Conversar Arrupe: Menjadi Seorang Perenung

Ketika saya lahir, Tuhan sedang menulis puisi

Dan minum kopi dan listrik mendadak mati.

 

Saat itu bahasa Indonesia masih unyu

Dan pedoman ejaannya belum sempurna.

“Keren juga ini bahasa,” Tuhan berkata, “bisa

menjadikan negeri yang rumit cantik pada waktunya.”

(Dongeng Puisi karya Jokpin, 2014)

 

Itulah selarik puisi Jokpin yang membuat suasana Klinik Kopi petang itu terasa begitu khidmat. Hari itu, Jumat 17 April 2015, Joko Pinurbo atau yang kerap dipanggil dengan nama Jokpin hadir di acara Campus Ministry: Conversar Arrupe.

Ini kali kedua Campus Ministry mengadakan acara ngobrol-ngobrol tentang kisah dan kasih dengan alumni Universitas Sanata Dharma. Kali ini Jokpin alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ketika USD masih bernama IKIP Sanata Dharma hadir bersama Romo In Nugroho, SJ untuk berbagi kisah dan kasihnya.

Bertempat di Klinik Kopi, Jokpin memulai berbagi kisah kenapa ia memilih menjadi seorang penyair. Ia bertutur bahwa ada dua orang yang menjadi inspirasinya kenapa ia menjadi seorang penyair seperti sekarang ini. Pertama adalah Robert Frost seorang penyair Amerika dengan puisinya yang berjudul The Road Not Taken. Orang kedua adalah Romo Julius Darmaatmadja, SJ yang kala itu menjabat Rektor Seminari Menengah Mertoyudan. “Romo Julius Darmaatmadja, SJ adalah orang yang membimbing saya untuk bersetia kepada visi misi dalam hidup. Beliau memberikan pendampingan rohani agar saya mampu menghidupi pilihan yang telah saya pilih: menjadi seorang penyair” begitu tutur Jokpin.

Joko Pinurbo bercerita bahwa dalam penciptaan karya puisinya, ia membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dalam proses yang membutuhkan waktu cukup lama itu, Jokpin sempat bercerita bahwa ia merasa kariernya sebagai seorang penyair tak akan terwujud. Ia mengalami kegagalan yang tak bisa dibilang sedikit. Tapi, dari kegagalannya lah ia bercerita tentang kesabaran. Tentang perenungannya untuk kembali mengenali jati dirinya sendiri dan menyelami lebih dalam lagi tentang visi misi hidup yang telah ia pilih dan jalani. Hingga akhirnya lahirlah sebuah puisi luar biasa berjudul Celana Ibu.

“Kesuksesan adalah keseriusan kita dalam memperjuangkan cita-cita” Ia menambahkan. Jokpin juga sempat menyentil sedikit tentang kehidupan kuliah. Baginya masa-masa kuliah adalah masa yang sangat tak terlupa karena kuliah bukan hanya soal pengetahuan, tetapi lebih kepada etos kerja dan mental baja yang akan membuat seorang mahasiswa akan mampu bertahan dalam jangka waktu lama di dunia setelahnya.

Romo In Nugroho, SJ yang hari itu juga duduk bersama menambahkan bahwa membaca puisi-puisi karya Jokpin tak hanya sekadar soal membaca kata yang ditorehkan dalam secarik kertas, tetapi juga tentang kesabaran yang dilaluinya dengan mempertaruhkan segala mimpi, menjadi kunci kualitas suatu karya-karya Joko Pinurbo.

Kesabaran is the making”, begitu Romo In menjelaskan. Bahwa seseorang dapat menemukan kesabaran saat dia tahu kapan sesuatu itu harus diusahakan secara terus-menerus dan tahu kapan harus beristirahat.

Tentang perenungan yang dilakukan Jokpin, Romo In memberi pandangannya sendiri bahwa proses merenung adalah proses di “antara”. Proses yang tak banyak orang kuat untuk menjalaninya. “Saat menjalani proses perenungan kita akan berada di saat sunyi, saat yang paling tepat bagi diri kita untuk mengenal kembali siapa diri kita. Saat yang tepat untuk menyelami untuk dapat menemukan sesuatu yang pas untuk diri kita sendiri. Saat bagi kita belajar rendah hati dengan tidak memaksakan sesuatu yang tak sesuai untuk diri kita” kata Romo In.

Sebuah statement menarik dari Joko Pinurbo malam itu adalah masih adakah sekarang ini alumnus Universitas Sanata Dharma yang setia, tekun, dan bertanggungjawab penuh akan pilihan yang telah dipilih walaupun ia tahu bahwa pilihan itu tidaklah populer?

Masih adakah?

(Wahyu Nur Cahyo)

IMG_3821

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *