Gelak tawa kembali hadir ditengah-tengah Student Hall kampus I Universitas Sanata Dharma saat seorang komedian yang berusia separuh baya itu baru saja menuturkan ceritanya. Dialah Susilo Nugroho atau yang lebih familier dikenal sebagai Den Baguse Ngarso. Komedian yang juga seorang seniman teater ini kembali ke Sanata Dharma untuk membagi kisah kasihnya selama menempuh segala proses pendidikan dan kecintaannya terhadap profesi yang digelutinya dalam acara Conversar Arrupe.
Pak Sus, sapaan akrab beliau, menuturkan bahwa kecintaannya terhadap seni teater sudah ia mulai sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. “Masuk Sanata Dharma, seperti membuka ruang bagi pengembangan bakat saya”, begitu tegas beliau. Dengan menjalani apa yang kita cintai, pada hakikatnya kita sedang berusaha untuk menjadi diri sendiri. “Ijazah tak pernah bisa menentukan akan jadi apa kita nantinya.”
Pak Sus yang duduk bersama Beni, seorang Stand up komedian, pada hari Jumat, 25 September 2015 itu juga menceritakan tentang pengalamannya selama menjalani profesi yang menjadi kecintaannya itu. Bahwa dalam setiap pertunjukkan seni, terutama seni lawak, para pelakunya ingin mengajak setiap orang yang menonton untuk mau menangkap kata bukan hanya sebatas kata, melainkan makna dibalik kata yang disampaikan itu. “Stand Up Comedy mengajak kita untuk mau berpikiran terbuka”, begitu Beni yang merupakan alumnus Pendidikan Bahasa Inggris USD mencoba memberi penegasan dari apa yang disampaikan Pak Susilo.
Pak Sus dan Beni, keduanya, sepakat bahwa seorang pelawak, seniman teater, stand up komedian, akan mencapai tingkat keprofesionalitasan yang tinggi saat mereka mampu menceritakan kegagalan mereka dengan cara yang santai. “Ketika kegagalan diterima dengan senang hati, itulah saat kita naik ke level yang lebih tinggi,” tukas Pak Sus.
Disinggung soal pengalamannya selama berada di Sanata Dharma, Alumnus Pendidikan Akuntansi IKIP Sanata Dharma ini mengatakan bahwa Sanata Dharma itu ibaratnya sebuah pos ronda dimana kita bisa saling mengenal hampir semua warga Sanata Dharma. “Sanata Dharma dulu adalah kampus yang sangat dekat. Tak ada sekat yang membatasi antara mahasiswa, karyawan, dosen, bahkan rektor untuk saling berdiskusi.” Hal yang sama juga dirasakan oleh Beni yang bercerita bahwa habit ngobrol di Sanata Dharma adalah sebuah nilai positif dari Universitas ini sebagai wujud nyata semboyan Cerdas dan Humanis. Beni bertutur, “Cerdas dan Humanis bisa diartikan bahwa relasi antar sesama warga Sanata Dharma itu sama rata.”
Ketiadaan sekat-sekat yang membatasi diri mahasiswa inilah yang memunculkan sikap peduli di diri sendiri. Dan dengan seiring munculnya sikap peduli ini tumbuh pula lah nilai-nilai kerelijiusan dalam diri mahasiswa Sanata Dharma.
“Tingkat kerelijiusan Sanata Dharma ini ditunjukkan, salah satunya, dengan kepedulian mahasiswanya terhadap sesama manusia,” ujar Romo Andalas wakil rektor III yang hadir bersama Pak Sus dan Beni malam itu. Mahasiswa memang seharusnya seperti itu, mempunyai kepekaan dan kepedulian selayaknya seorang EO yang berpikir dan bertindak selayaknya seorang CEO.
(Wahyu Nur Cahyo)