekun. Aku akan bahagia karena aku berjuang hingga mendapat apa yang aku inginkan. Aku percaya, hidup ini adalah bagaimana aku melakukan sesuatu dalam hidupku. Tidak salah, bukan? Dengan konsep itu, hidup dan diri sendiri tampak lebih heroik. Mengagumkan, bukan? Dengan konsep hidup semacam itu, aku melihat, betapa hidup ini dapat diperjuangkan dengan sangat rasional, dan terkendali. 

Hingga pada suatu masa aku memiliki pengalaman sakit. Harus beristirahat, rebah karena  tubuh yang lemas, dengan  tangan yang terinfus. Tinggal di tempat yang jauh dari orang tua tentu dipaksa untuk berdamai dengan kesendirian. Termasuk sendiri ketika terbaring di rumah sakit. Apa yang seharusnya menjadi kesibukan waktu-waktu itu tentu tidak bisaku kerjakan. Paper-paper yang harusnya aku buat tentu harus kutinggalkan sejenak. Minimal aku tunda dulu. Kukerjakan nanti pelan-pelan. Rutinitas dan beberapa to-do-list kantor tentu juga aku tunda. Waktu itu yang bisa menjadi kendaliku hanyalah rebah, makan, dan istirahat, sambil terkadang berusaha menata ulang agenda setelah sakit, kendati hanya dalam pikiran. Tidak lebih, hanya itu yang bisa kulakukan. Hanya itu yang ada dalam kendaliku. 

Pengalaman sakit tentu bukan hal yang gampang diterima untuk orang yang memiliki kepercayaan bahwa hidup ini disebabkan oleh kendali diri sendiri. Tentu penyebab sakit akan cenderung dimaknai sebagai kesalahan diri sendiri. Ah mungkin bisa lebih luas lagi, pengalaman-pengalaman terjatuh lainnya pun juga begitu. Tentu akan cenderung dimaknai sebagai kegagalan diri sendiri. Tentu tidak mudah untuk diterima, dan inilah yang terjadi. Pengalaman yang sangat tidak aku sukai, namun inilah yang ternyata mengubah bagaimana aku bersaksi tentang hidup ini. 

Dalam pengalaman yang membuat aku banyak kehilangan kendali atas apa yang seharusnya kukerjakan itulah, aku menyadari, ada kendali lain yang hadir dalam hidupku. Kelompokku begitu pengertian dengan keadaan sakitku, dan tidak memaksaku untuk mengerjakan sampai tuntas, sebisanya. Akhirnya tugas-tugasku pun selesai juga. Bahagiaku tumbuh ketika dikunjungi oleh teman-temanku. Ternyata bahagiaku tidak melulu ada hanya karena aku mencari kesenangan. Aku berangsur membaik dengan upaya dokter memberikan obat-obat dan rekomendasi yang tepat. Ternyata sehatku tidak hanya karena aku yang mau berbaring istirahat saja. Yang paling penting : aku menjadi sadar, ternyata hidup ini bukan hanya bagaimana aku saja. 

Kalau boleh aku bersaksi tentang hidup ini, ternyata tidak semua ada pada perjuanganku. Tak hanya kendaliku, tak hanya usahaku. Begitu sempit bila aku memaknai untuk berhenti pada apa yang bisa aku kendalikan. Fokus pada apa yang bisa kukendalikan memang tidak salah, demi alasan ketenangan dan usaha berdamai dengan kecemasan, mungkin itu hal yang tidak salah. Tetapi aku pun menyadari. Ada kendali yang lebih besar dari pada apa yang bisa kukendalikan. Tuhan yang maha memahami itu hadir dalam ikut berkarya dan mengendalikan hidupku. 

Tuhan, kalau boleh aku bersaksi tentang hidup ini, aku pun ingin bersaksi tentang Tuhan yang menyelamatkan. Seperti Yohanes Pembabtis yang bersaksi : “Dia inilah Anak Allah”, aku pun ingin bersaksi, bahwa aku pun melihat dan ingin terus dapat melihat Engkau dalam hidupku. Dalam pengalaman-pengalaman yang ada dalam kendali-Mu, dalam pengalaman sederhana, dalam pengalaman cinta maupun luka. Kalau boleh aku bersaksi, Engkau inilah Anak Allah!

Penulis : Nirvana Mulia Sulistya
Student Staff Campus Ministry

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *